Selasa, 14 Oktober 2008

Dukun Peramal Nasib ............................ Oleh : Fajar Kurnianto

Hidup dan mati hanya Allah SWT yang tahu. Demikian juga dengan kebahagian dan kesengsaraan. Tidak ada seorang manusia pun yang bisa memastikan nasibnya di dunia. Dan, sebetulnya, manusia sama sekali tidak diwajibkan untuk mengetahui ketentuan yang telah Allah SWT gariskan. Manusia hanya diwajibkan berusaha optimal dan maksimal. Hasilnya, Allah SWT yang Mahatahu. Dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan beberapa hal yang hanya Dia yang Mahatahu. Firman-Nya, ''Sesungguhnya hanya Allah pemilik kunci-kunci alam gaib. Tak ada satu pun makhluk-Nya yang mengetahui.'' (QS Al-An'am: 59).

Dalam ayat lain, secara tegas Allah SWT menyebutkan beberapa hal yang hanya Dia yang secara pasti mengetahui. Pertama, pengetahuan akan hari kiamat. Kedua, pengetahuan akan turunnya hujan. Ketiga, pengetahuan akan janin yang berada di dalam rahim. Keempat, pengetahuan akan perbuatan manusia di waktu mendatang. Kelima, pengetahuan akan matinya bumi.

Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya, pengetahuan akan hari kiamat, turunnya hujan, pengetahuan janin yang ada dalam rahim, pengetahuan akan perbuatan manusia esok harinya, pengetahuan akan waktu berakhirnya bumi, semuanya, hakikatnya hanya Allah SWT yang tahu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Mahawaspada.'' (QS Luqman: 24).

Pengetahuan manusia akan hal-hal tadi, hanya sedikit, tidak lengkap. Bahkan, sangat minim. Oleh karena itu, dalam beberapa hadisnya, Rasulullah SAW melarang manusia untuk mempercayai para dukun peramal nasib. Karena, hakikatnya, mereka itu tidak mengetahui. Mereka hanya mengaku-ngaku tahu. Lebih jauh, pengetahuan mereka diperoleh karena bisikan jin dan setan.

Dalam hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mas'ud dikatakan, ''Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang manusia untuk mengambil hasil jual beli anjing, mahar hasil zina, dan bualan manis para dukun peramal nasib.''Suatu ketika, Rasulullah SAW ditanya soal dukun peramal nasib. Kata beliau, ''Mereka tidak ada gunanya.''''Ya Rasulullah, bukankah apa yang mereka katakan terkadang menjadi kenyataan?'' tanya beberapa sahabat lebih lanjut. Rasulullah SAW menjawab, ''Itu sebetulnya berasal dari kabar berita jin yang sudah bercampur dengan ratusan kebohongan. Setelah itu, ia membisiki para dukun peramal nasib.'' (HR Bukhari dari Aisyah).

Para peramal nasib memiliki hubungan erat dengan jin. Mereka selalu berusaha memalingkan keyakinan dan akidah keimanan manusia kepada makhluk-makhluk gaib ciptaan Allah SWT. Mereka menghembuskan keragu-raguan terhadap diri manusia, yang pada gilirannya menggelincirkan umat manusia ke jalan kesesatan yang nyata.

Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang mendatangi para dukun peramal nasib, lalu ia membenarkan apa yang mereka katakan, maka ia telah kafir terhadap apa yang turun kepada Muhammad (Alquran).'' (HR Ahmad dari Abu Hurairah). Semoga kita terhindar dari para dukun peramal nasib. Karena, sebenarnya mereka adalah para pembohong besar yang memalingkan akidah umat Islam. Wallahu a'lam.

republika

Doa Yang Dikabulkan ....................... Oleh : Firdaus MA

Doa merupakan permohonan atau permintaan hamba kepada Allah SWT dengan menggunakan lafal yang dikehendaki dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Doa adalah inti ibadah yang melaluinya Muslim menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Doa sebagai pernyataan kelemahan Muslim di hadapan Allah dan cara untuk mengingat-Nya. Doa juga senjata Muslim, tiang agama, cahaya langit dan bumi.

Doa dibutuhkan setiap orang dalam kehidupan guna menghilangkan rasa cemas dan menumbuhkan harap kepada Yang Maha Pemurah. Bukankah berharap kepada makhluk, betapapun kuat dan berkuasa, seringkali tidak mendatangkan hasil. Hanya Allah yang mampu memberikan hasil.

Allah berfirman, ''Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.'' (QS 35: 13-14).

Dalam Alquran diisyaratkan bahwa terkabulnya doa terkait dengan kesungguhan Muslim dalam berdoa. Dan tidak terkabulnya doa, boleh jadi karena yang bermohon kepada Allah belum dinilai benar-benar berdoa.

Firman Allah SWT, ''Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.'' (QS 40:60).

Konsistensi Muslim menjalankan Islam menentukan terkabulnya doa. Orang yang terlibat dengan hal yang haram doanya tidak dikabulkan Allah.

Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Seorang laki-laki yang telah jauh perjalanannya, berambut kusut, penuh dengan debu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan berkata, 'Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku', sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram, serta dikenyangkan dengan barang haram, maka bagaimana akan dikabulkan permintaannya (doanya).'' (HR Muslim).

Pengabulan doa oleh Allah terkait dengan iman dan pengakuan seseorang atas keesaan-Nya. Ini harus disertai dengan keyakinan bahwa Allah akan memilih yang terbaik untuk dirinya.

Allah berfirman, ''Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.'' (QS 2:186).

Allah tidak menyia-nyiakan doa hamba-Nya, tetapi boleh jadi Dia memperlakukannya seperti seorang ayah kepada anaknya. Sekali memberi sesuai permintaannya, dan kali lain diberinya yang lain. Tetapi, tidak jarang Allah menolak permintaan hamba-Nya dan memberi sesuatu yang lebih baik pada masa mendatang. Kalau tidak di dunia, maka di akhirat kelak.

Muslim tidak boleh beranggapan doa yang tidak dikabulkan sebagai kemurkaan Allah, tetapi keagungan rububiyah-Nya. Dia tidak hanya ingin membuat manusia rela, tetapi menghendaki yang lebih baik baginya. Ketulusan, prasangka baik, percaya penuh kepada Allah, dan kebenaran janji-janji-Nya, merupakan kunci dikabulkannya doa. Jangankan Muslim yang tulus, setan pun dikabulkan Allah doanya ketika memohon dipanjangkan usia hingga hari kebangkitan. Wallahu a'lam.

republika

Cermin Diri Publikasi : 11 Juni 2005 Oleh : A Ilyas Ismail

Dalam ajaran kerohanian Islam, hati diibaratkan cermin. Sebagai cermin, hati adalah alat untuk mengenali diri sendiri. Seperti halnya cermin, hati ada dua macam: ada yang bersih dan terang serta ada pula yang kotor dan gelap. Menurut Imam Ghazali, kualitas hati, bersih atau kotor, terang atau gelap, sangat bergantung dan ditentukan oleh perilaku manusia itu sendiri.

Dikatakan, jika ia cinta agama dan suka berbuat kebajikan, maka hatinya bersih dan terang. Semakin ia suka berbuat kebaikan, hatinya semakin terang dan bertambah terang, bahkan berkilau-kilau (yatala'la'). Dalam keadaan demikian, hati dapat menangkap dengan baik sinyal-sinyal ketuhanan (Tajalliyyat al-Ilahiyyah) dan dapat mencapai ma'rifah dengan sempurna.

Sebaliknya, bila ia suka berbuat dosa dan keburukan, maka hatinya buram dan gelap. Dosa-dosa itu ibarat kepulan asap yang menghitam dan menutupi hati. Setiap kali orang berbuat dosa, maka timbul noktah hitam di hatinya. Semakin sering ia berbuat dosa, maka semakin banyak pula noktah hitam sampai akhirnya menutupi seluruh hatinya. Dalam keadaan demikian hati menjadi hitam pekat dan gelap.

Inilah kegelapan hati lantaran dosa-dosa yang dalam Alquran dinamakan rin. Firman Allah SWT, ''Sekali-kali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.'' (Al-Muthaffifin: 14). Apa yang dimaksud dengan rin dalam ayat di atas tak lain adalah dosa-dosa. Jadi, rin adalah dosa-dosa yang dilakukan secara terus-menerus sehingga membuat hati menjadi gelap dan mati.

Menurut pakar tafsir al-Razi, penutup hati ada tiga tingkatan. Pertama, rin, yaitu dosa-dosa seperti disebutkan di atas. Kedua, thab-'i, yaitu watak yang terjadi karena rin. Jelasnya, kalau dosa-dosa terus dilakukan, maka hal itu menjadi kebiasaan dan akan berkembang menjadi watak. Dan inilah yang dinamakan thab-'i. Ketiga, iqfal, yaitu hati menjadi terkunci mati. Ini berarti, thab-'i lebih berat dari rin, dan iqfal lebih berat lagi dari thab-'i.

Pada tingkat yang terakhir ini, hati tidak saja gelap, tetapi benar-benar tertutup rapat. Dalam keadaan demikian, hati tidak dapat menerima kebenaran dan petunjuk Allah. Bahkan, ia benci dan alergi dengan agama dan nasihat. Inilah makna firman Allah, ''Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.'' (Al-Baqarah: 6).

Sebagai cermin diri, hati perlu dibersihkan dari dosa-dosa dengan tobat. Tobat membuat hati menjadi bersih dan terang kembali, meskipun tidak seterang hati orang yang selalu menjaga diri dari dosa-dosa dan maksiat. Selanjutnya, hati perlu banyak berdzikir dan mengingat Allah. Bagi kaum sufi, dzikir adalah pintu ma'rifah, sedangkan ma'rifah adalah pintu kebahagiaan. Semoga kita masih punya waktu untuk becermin dan membersihkan cermin kita, sehingga kita bisa mengenali dengan baik kerut-kerut dan borok-borok yang ada di ''wajah'' kita. Wallahu a'lam.

republika

Giat Bekerja .................... Oleh : Firdaus

Birrul Walidain atau berbuat baik kepada orang tua termasuk ajaran Islam yang penting. Berbuat baik kepada mereka merupakan amal yang utama dalam pandangan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Rasulullah SAW pernah ditanya seorang sahabat tentang amal yang paling dicintai Allah. Beliau bersabda, ''Shalat tepat pada waktunya!'' Sahabat itu bertanya lagi, ''Apalagi amal yang dicintai Allah, ya Rasulullah?'' ''Berbuat baik kepada orang tua,'' jawab beliau. Sahabat itu bertanya kembali, ''Kemudian amal apa lagi, ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Berjihad pada jalan Allah.'' (HR Bukhari)

Perintah berbuat baik kepada orang tua ditempatkan Allah sesudah perintah menyembah dan beribadah kepada-Nya. Ini mengisyaratkan berbuat baik kepada orang tua perlu menjadi perhatian setiap Muslim.

Allah SWT berfirman, ''Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.'' (QS 17: 23).

Menurut ayat ini, berbuat baik kepada orang tua harus ditampilkan dalam perkataan, sikap, dan perbuatan. Ini wajar dilakukan seorang anak karena orang tua telah berjasa membesarkan dan mendidiknya. Dalam kaitan ini, anak dilarang mengucapkan 'ah' dan bersikap kasar kepada orang tua karena dapat menyakitkan hati mereka.

Memberikan nafkah untuk orang tua termasuk cara berbuat baik kepada mereka. Allah berfirman, ''Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, 'Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan'. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.'' (QS 2: 215).

Cara lain berbuat baik kepada orang tua diwujudkan dengan mendoakan dan memohon ampunan Allah atas dosa mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Allah berfirman, ''Katakanlah, 'Ya Tuhanku, berilah mereka berdua rahmat-Mu (kasihilah) seperti mereka mengasihiku di waktu kecil'.'' (QS 17: 24).

Berbuat baik kepada orang tua yang meninggal dilakukan dengan menyambung silaturrahim dengan orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan mereka, termasuk teman sejawat dan handai taulan mereka. Selain itu, dengan meneruskan tradisi baik yang diwariskan orang tua karena akan menjadi pahala yang tidak terputus bagi mereka.

Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa melakukan suatu amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkan sesudahnya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barangsiapa yang melakukan tradisi buruk (dosa), ia berdosa dan memikul dosa orang yang mengamalkan sesudahnya tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti itu.'' (HR Nasa'i).

republika

Berumah Tangga Adalah Dakwah ................ Oleh : Mulyana

Berumah tangga bagi seorang Muslim tidak hanya didasari oleh sebuah kebutuhan akan fitrah untuk hidup berpasangan dengan lawan jenis. Lebih dari itu, berumah tangga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah dan dakwah.

Sebagai ibadah, berumah tangga merupakan sarana untuk meningkatkan dan menyempurnakan amaliah ibadah kepada Allah SWT. Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa menikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh iman, karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.'' (HR Thabrani).

Sedangkan sebagai dakwah, berumah tangga adalah sarana untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan takwa serta berlomba dalam memberikan contoh terbaik. Dakwah dalam konteks ini tidak hanya antara suami, istri, dan anak. Namun, juga meliputi bagaimana keluarga yang dibentuk dapat menjadi teladan bagi keluarga lainnya dan masyarakat pada umumnya.

Adalah kenyataan bahwa setiap pasangan suami-istri selalu memiliki kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan istri atau suami adalah sarana dakwah bagi pasangan masing-masing untuk melengkapi dan menutupi kekurangan tersebut.

Alquran menjelaskan hubungan suami-istri dengan ungkapan bahasa seperti sebuah pakaian. Artinya, istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri. Ini membawa konsekuensi keduanya harus berusaha saling menjaga dan menasihati.

Allah SWT berfirman, ''Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.'' (QS 2: 187).

Untuk menjadikan rumah tangga sebagai sarana dakwah, dari setiap pasangan diperlukan kesadaran bahwa mereka terlahir sebagai pejuang-pejuang kebenaran yang memiliki kewajiban untuk saling memberikan nasihat, mengajak pada kebaikan, dan mencegah dari berbagai kemunkaran.

Hal ini sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya, ''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.'' (QS 3: 110).

Dalam ayat lainnya Allah SWT menegaskan, ''Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) pada yang baik, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.'' (QS 9: 71).

Pendek kata, berumah tangga harus kita jadikan sarana dakwah yang efektif. Baik suami kepada istri, istri kepada suami, orang tua kepada anak-anak, maupun antaranggota keluarga itu sendiri. Atau dengan kata lain, dakwah harus kita jadikan sebagai salah satu tujuan dalam berumah tangga. Wallahu a'lam bis-shawab.

republika

Andaikan Umar di NTB ................................. Oleh : Laksmi Widajanti

Nabi Muhammad SAW, dalam suatu kesempatan, pernah bersabda kepada Abu Dzar, "Sesungguhnya kekuasaan itu adalah amanah dan kekuasaan itu di hari kiamat kelak akan menjadi sumber kesedihan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengar benar dan menyampaikan kepada mereka yang semestinya," (HR Muslim).

Kita juga diberi teladan oleh Khalifah Umar bin Khattab saat mendapati salah seorang warganya yang kelaparan merebus batu sekadar untuk menghibur anak-anaknya agar bisa tidur dan melupakan rasa lapar mereka. Lalu, Khalifah Umar memanggul sendiri gandum yang akan diberikan kepada wanita miskin itu. Tindakan memanggul sendiri itu, menurutnya, harus ia lakukan, sebab jika tidak ia akan diberi beban yang lebih besar di hari akhir kelak.

Apa yang dilakukan Umar memang sulit dibayangkan untuk saat ini -- terlebih membayangkan seorang penguasa dalam strata apa pun menggunakan tangannya sendiri guna memenuhi tanggung jawabnya. Ketika beberapa kali menyaksikan tayangan stasiun televisi mengenai kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB), kita berkeyakinan, masalah tersebut akan cepat teratasi jika para pemimpin di daerah itu meresapi sikap egaliter Umar bin Khattab.

Selaku pemimpin, semestinya selain merasa bertanggung jawab kepada rakyat, juga harus merasa bahwa hal itu juga merupakan kewajiban agama yang akan berakibat kepada kehidupan di akhirat kelak. Memang, jika satu masalah dipandang dari dua sudut kepentingan berbeda akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula seperti kasus di NTB. Oleh pers kasus itu dikatakan sebagai busung lapar, tapi oleh Gubernur NTB dikatakan sebagai kasus gizi buruk. Memang, secara retoris itu sah-sah saja. Akan tetapi, menurut ilmu pangan dan gizi, perlu diingat bahwa busung lapar atau gizi buruk sama-sama bermuara pada satu hal yaitu tidak tersedianya pangan yang cukup. Dengan demikian, menurut saya, baik busung lapar maupun gizi buruk sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar, karena secara substansial sama-sama mengandung makna minimnya asupan.

Dalam menyikapi hal itu, sudah semestinya penguasa tidak mengidentikkan kasus busung lapar dengan kondisi tidak bisa makan sama sekali, karena untuk kasus seperti itu sukar dibayangkan di Indonesia yang masih mempunyai banyak tumbuh-tumbuhan di alam bebas. Hanya saja, perlu diingat apakah yang mereka makan masih layak bagi seorang manusia? Inilah persoalan yang mesti dicermati oleh penguasa.

Kasus di NTB harus membuat kita semua, terutama penguasa, untuk berintrospeksi serta merenungi hadis Nabi SAW seperti disebutkan di awal tulisan ini. Bukan dengan menyibukkan diri memberi pernyataan bahwa rakyatnya masih bisa makan. Sebab, antara busung lapar dan gizi buruk sesungguhnya tidak ada batas yang jelas.

republika

Amanat Kehidupan .......................... Oleh : Mulyana

Perjalanan bangsa ini --dan juga bangsa-bangsa lain-- selalu memberikan pelajaran bahwa tidak ada satu pun yang abadi. Jabatan dan kekuasaan yang dimiliki seseorang selalu ada batasnya. Orang yang sebelumnya dihormati dan dimuliakan dengan sangat cepat dapat menjadi orang yang hina dan pesakitan. Orang yang kaya pun dapat dengan sangat tiba-tiba menjadi miskin. Begitu juga sebaliknya, orang yang beberapa bulan atau tahun lalu bukan ''siapa-siapa'', bisa jadi kini sudah menjadi ''orang hebat''.

Hal ini sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam firman-Nya, ''Katakanlah, 'Wahai Tuhan Yang Mempunyai Kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)'.'' (QS 3: 26-27).

Demikian pula dengan diri kita. Kita pun berputar dan mengalami pertumbuhan dari asalnya tidak ada menjadi ada dan kemudian kembali kepada-Nya. Dari anak-anak, remaja, dewasa dan menjadi tua. Allah SWT berfirman, ''Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.'' (QS 2: 28).

Dalam ayat lainnya dijelaskan, ''Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami-(nya).'' (QS 40: 67).

Itulah yang disebut sunnatullah. Semuanya berjalan dan berputar sesuai dengan kehendak Yang Kuasa, Allah SWT. Allah yang memberikan amanah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan, Allah pula yang mencabut amanah tersebut.

Dalam konteks ini, maka apa pun yang kita miliki dan bahkan diri kita adalah amanah kehidupan dari Allah. Kita harus menjaga dan menjalankan amanah tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan dan diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Karenanya, janganlah kita terlena dengan segala apa yang kita miliki, terutama jabatan (kedudukan) dan kekayaan. Sebab, semua itu adalah cobaan dan amanat.

Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.'' (QS 8: 27). Wallahu a'lam bis-shawab

republika

Agar Dijaga Allah .................................. Oleh : Makmun Nawawi

Sekali waktu Nabi Muhammad SAW berpesan kepada Ibnu Abbas, ''Jagalah Allah, niscaya Dia menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu dapati Dia di hadapanmu.''

Ketika menjelaskan hadis ini, Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitabnya Jami'ul-Ulum wal-Hikam menyatakan, ungkapan ''Jagalah Allah'' maksudnya adalah jagalah hukum-hukum Allah, hak-hak-Nya, perintah-perintah-Nya, dan larangan-larangan-Nya. Artinya, lakukanlah perintah-perintah Allah dan tinggalkanlah larangan-larangan-Nya. Juga jangan dilanggar hukum-hukum Allah, baik menyangkut perintah maupun larangan-Nya.

Hadis di atas mengandung wasiat yang agung menyangkut persoalan penting dalam agama. Nabi Sulaiman AS pernah mengatakan, ''Kami telah pelajari ilmu apa pun yang telah dipelajari manusia dan ilmu-ilmu yang belum dipelajari manusia. Ternyata, kami tidak mendapatkan (sesuatu pun) yang sehebat penjagaan Allah, baik di alam gaib maupun di alam nyata.''

Para ulama mengatakan bahwa ada dua bentuk penjagaan Allah SWT itu. Pertama, menjaga seorang hamba menyangkut kepentingan duniawinya, seperti menjaga fisiknya, anaknya, keluarganya, atau harta bendanya.

Allah SWT berfirman, ''Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.'' (Ar-Ra'd: 11).

Penjagaan Allah seperti disebutkan dalam ayat tadi pernah dialami oleh seorang suci bernama Ibrahim bin Adham. Diceritakan, suatu kali Ibrahim bin Adham tertidur di sebuah kebun, sementara di sampingnya ada ular berbisa yang di mulutnya ada seikat bunga narsia. Ular itu terus menggelosor-gelosor sampai sang sufi terbangun.

Kedua, dan inilah bentuk penjagaan Allah yang paling agung, yaitu menjaga hamba dalam hal agamanya dan keimanannya. Sehingga, dalam hidupnya ia terjaga dari hal-hal yang syubhat yang menyesatkan, dari syahwat yang diharamkan dan di saat sakaratul maut pun agamanya tetap terjaga sehingga dia wafat dalam keadaan beriman.

Maka, berbahagialah orang yang dijaga Allah, sehingga hatinya terjaga dari berbagai syubhat dan keraguan, terjaga dari syirik dan nifaq, terjaga dari kebingungan dan kebimbangan, terjaga dari setiap ideologi yang diselinapkan dan merusak akidah.

Bagi orang yang dijaga Allah, maka boleh jadi manusia-manusia di sekitarnya terjerumus dalam kesesatan, penyimpangan, bertindak ilegal, korup, serta tidak punya arah dan tujuan. Namun, orang tadi tetap dijaga Allah, sehingga ia tetap mengenal jalan hidayah, kebaikan, dan kemenangan.

Seorang ulama salafus shaleh berujar, ''Bila maut hendak menjemput seseorang, maka dikatakan kepada malaikat ciumlah kepalanya. Malaikat menjawab: kutemukan dalam kepalanya Alquran. Dikatakan pula: ciumlah hatinya. Sahut malaikat: kutemukan puasa dalam hatinya. Dikatakan lagi: ciumlah kedua kakinya. Ujar malaikat: kutemukan qiyam (bangun untuk ibadah) di kedua kakinya. Malaikat kembali menambahkan: dia telah menjaga dirinya maka Allah pun menjaganya.'' Wallahu a'lam.

republika

Wanita, Wajib Menjaga Wibawa!

Banyak!! Ya, wanita saat ini banyak yang mulai terjerumus pada hal-hal yang jauh dari nilai-nilai keislaman yang telah menjadi fitrah mereka selama ini. Tak hanya busana, bahkan tutur kata hingga tata lakunya pun kini sudah tidak mencerminkan sikap-sikap yang islami lagi. Gejala apa ini? Apakah memang kita terlalu lemah menyikapi tantangan hidup ini?

Sebutlah Rahma, gadis yang sejak usia SMP sudah belajar di pesantren, dan selama enam tahun tinggal di asrama bersama teman-temannya ia mendalami ilmu agama. Agar menjadi seorang wanita shalihah yang bisa menjaga dirinya dan keluarganya sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh agama, itulah cita-citanya.

Harapan itu memang tercapai saat Rahma masih berada di pesantren. Namun, keshalihahan dan ketaatannya terhadap nilai Islam perlahan memudar menjelang tahun ketiga saat Rahma kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang mayoritas mahasiswanya sudah terbawa arus pergaulan jaman. Maka Rahma yang biasa menutup aurat dengan baju gamis dan tutur kata sopan, berubah menjadi seorang Rahma yang cenderung tak bermoral.

Sepasang busana ketat kini membungkusnya dari mulai kepala hingga kaki. Kerudung lebarnya pun kini telah berganti menjadi sehelai kerudung pendek yang ujung-ujungnya ditarik ke belakang hingga jelaslah aurat-aurat yang tidak seharusnya dia perlihatkan pada orang lain selain mahramnya. Tak hanya itu, kata-kata gaul dan celetukan-celetukan nakal kini telah lancar diucapkannya di depan umum, tak jarang nama binatang diikutsertakannya di akhir kata. Astagfirullah!!!

Rahma hanya satu contoh kasus. Karena jujur, masih banyak lagi Rahma-Rahma yang lain berkeliaran di luar sana. Sehingga tak bisa dipungkiri lagi, jika lingkungan dengan pergaulan yang tidak tertib ternyata menjadi salah satu faktor yang dominan dalam mengubah perilaku seseorang.

Memang, saat memasuki lingkungan tertentu awalnya wanita berjilbab selalu merasa asing dengan sekelilingnya yang memiliki penampilan dan perilaku berbeda. Mungkin ada semacam jeda yang hadir dalam hatinya. Sehingga iapun membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang yang memiliki persamaan dengannya. Namun, kebekuan diantara yang berbeda itu perlahan mulai mencair dan mulai saling memahami Dalam kasus Rahma misalnya. Saat teman-temannya yang mayoritas anak gaul berpendapat kalau jilbab adalah busana yang kuno dan hanya dipakai oleh nenek-nenek, rasa percaya diri Rahma perlahan-lahan mulai memudar. Apalagi saat itu Rahma benar-benar dalam posisi dimana dirinya sendirilah yang memiliki perbedaan. Sehingga tanpa terasa, sedikit demi sedikit sikap dan penampilannyapun mulai berubah.

Latah!! Sebenarnya kelatahan seperti itu tidak perlu terjadi. Tentunya jika kita berlaku sebagai wanita yang bisa bertindak lebih bijaksana dan berwibawa saat menolak berbagai ajakan yang menurut kita tak sesuai dengan Syariat. Tak perlu peduli pada orang yang mengatakan kita fanatik, sok alim dan lain sebagainya. Biarkan saja mereka memandang kita sebagai wanita kuno yang tidak bersyukur karena tidak mau memperlihatkan keindahan fisik yang telah diberikan sang pencipta. Terserah!!! Yang penting bagi kita adalah bisa menjadi wanita yang baik menurut Allah.

Wanita!!! Bisa menjaga diri, adalah ujian terberat kita saat ini. Namun percayalah, ada hikmah yang bisa kita petik. (ita/MQ)[MQMedia.com]

KotaSantri.com

Menjauhi Prasangka ............................. Oleh : A Ilyas Ismail (REPUBLIKA)

Diceritakan, di samping Rasulullah SAW ada orang yang memuji-muji temannya. Lalu, Rasulullah mengingatkannya. Kata beliau, ''Celaka kamu! Kamu telah memotong leher saudaramu itu. Kalau ia mendengar, ia tidak akan senang.'' Kemudian beliau melanjutkan, ''Kalaulah kamu harus memuji saudaramu, lakukanlah itu secara jujur dan objektif.'' (HR Bukhari-Muslim).

Hadis tadi mengingatkan kita agar tidak sembarang memuji atau memberikan pujian sekadar asal bapak senang (ABS). Pujian semacam itu selain tidak mendidik, juga sangat bertentangan dengan norma-norma agama. Pujian yang dilakukan secara berlebihan menjadi bagian dari bencana lidah (min afat al-lisan) yang sangat berbahaya.

Dalam buku Ihya 'Ulum al-Din, Imam Ghazali menyebutkan enam bahaya (keburukan) yang mungkin timbul dari budaya ABS itu. Dikatakan, empat keburukan kembali kepada orang yang memberikan pujian, dan dua keburukan lainnya kembali kepada orang yang dipuji.

Bagi pihak yang memuji, keburukan-keburukan itu berisi beberapa kemungkinan. Pertama, ia dapat melakukakan pujian secara berlebihan sehingga ia terjerumus dalam dusta. Kedua, ia memuji dengan berpura-pura menunjukkan rasa cinta dan simpati yang tinggi padahal sesungguhnya dalam hatinya tidak. Di sini, ia berbuat hipokrit dan hanya mencari muka. Ketiga, ia menyatakan sesuatu yang tidak didukung oleh fakta. Ia hanya membual dan bohong belaka. Keempat, ia telah membuat senang orang yang dipuji padahal ia orang jahat (fasik). Orang jahat, kata Ghazali, jangan dipuji biar senang, tetapi harus dikritik biar introspeksi.

Sedangkan bagi pihak yang dipuji terdapat dua keburukan yang bisa timbul. Pertama, ia bisa sombong (kibr) dan merasa besar sendiri ('ujub). Keduanya, kibr dan 'ujub merupakan penyakit hati yang mematikan. Kedua, ia bisa lupa diri dan lengah karena mabuk pujian. Menurut Ghazali, orang yang merasa besar dan hebat, pasti ia lengah. Karena sudah hebat ia merasa tidak perlu bersusah payah dan bekerja keras. Kerja keras hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang merasa banyak kekurangan dalam dirinya.

Kata Ghazali, pujian boleh dilakukan asalkan dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Bahkan, terkadang pujian itu diperlukan. Rasulullah SAW pernah memuji Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan sahabat-sahabat beliau yang lain. Namun, pujian beliau dilakukan dengan jujur dan penuh kearifan. Beliau juga sadar betul bahwa pujiannya tidak akan menjadikan para sahabatnya itu sombong.

Agar tidak mabuk karena pujian, seseorang perlu mengenali dirinya sendiri. Ia tentu lebih tahu dirinya sendiri ketimbang orang lain yang memuji. Dengan begitu, ia tidak akan lengah, karena sadar tidak semua pujian yang dialamatkan kepadanya sesuai dengan kenyataan.

Dikatakan, seorang telah memuji Imam Ali bin Abi Thalib. Lalu, katanya, ''Aku tidak sebagus yang kamu katakan.'' Dalam kesempatan lain, ketika banyak menerima pujian, beliau justru berdoa, ''Ya Allah, ampunilah aku atas perkataan mereka, dan jangan Engkau siksa aku gara-gara mereka. Berikanlah kepadaku kebaikan dari apa yang mereka sangkakan kepadaku.'' Semoga kita terhindar dari bahaya ABS. Amin.

Ilustrasi Manajemen waktu

Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan oleh para siswanya.

Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia berkata: "Baiklah, sekarang waktunya kuis " Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya di atas meja.

Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati- hati batu-batu itu kedalam toples.

Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya:" Apakah toples ini sudah penuh?"

Semua siswanya serentak menjawab, "Sudah!"

Kemudian dia berkata, "Benarkah?"

Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu itu.

Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi: "Apakah toples ini sudah penuh?"

Kali ini para siswanya hanya tertegun, "Mungkin belum!", salah satu dari siswanya menjawab.

"Bagus!" jawabnya.

Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang- ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan.

Sekali lagi dia bertanya, "Apakah toples ini sudah penuh?"

"Belum!" serentak para siswanya menjawab sekali lagi dia berkata, "Bagus!"

Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.

Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kpd para siswanya dan bertanya: "Apakah maksud dari ilustrasi ini?"

Seorang siswanya yg antusias langsung menjawab, "Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain kedalamnya!"

"Bukan!", jawab si ahli, "Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa :

JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLES TERSEBUT.

"Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, kesehatanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam hidupmu.

Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar tersebut sebagai yg pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk memperhatikannya.

Jika kamu mendahulukan hal-hal yang kecil dalam prioritas waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal yang kecil, kamu tidak akan punya waktu untuk melakukan hal yang besar dan berharga dalam hidupmu".

Milis Pengembangan Kepribadian

Pakai Kerudung Tapi Tetap Seksi Oleh : Ummu Rasyadan

Salah satu ciri fisik seorang wanita salehah adalah suka berpakaian sopan, dan selalu mengenakan busana yang tertib menutupi aurat. Banyak kaum hawa yang tampak berpakaian tapi pada hakikatnya mereka sama saja dengan "telanjang"- busana mereka sengaja dibuat hanya menutupi bagian-bagian tertentu saja. Kendati kain busana dirancang menutupi sekujur tubuh, namun lekuk molek dan bentuk tubuhnya masih tetap tampak jelas dimata yang memandang. "Buat apa pake kerudung, kalau masih tetap ingin tampil seksi di depan umum."timpal suami penulis yang kebetulan bekerja di perusahaan milik Aa Gym, dan mengaku jarang "menikmati" pemandangan yang penulis utarakan.

Kesimpulan yang penulis kemukakan pada paragraf awal, penulis ambil setelah membuka terjemahan Al Qurán Nur Karim hadiah Kerajaan Saudi, halaman 678, surat Al Ahzab ayat 59. Bunyi firman-Nya adalah : "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min : "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Kesimpulan itu diperkuat pula oleh pelajaran yang penulis dapatkan dari pengajian rutin di Masjid Al Falah. Ustadzah Dyah Kusumastuti pemateri saat itu menjelaskan, bahwa jilbab atau kerudung adalah model busana yang dirancang untuk melindungi seluruh tubuh, terutama tubuh bagian atas, kecuali muka dan telapak tangan. KH Ujang Muhammad, pembimbing jamaah ketika penulis menunaikan ibadah umrahpun memberikan contoh yang lebih tegas dan konkret kepada penulis : "Pakaian yang menutupi aurat itu, jelasnya seperti yang ibu-ibu kenakan pada saat melaksanakan thawaf dan sa'i, waktu menunaikan umrah seperti sekarang ini."

Dari pelajaran-pelajaran itu, akhirnya saya bisa memetik hikmah, bahwasanya Allah mmerintahkan wanita berpakaian rapat agar wanita yang beriman bisa dibedakan dari wanita yang tak beriman. Dengan berpakaian seperti yang telah disyariátkan itu, wanita berimanpun tercegah dari upaya-upaya kaum munafik yang sering berniat atau berlaku keonaran terhadap kaum muslimah.

***

Suami penulis pernah mewanti-wanti, bahwasanya salah satu fitrah wanita adalah rasa malu. Fitrah yang terejawantahkan kedalam sifat malu (bukan dalam pengertian rendah diri) itu tersirat dari caranya berpakaian. Wanita yang berjilbab rapat, seperti apa yang dijelaskan Ustadzah Masjid Al Falah maupun KH Ujang Muhammad, menandakan keistiqamahannya dalam menjaga fitrah atau rasa malunya agar tetap utuh. Sedang wanita yang masih fifty-fifty, atau sama sekali enggan berpakaian sesuai syar'i, maka ia berarti 'setengah' atau seluruhnya ingkar dari fitrahnya sebagai wanita.

"Terus, apa yang harus Ummi lakukan agar fitrah Ummi sebagai wanita tetap utuh, Bi ?"

Suami penulis tak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia bangkit menuju rak buku, lantas kembali menyodorkan kitab terjemahan Al Qurán cetakan "pemkot" Madinah Al Munawwarah. Setelah membaca taúdz dan basmalah, suami membacakan salah satu ayat dalam surat An Nuur. Usai melantunkan satu ayat dari surat An Nuur itu, diapun membacakan tafsir terjemahannya. Bunyinya : "Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada: suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putera-putera mereka, putera-putera suami mereka, saudara-saudara lelaki mereka, putera-putera saudara lelaki mereka, putera-putera saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, hamba-hamba yang mereka miliki, pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita." (Q.S. 24 : 31)

"Itulah sebabnya Ummi, kenapa Abi dulu mensyaratkan agar Ummi berjilbab dulu sebelum menikah dengan Abi."ucap suami sambil meletakkan tafsir qurán ke atas rak buku.

"Alah, tapi Abi suka juga 'kan melihat wanita berkerudung tapi tampak seksi?" timpal penulis dengan maksud menggoda.

"Lho, bagaimana sih Ummi ini ? Karena Abi, kawan-kawan Abi, dan semua lelaki pada lazimnya mudah sekali tergoda, maka tugas Ummi dan kawan-kawan Ummi-lah untuk mendakwahi sesama kaumnya. Jangan sampai Abi, kaumnya Abi, atau ada lelaki yang terjerumus dan tergoda, gara-gara penampilan seronok seorang wanita yang notabene adalah muslimah. Itu 'kan sama saja mendzhalimi lelaki, dan mendzhalimi Ummi juga, kalau Abi sampai tergoda." balas suami penulis dengan nada menggoda pula.


www.cybermq.com

Ada Jomblo di Tengah Kita

Semua itu mimpi o...o u o u o
Hanyalah bualan o...o u o u o
Semua itu bohong o...o u o u o
Aku tetap saja o... tetap sendiri


Kamu pasti udah hapal ama lirik lagu yang dilantunkan Armand Maulana sang vokalis GIGI di atas. Apalagi kalo ditanya judul lagunya? Hmm…pasti deh pada ngacung. Tapi please…, yang belon pake Rexona jangan ikutan ngacung ya (eh, ini iklan ya?). Bukan apa-apa. Takut disangka sumber polusi udara. Hehehe…. keep smile ya.

Selain easy listening, tuh lagu turut mempopulerkan istilah jomblo di kalangan anak muda. Liriknya seolah mengungkap kegelisahan hati seseorang yang belon punya gandengan. Soalnya, truk aja bisa punya gandengan masa' doi nggak. Betul? Betuul…! Tapi ngomong-ngomong, jomblo itu apa sih? Ih… tulalit deh!

Gini, secara etimologi seperti tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jomblo itu artinya perempuan tua yang nggak laku-laku alias perawan tua. Tapi seiring berjalannya waktu, terjadi perluasan makna pada kata jomblo. Kini, jomblo dimaknai sebagai julukan ‘trendi' buat mereka (baik cowok maupun cewek) yang masih sendiri, belum punya pacar, dan belum punya gandengan (emangnya truk?). Pokoknya masih suka sendiri aja (atau memang belum ada yang ngajak barengan). Gitchu. Ehm, apakah kamu termasuk di dalamnya? Hehehe.


Pro-kontra seputar jomblo

Dalam pergaulan remaja, perdebatan tentang status jomblo nggak kalah serunya dengan debat capres kemaren-kemaren. Banyak yang pro, tapi nggak sedikit juga yang kontra.

Bagi yang pro, mereka enjoy bilang “its oke to be jomblo”. Predikat itu bukan masalah bagi mereka. Justru mereka menikmati hidup tanpa pasangan. Sebagai wujud rasa syukur mereka, ada di antaranya yang bikin perkumpulan dengan nama Jojoba alias Jomblo-jomblo Bahagia. Malah ada juga yang tergabung dalam komunitas Kelompok Jomblo Ceria yang disingkat Kejora. Ehm, Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Lucu dan Imut) boleh juga tuh. Ada yang mau gabung? Pilih yang oke visi, misi, dan programnya (duileee). Wis, sundut terus!

Mereka ngerasa keberadaan pasangan malah bikin ribet. Kayak memasung kebebasan bin kreativitasnya gitu lho. Deket dikit aja ama temen lawan jenis, dicemburuin. Nggak mau ngikutin kemauan ‘yayang', dibilang nggak cinta. Nggak balas SMS atau missed call aja disangka selingkuh. Punya pendapat berbeda malah dicemberutin. Kalo udah gini, tentu being jomblo lebih asyik. Nggak terikat atau mengikat orang lain. Punya otoritas penuh nentuin langkah kakinya sendiri mau belok kiri, kanan, atau lurus tanpa intervensi dan pengawasan dari pihak lain. Mereka juga ngerasa nggak membebani orang lain untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Nggak heran kalo para jomblo itu begitu bahagia dan ceria menikmati kesendiriannya. Huhuy!

Sementara yang kontra, mereka juga punya alasan yang nggak kalah dahsyatnya. Bagi mereka, menyandang status jomblo seperti kutukan (wuiih syerem bener..). Soalnya hidup tanpa curahan kasih sayang dari lawan jenis ibarat sayur tanpa garam. Garing bin kering kerontang. Apalagi di kalangan remaja yang menobatkan pacaran sebagai simbol pergaulannya. Alamat bakal tersisih dari pergaulan dan memanen kata-kata sindiran yang pelan tapi dalem dan bikin kuping panas. Seperti yang dialami tiga cewek jomblo Gwen, Keke, dan Olin dalam film 30 Hari Mencari Cinta yang dituding lesbian cuma karena nggak punya gacoan. Gimana nggak gondok? Nggak ku..ku.. deh!

Makanya bagi kaum antijomblo, nggak punya pasangan bisa bikin depresi. Gejala yang ringan sih mungkin cuma uring-uringan, mimik mupeng ngeliat temennya yang pacaran, atau krisis percaya diri karena tak kunjung laku (emangnya jualan?). Tapi bagi yang sudah akut, gejalanya bisa parah. Karena nggak kuat lagi menahan rasa malu, gunjingan atawa sindiran, orang bisa menarik diri dari pergaulan sosial atawa malah terdampar di Rumah Sakit Jiwa. Bukannya kita nakut-nakutin ya, cuma bikin kamu parno (paranoid) aja. Yee...sama aja atuh!

Kaum yang kontra ini, ada yang sampe mendeklarasikan berdirinya PJI alias Partai Jomblo Indonesia. Mereka memperjuangkan persamaan hak dalam mendapatkan jodoh. Mengingat ada di antara mereka yang terkena dampak buruk dari rolek alias risiko orang jelek. Loyalitas mereka dalam perjuangannya terukir dalam semboyannya yang menggugah semangat. “Jomblo itu pedih, Jendral...!” Walah!


Mending jomblo daripada maksiat

Sobat muda muslim, kian hari opini media yang memojokkan para jomblo kian tak terkendali. Remaja makin diarahkan untuk berani mengekspresikan rasa suka kepada lawan jenis dengan berpacaran. Tayangan-tayangan ghibahtaintment yang berseliweran tiap hari di layar kaca, bikin permasalahan cinta menjadi masalah utama dalam hidup manusia. Kedekatan seorang selebritis dengan lawan jenis dikupas habis dengan bumbu sana-sini biar layak jual. Aksi “penembakan” yang dilakukan remaja diabadikan dalam “Katakan Cinta”. Perselingkuhan di antara mereka pun sampe melibatkan detektif H2C atau dengan pembuktian Playboy Kabel.

Parahnya, remaja mengkonsumsi semua tayangan di atas setiap minggu. Cinta... cinta....dan cinta..... Tiada hari tanpa obrolan cinta. Otomatis secara psikologi ada beban tersendiri dalam perkembangan jiwa mereka. Malu bin nggak pede dalam kesendiriannya. Merasa terasingkan ketika kebanyakan temen-temennya udah punya gebetan meski usia baru belasan. Pengaruh media membuat murid-murid SMP pun udah Saatnya Mencari Pacar. Berabe euy!

Maaf, bukannya kita mau melestarikan status jomblo. Bukannya mau ngelarang temen-temen jomblo untuk nyari pasangan. Bukan juga mengajak para jomblo untuk tabbatul (membujang). Tapi kalo upaya pelepasan predikat jomblo selalu berujung pada aktivitas pacaran, mendingan tetep istiqomah menyandang status jomblo. Seperti pepatah bilang, biar jomblo asal selamat dari aktivitas maksiat. Setuju?


High Quality Jomblo = JI

Sobat muda muslim, istiqomah dengan predikat jomblo bukanlah sebuah aib yang kudu disesali. Karena derajat manusia di hadapan Allah tidak dinilai berdasarkan predikat ini. Itu berarti kaum jomblo punya peluang yang sama besar dengan para alumninya yang udah merit untuk dapetin pahala Allah yang berlimpah. Jadilah High Quality Jomblo (HQJ) di hadapan Allah. Caranya?

Pertama, HQJ nggak semata dinilai dari penampilan fisik seperti yang disyaratkan dalam “Katakan Cinta”. Tapi dinilai dari keterikatannya dengan aturan Allah. Ini berlaku untuk setiap perbuatan dia. Dari bangun tidur sampe tidur lagi. Sehingga melahirkan sikap akhlakul kariimah. Dengan tetangga sebelah rumah akur. Nggak sungkan ngasih pertolongan sesuai kemampuannya. Anti sikap individualis bin egois. Santun dalam bertutur kata dan menyampaikan pendapat. Bersikap tegas tanpa harus bertindak keras. Atau terbuka untuk menerima perbedaan pendapat.

Kedua, seorang HQJ nggak dosa punya tampang menawan hati. Itu kan anugerah dari Allah, ya kudu disyukuri. Tapi bakal dosa kalo anugerah itu dipake tebar pesona sana-sini. Apalagi sampai diobral. Emangnya produk sisa ekspor? Nggak lha yauw!

Ketiga, seorang HQJ juga pandai memanfaatkan masa kesendiriannya. Waktu, pikiran, tenaga, dan isi dompetnya nggak dihabisin buat ngurusin cinta yang nggak sehat. Tapi dioptimalisasi untuk mengekspresikan cinta kepada Allah dan RasulNya. Kegigihannya dalam menuntut ilmu semata-mata demi kemaslahatan umat. Ngasih porsi yang lebih besar dari waktu yang dimilikinya untuk terjun ke dunia dakwah.

Itu sebabnya, doi aktif ngaji, getol dakwah, sopan, dan taat syariat. Malah ada juga lho di antara mereka yang prestasi akademisnya berbanding lurus dengan kecintaannya terhadap perjuangan menegakkan Islam. Karena doi yakin Allah akan memberikan yang terbaik untuknya (ajal. jodoh, rejeki, kebaikan dsb). Rasul saw. bersabda: “Tidak layak seseorang, ketika menyaksikan suatu tempat di dalamnya ada kebenaran, kecuali dia akan mengatakannya. Sesungguhnya sekali-kali hal itu tidak akan pernah memajukan ajalnya dan tidak akan mencegah apa yang telah menjadi rezeki baginya” (HR al-Baihaqi)

Nah sobat, tiap orang pantas dan pasti menjadi HQJ seperti di atas (kecuali yang udah merit kali ya). Jangan minder meski tampang kita pas-pasan. Kuncinya cuma satu, ridho ngikutin aturan Allah yang original dalam keseharian kita. Bukan aturan bajakan yang doyan kompromi ama sekulerisme dan anak cucunya. Sebab cuma buat yang original Allah bakal ngasih garansi. Nggak cuma seumur hidup, tapi dunia akhirat. Di akhirat kita selamat, di dunia kita bisa jadi anggota JI.

Hah?! JI?! Sst…jangan bilang-bilang polisi ya. Entar didatengin pasukan antiteror 88 lagi. JI di sini artinya Jomblo Idaman yang bisa menjelma jadi CIA (Cowok Incaran Akhwat) atau FBI (Female Bidikan Ikhwan). Masa' nggak kepengen sih?


Mengakhiri masa jomblo

Sobat muda muslim, meski telah menjadi anggota JI, semoga kamu nggak puas dengan predikat itu. Apalagi sampe mengikrarkan diri untuk menjadi jomblo abadi binti sejati. Jangan deh. Gimanapun juga, Rasul mensunnahkan kita yang sudah mampu untuk mengakhiri masa jomblo. Dengan menikah, kita turut menambah barisan perjuangan Islam dan kaum Muslimin. Bagi ikhwan, jangan lewatkan peluang menjadi suami dan seorang ayah. Betapa nikmatnya memikul tanggung jawab. Terlahir suatu kekuatan yang mampu menggali potensi untuk menafkahi keluarga. Dan bagi akhwat, rasakan asyiknya menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga, menjadi madrasah buat jundullah tercinta, atau mendampingi suami meraih ridho ilahi. Bener lho!

Makanya kudu tetep semangat. Meski usia sudah masuk kepala tiga atau masih berstatus mahasiswa. Percaya deh, Allah pasti akan menunjukkan jalan bagi hambaNya yang hendak menikah demi menjaga kehormatannya. Kuncinya sabar dan tawakkal.

Sabar tatkala kendala menghadang di tengah perjalanan kita. Misalnya calon mertua belon bisa menerima kita. Itu cuma butuh introspeksi dan usaha gigih untuk melumerkan diding esnya. Sama halnya dengan kesiapan materi yang selalu menjadi momok di kalangan ikhwan sebelum naik ke pelaminan. Yang perlu dilakukan hanya menentukan batas waktu yang jelas untuk memotivasi usaha persiapan materi. Bisa usia, tanggal, bulan, atau tahun. Jangan menggantungkan kesiapan diri kita pada materi. Karena materi nggak akan pernah membuat kita siap. Betul?

Sobat muda muslim, perlu dicatet ya, kalo perlu pake stabilo merah menyala, kita di sini tidak bermaksud manas-manasin para jomblo untuk segera melepaskan statusnya. Kita cuma ngomporin doang kok. Hehehe....nggak ding, kita cuma mau ngasih informasi yang lengkap seputar pro kontra status jomblo dalam kacamata Islam. Ehm, moga paham.

Kita udah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Kalo masih betah dengan status jomblo, jadilah High Quality Jomblo. Kalo nggak tahan ama sundutan untuk merit, ikhlaskan niat untuk meraih pernikahan berkah. Intinya, mari kita sama-sama berusaha agar keseharian kita tak lepas dari keterikatan dengan aturan Allah. Jomblo atau mantan jomblo, ya nggak masalah. Betul? Betuuuul! [hafidz]

Buletin Studia
Edisi 216/Tahun ke-5 (11 Oktober 2004)

Senin, 13 Oktober 2008

Perjalanan Yang Jauh

Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur'anul Karim.
Tika ingin menemuinya, pergilah ke mushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya sedang ruku', sujud dan menengadahkan ke langit. Itulah yang dilakukannya setiap pagi, sore dan di tengah malam hari. Ia tidak pernah jenuh.

Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah seni, tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tak pernah beranjak dari video. Bahkan, aku sudah identik dengan benda yang satu ini. Setiap video diputar pasti di situ ada aku. Karena 'kesibukanku' ini, banyak kewajiban yang tak bisa kuselesaikan bahkan, aku suka meninggalkan shalat.
Setelah tiga jam berturut-turut menonton video di tengah malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid dekat rumahku.
Sekonyong-konyong malas menggelayuti semua persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur.
Nurah memanggilku dari mushallanya.

Dengan berat sekali, aku menyeret kaki menghampirinya.
"Ada apa Nurah?," tanyaku.
"Jangan tidur sebelum shalat Shubuh!", ia mengingatkan. "Ah. Shubuh kan masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertamal"
Begitulah, ia selalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasihat, sampai akhimya ia terbaring sakit. ia tergeletak lemah di tempat tidur.

"Hanah!," panggilnya lagi suatu ketika.
Aku tak mampu menolaknya. Suara itu begitu jujur dan polos.
"Ada apa saudariku?", tanyaku pelan.
"Duduklah!"
Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening...
Sejenak kemudian Nurah melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu.
"Tiapjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempumnkan pahalamu." (Al Imran: 185)
Diam sebentar, lalu ia bertanya: "Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?"
"Tentu saja percaya!"
"Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan dihisab, baik yang besar maupun yang kecil?"
"Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih panjang!"
"Ukhti, apakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba? Lihatlah Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal karena sebuah kecelakaan. Lihat pula si fulanah...Kematian tidak mengenal umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang.
Aku menjawabnya penuh ketakutan. Suasana tengah malam yang gelap mencekam, semakin menambah rasa takutku.
"Aku takut dengan gelap, bagaimana engkau menakut-nakutiku lagi dengan kematian ? Di mana aku akan tidur nanti ?" Jiwa asliku yang amat penakut betul-betul tampak.
Kucoba menenangkan diri aku benusaha tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan, rekreasi.
"Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi bersama?", pancingku.
"'Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang jauh... mungkin... umur ada di tangan Allah, Hanah", ia lalu terisak.
Suara itu bergetar, aku ikut hanyut dalam kesedihan.
Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang ganas. Para dokter, secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada ayah. Menurut analisa medis, para dker sudah tak sanggup, dan itu berarti dekatnya kematian.
Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua padanya?, atau ia memang merasa sudah datang waktunya?,
"Mengapa ternenung? Apa yang engkau lamunkan?", Nurah membuyarkan lamunanku.
"Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang sakit? Tidak. Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang sehat.
Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40 tahun atau...
Lalu apa setelah itu? Kita tidak berbeda. Kita semua pasti akan pergi, entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum mendengar ayat:
"Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung" ( Ali Imran: 185)
"Sampai besok pagi," ia menutup nasihatnya.

Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar.
Nasihatnya masih tergiang-ngiang di gendang telingaku, "Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan lupa shalat!"
Pagi hari...Jam dinding menunjukkan angka delapan pagi.Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. "Pada jam ini biasanya aku belum mau bangun" pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh, orang banyak terisak.
"Ya Rabbi, apa yang tejadi?"
"Mungkin Nurah...?, "firasatku berbicara. Dan benar, Nurah pingsan, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.
Tidak ada rekreasi tahun ini. Kami semua harus menunggui Nurah yang sedang sakit.
Lama sekali menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap cemas.
Tepat pukul satu siang, telepon di rumah kami berdering. Ibu segera mengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari rumah sakit. "Kalian bisa pergi ke rumah sakit sekarang!," demikian pesan ayah singkat.
Kata ibu, tampak sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari biasanya.
"Mana sopir...?" kami semua terburu-buru: Kami menyuruh sopir menjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya terasa dekat bila aku menikmatinya dalam pejalanan liburan, kini terasa amat panj ang, panjang dan lama sekali. Jalanan macet yang biasanya kunanti-nantikan sehingga aku bisa menengok ke kanan-kiri, cuci mata, kini terasa menyebalkan. Di sampingku, ibu berdo'a untuk keselamatan Nurah.
"Dia anak shalihah. Ia tidak pernah menyia-nyia kan waktunya. Ia begitu rajin beribadah", ibu bergumam sendirian.

Kami turun di depan pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Para pasien pada tergeletak lunglai. Di sana sini terdengar lirih suara rintihan. Ada yang baru saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta, ada yang mengerang keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku merinding.
Kami naik tangga eskalator menuju lantai atas. Nurah berada di ruang perawatan intensif. Di depan pintu terpampang papan peringatan: "Tidak boleh masuk lebih dari satu orang!" Kami terperangah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui, kami. Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah mulai membaik, setelah beberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.

Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari sebuah lubang keciljendela yang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang memandangiku. Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air matanya. Waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari ruang perawatan intensif.
Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatkan agar aku tidak banyak mengajaknya bicara. Aku diberi waktu dua menit.
"Assalamu 'alaikum!, bagaimana keadaanmu Nurah?, tadi malam, engkau baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?", aku menghujaninya dengan pertanyaan.
"Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja, jawabnya dengan berusaha tersenyum.
"Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?" aku menyelidik.
Aku duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia segera menjauhkannya dari jangkauanku.
"Ma'af, kalau aku mengganggumu!", aku tertunduk.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta'ala:
"Dan bertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada Tuhanmullah pada hari itu kami dihalau". (Al-Qiyamah: 29-30)
Nurah melantunkan ayat suci Alquran.
Aku menguattkan diri. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan Nurah, aku membisu.
" Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadap. Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku diakhirat…Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali".
Pertahananku runtuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah mengkhawatirkan keadaanku. Sebab mereka tak pernah melihatku menangis seperti itu.
Bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada hari itu. Nurah meninggal dunia….
Suasana begitu sepat berubah. Seperti baru beberapa menit aku bebincang-bincang dengannya. Kini ia telah meninggalkan kami buat selama-selamanya. Dan, ia tak akan pernah bertemu lagi dengan kami. Tak akan pernah pulang lagi. Tidak akan bersama-sama lagi. Oh Nurah…
Suasana dirumah kami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh tangisan yang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka percakapan.
Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan diriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski sekedar menangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium keningnya.
Kini, tak ada sesuatu yang kuingat seai satu hal. Aku ingat firman Allah yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya.
"Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan)". Aku kini benar-benar paham bahwa,"Kepada Tuhanmullah pada hari itu kamu dihalau"
"Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam terakhir aku menjumpainya di mushallanya.
Malam ini, aku sendirian di mushalla almarhumah. terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian baik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut memahami dn merasakan kegalauanku, saudari yang selalu mendo'akanku agar aku mendapat hidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menasihatiku tentang mati, hari perhitungan….ya Allah!
Malam ini adalah malam pertama bagi Nurah dikuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia, terangilah kuburnya.
Ya Allah, ini mushaf Nurah, …ini sajadahnya…dan ini..ini gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan kenangan manis pernikahannya.
Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia. Aku menangis terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo'a kepada Allah semoga Dia merahmatiku dan menerima taubatku.
Aku mendo'akan Nurah agar mendapat keteguhan dan kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering dan suka mendo'akanku.
Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. "Apa yang terjadi jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?"
Aku tak berani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku menangis, menangis lebih keras lagi.
Allahu Akbar, Allnhu Akbar...Adzan fajar berkumandang. Tetapi, duhai alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini.
Aku merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan muadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah, selanjutnya aku shalat Shubuh. Aku shalat seperti keadaan orang yang hendak berpisah selama-lamanya. Shalat yang pemah kusaksikan terakhir kali dari saudari kembarku Nurah.
Jika tiba waktu pagi, aku tak menunggu waktu sore dan jika tiba waktu sore, aku tidak menunggu waktu pagi.


di sadur dari kitab "Saudariku Apa yang Menghalangimu untuk Berhijab"
yang ada di Website “Yayasan Al-Sofwa”

Kejadian Yang Menakjubkan...

kisah sebelumnya ......

Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu...sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang mengendarai mobilnya denganpelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota.
Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung tersungkur seketika.

Aku dengan seorang kawan, -bukan yang menemani-ku pada peristiwa yang pertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapatpenanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta'at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an...dengan suara amat lemah.
"Subhanallah! " dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan:ia hampir mati.

Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan' al quran seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: "Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu... apalagi aku Sudah punya pengalaman" aku Meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qurlan yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.

Sampai di rumah sakit...Kepada orang-orang di sanal kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya.

Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkanl ketika kecelakaan sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekejaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab dengan halus. "Justru saya memanfaatkan waktu pejalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur'an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku ayunkan," kata almarhum.
Aku ikut menyalati jenazah dan mengantamya sampai ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
"Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah".
Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah...Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya...
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat...

Dan aku... sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia.Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin...

di sadur dari kitab "Saudariku Apa yang Menghalangimu untuk Berhijab"
yang ada di Website “Yayasan Al-Sofwa”

Kesudahan Yang Berlawanan

Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang balk. Aku selalu mendengar do'a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam Shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada' diri sendiri: "Alangkah sabarnya mereka...setiap hari begitu...benar-benar mengherankan!"
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat orang-orang pilihan...Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada Allah.

Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.
Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur'an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian...banyak waktu luang...pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh...tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku'sebatang kara. Hampir tiap'·hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.

Ketika kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan.Kami asyik ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras.
Kami mengalihkan pandangan. Teryata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong Korban.
Kejadian yarng sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis kedua nya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.

Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat. :
Ucapkanlah "Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…" perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding.
Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat...Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi... keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada gunanya...
Suara lagunya semakin melemah...lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak... keduanya telah meninggal dunia.

Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening.
Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su'ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata: "Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia". Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.
Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu' sekali.Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.

Aku kembali pada kebiasaanku semula...Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.

di sadur dari kitab "Saudariku Apa yang Menghalangimu untuk Berhijab"
yang ada di Website “Yayasan Al-Sofwa”

Temanku Mati Terbakar

Abu Abdillah berkata:
"Aku tak tahu, bagaimana harus menuturkan kisah ini padamu. Kisah yang pemah kualami sendiri beberapa tahun lain, sehingga mengubah total perjalanan hidupku. Sebenarnya aku tak ingin menceritakannya, tapi demi tanggung jawab di hadapan Allah, demi peringatan bagi para pemuda yang mendurhakai Allah dan demi pelajaran bagi para gadis yang mengejar bayangan semu, yang disebut cinta, maka kuungkapkan kisah ini.

Ketika itu kami tiga sekawan. Yang mengumpulkan kami adalah kesamaan nafsu dan kesia-siaan. Oh tidak, kami berempat. Satunya lagi adalah setan.
Kami pergi berburu gadis-gadis. Mereka kami rayu dengan kata-kata manis, hingga mereka takluk, lain kami bawa ke sebuah taman yang jauh terpencil. Di sana, kami berubah menjadi serigala-serigala yang tak menaruh belas kasihan mendengar rintihan permohonan mereka, hati dan perasaan kami sudah mati.

Begitulah hari-hari kami di taman, di tenda, atau dalam mobil yang di parkir di pinggir pantai. Sampai suatu hari, yang tak mungkin pernah saya bisa melupakannya, seperti biasa kami pergi ke taman. Seperti biqsa pula, masing-masing kami menyantap satu mangsa gadis, ditemani minuman laknat. Satu hal kami lupa.saat itu, makanan.

Segera salah Seorang di antara kami bergegas membeli makanan dengan mengendarai mobilnya. Saat ia berangkat, jam menunjukkan pukul enam sore. Beberapa jam berlalu, tapi teman kami itu belum kembali. Pukul sepuluh malam, hatiku mulai tidak enak dan gusar. Maka aku segera membawa mobil untuk mencarinya. Di tengah perjalanan, di kejauhariaku melihat jilatan api. Aku mencoba mendekat. Astaghfirullah, aku hampir tak percaya dengan yang kulihat.Ternyata api itu bersumber dari mobil temanku yang terbalik dan terbakar. Aku panik seperti orang gila.Aku segera mengeluarkan tubuh temanku dari mobilnya yang masih menyala. Aku ngeri tatkala melihat separuh tubuhnya masak terpanggang api. Kubopong tubuhnya lalu kuletakkan di tanah.
Sejenak kemudian, dia berusaha membuka kedua belah matanya, ia berbisik lirih: "Api..., api...!"
Aku memutuskan untuk segera membawa ke rumah sakit dengan mobilku. Tetapi dengan suara campur tangis, ia mencegah: ";Tak ada gunanya.. aku tak akan sampai...!l
Air mataku tumpah, aku harus menyaksikan temanku meninggal dihadapanku. Di tengah kepanikanku, tiba-tiba ia berteriak lemah: "Apa yang mesti kukatakan padarnya?
Apa yang mesti kukatakan padaNya?"
Aku memandanginya penuh keheranan. "Siapa?" tanyaku. Dengan suara yang seakan berasal dari dasar Sumur yang amat dalam, dia menjawab: "Allah!"
Aku merinding ketakutan. Tubuh dan perasaanku terguncang keras. Tiba-tiba temanku itu menjerit,gemanya menyelusup ke setiap relung malam yang gulita, lain kudengar tarikan nafasnya yang terakhir. Innanlillaahi wa innaa ilaihi raaji 'uun.

Setelah itu, hari-hari berlalu seperti sedia kala, tetapi bayangan temanku yang meninggal, jerit kesakitannya, api yang membakaryal dan lolongannya "Apa yang harus kukatakan padaNya? Apa yang harus kukatakan padaNya?", seakan terus membuntuti setiap gerak dan diamku.
Pada diriku sendiri aku bertanya: "Aku,... apa yang harus kukatakan padaNya?"
Air mataku menetes, lain sebuah getaran aneh menjalari jiwaku. Saat puncak perenungan itulah, sayup-sayup aku mendengar adzan Shubuh menggema:
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu Anla Ilaaha Illa Allah... Asyhadu Anna Muhammadar XasuluNah... Hayya 'Alash Shalaah..."

Aku merasa bahwa adzan itu hanya ditujukan pada diriku saja, mengajakku menyingkap fase kehidupanku yang kelam, mengajakku pada jalan cahaya dan hidayah.
Aku segera bangkit, mandi dan wudhu, menyucikan tubuhku dari noda-noda kehinaan yang menenggelamkanku selama bertahun-tahun.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi meninggall

di sadur dari kitab
"Saudariku Apa yang Menghalangimu untuk Berhijab"
yang ada di Website “Yayasan Al-Sofwa”

Penyakit Akwat

Nangisuitis

Akibat terlalu sensitif. Gejalanya bibir cemberut,mata kedip-kedip. Efek sampingnya mata bengkak, saputangan banjir, hidung meler, bawaannya ngurung diri atau terkena penyakit Curhatitis A. Penyakit ini bisa diobati dengan obat Tegaridol, OBH (Obat Berhati Hamba).

Curhatitis B

Bawaanya pengen nyerocos, Efek samping rahasia orang bisa bocor, terkena Nangisuitis,Penyakit ini bisa diarahkan positif jika ia bercuhatitisnya ke orang yang tepat, apalagi sama Tuhan.

Shooping Syndrome

Gejalanya pengen jalan mulu, mata melotot,
Efek sampingnya lidah ngiler, mulut nganga, dompet jadi tipis. Jika sudah masuk stadium 4(parah banget) dompet cowoknya ikut tipis. Coba minum hematcold atau tablet PD (Pengendalian Diri).

Cerewetisme

Lebih parah dari Curhatitis B, tidak mengandung titik koma.
Efek samping muncrat, telinga tetangga budek, dada cowoknya bisa jadi lebih halus karena sering mengelus. Lebih cepat makan pil dengar dan minum tablet bicara lebih diperlambat.

Lamanian Dandanitos

Pengennya diem depan cermin. Tangan kiri gatel-gatel pengen pegang sisir, tangan kanan kram-kram pengen teplok-teplok pipi pake bedak.
Efek samping: menor, telat, cowoknya berkarat, gak kebagean makanan. Minum segera Sari Bawak (Bagi Waktu) dan Taperi (tambah percaya diri). Buat cowok minum Toleransikipil 230 sendok sehari sesudah dan sebelum mandi.

Cemburunotomy

Gejala muka lonjong, tangan mengepal, ali menukik. Coba cegah dengan obat sirup prasangka baik tiga sendok sehari, Pil pengertian dan tablet selidiki dahulu.

Ngambekilation

Gejala hampir sama dengan Cemburubotomy. Minum Sabaron dan Bersyukurinis

Sabtu, 11 Oktober 2008

Sebuah Harapan...................................................diambil dari : www.dudung.net

DIARY-ku. Jam delapan malam. 17 Nopember. Suasana pelabuhan masih terasa padat. Angin laut yang membawa butiran-butiran air terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Pukulan angin cukup kencang memukul-mukul benda-benda yang berusaha menghalangi lajunya.

Di atas kapal yang hendak berangkat, aku berdiri tegak dan melemparkan pandanganku ke lautan luas, meski gelap dan angin begitu kencang memukul-mukul tubuhku. Sesekali aku membenarkan letak jilbab hijau esmeralda yang berkibar-kibar diterjang angin. Aku melangkah dan merapat ke sisi kapal yang dibentengi pagar besi. Menunduk sebentar dan membenarkan letak kacamataku.

Diary, bagi seorang wanita, usia dua puluhan, telah nampak tanda-tanda kedewasaan. Dan itu pula yang selama ini sedang aku pikirkan seorang diri. Pikiranku mengembara menembus mega-mega hitam.

Ah, hidup ini memang misteri. Nggak nyangka. Betul-betul nggak nyangka kalau Mas Rahadi ternyata mau menikahi aku.

Aku mulai mempermainkan jari dan mengepal-ngepalkannya untuk mengusir hawa dingin yang mulai merayap di sekujur tubuhku.

Angin malam ini jadi saksi. Kalau aku ternyata diam-diam mulai menyukainya, kalau diam-diam aku memiliki sebuah harapan. Aku kenal Mas Rahadi meski baru luarnya saja. Tapi cukup membuat aku berdebar-debar saat dia menyatakan berminat menjadi pendamping hidupku. Ia mau berusaha menjadi teman sekaligus suami yang bisa membina dan membimbingku. Benar-benar misteri.

Kuseret kaki menuju bangku kecil yang ada dekat musholla di kapal ferry ini. Kaki yang dari tadi sudah mulai gemetaran menahan terjangan dingin angin malam.

Tapi... kenapa orang rumah nggak begitu menyukai kehadirannya, kenapa papa dan mama begitu membencinya. Adakah yang salah dalam dirinya? Adakah sesuatu yang mengerikan dalam jiwanya? Aku sama sekali tak mengerti. Sepertinya aku harus berusaha keras. Berusaha dan berusaha sampai papa dan mama mau menerima Mas Rahadi apa adanya.

Sejurus kemudian aku jemu memandang laut dan langit yang ditaburi bintang-bintang. Kuturuni tangga kapal yang mulai meninggalkan pelabuhan Bakauheni menuju pulau Jawa, yang selama ini jadi tempat awal bertemu dengan pria yang hendak menjadi pendamping hidupku. Detik-detik berikutnya aku terlelap dalam sebuah ruangan ber-AC setelah agak lama mataku berusaha memelototi gambar-gambar hidup di layar televisi.

****

Diaryku. Jam lima sore awal Desember. Langit kotaku tak lagi mendung. Angin siang tadi baru saja mendorong mega-mega menjauhi kota. Sinar matahari yang mulai meredup menambah suasana sore yang cerah lebih bernuansa. Selembar foto diri Mas Rahadi tergeletak tak jauh dari meja yang dipenuhi beberapa buku dan catatan-catatan pengajian siang tadi.

Ah, aku sudah dikhitbah Mas Rahadi. Dan sebenarnya aku sudah siap menjadi pendamping hidupnya. Hari bahagia itu ingin segera kuraih. Ingin segera merasakan bagaimana menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anakku. Ya, sudah sebulan ini Mas Rahadi mengkhitbahku. Sering juga aku berkomunikasi dengannya. Lumayan juga. Ia bisa mengerti segala keinginanku. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa ia bersedia menerima aku apadanya. Ia bilang bahwa manusia itu nggak ada yang sempurna. Justeru dengan hidup berdampingan sebagai suami istri nanti, di situlah seseorang harus bisa bersikap bijaksana dengan menghargai pasangannya. Saling mengisi di antara kelebihan dan kekurangannya. Jangan sampai egoisme menjadi penghalang untuk saling menghargai. Mas Rahadi juga pernah bilang, bahwa keluarganya siap menerima aku apa adanya. Karena pilihan Mas Rahadi adalah pilihan keluarganya. Aku yakin, kalau dia berkata sesungguhnya.

Namun, itu tak berarti pihak keluargaku menerima juga kenyataan ini. Terutama mama, beliau masih menyimpan misteri tentang penilaiannya sama Mas Rahadi, yang aku sendiri tak pernah bisa mengerti sampai sekarang. Yang pasti beliau nggak suka dengan kehadiran Mas Rahadi. Entahlah, aku tak habis pikir. Kadang-kadang aku bertanya, kurang apa sih sebenarnya Mas Rahadi dalam pandangan mereka? Apa kurang ganteng? Ah, masak seorang aktivitis pengajian masih melakukan penilaian seperti itu hanya untuk menyenangkan hati ortunya. Tapi mungkin wajar juga ya? Entahlah, aku sendiri sebenarnya tak terlalu memikirkan. Mau tampangnya mirip Leonardo Di Caprio atau Jared Letto, nggak peduli, yang penting akhlaknya baik. Biarin cakep juga asal taat. Hi..hi.. (enak dong kalau gitu).

Eh, benar nggak sih, kalau Mas Rahadi itu orangnya eksentrik? Kata Ria, sohib karibku, ia nggak nyangka kalau Mas Rahadi suka nonton film-film yang romantis, kayak Sleepless In Seatle, Romeo and Juliet, The House of Spirit atau Titanic, juga Hope Floats. Emang sih, Mas Rahadi pernah bilang kalau kenyataan yang sedang dihadapinya mirip di film Hope Floats yang pernah ditontonnya. Entahlah, karena aku sendiri belum pernah menontonnya. Maklumlah di tempat kostku nggak ada VCD Player atau komputer yang dilengkapi dengan program MPEG. Beda dengan tempatnya tinggal, nyaris perangkat teknologi informasi ada semua. Termasuk komputer yang sudah dilengkapi dengan program untuk nyetel VCD.
My Diary. Akhir Nopember. Hari ini aku baru saja menjelaskan sama papa dan mama soal hubunganku selama ini dengan Mas Rahadi. Seperti biasa mereka nggak terlalu antusias menanggapi. Aku bingung. Aku jadi salah tingkah. Konsentrasiku buyar, hingga membuat aku selalu melakukan kesalahan-kesalahan yang tak perlu dalam setiap pekerjaanku. Papa selalu diam kalau aku tanya kenapa papa mempersulit aku untuk menikah dengan Mas Rahadi. Dengan memasang target yang menurutku tak masuk akal. Bayangkan, tiga tahun. Sekuat-kuatnya keimanan seseorang, aku khawatir goyah juga. Apalagi jaman sekarang, dimana informasi begituan bisa dengan mudah diakses lewat internet atau majalah-majalah. Ditambah dengan kehidupan sosial yang amburadul seperti sekarang ini. Pendek kata, godaan ke arah sana semakin berbahaya.

Papa selalu beralasan soal mengenal pribadi. Padahal aku sudah kenal. Aku sudah yakin kalau Mas Rahadi adalah pilihanku. Dari informasi-informasi yang sampai kepadaku soal Mas Rahadi hampir seluruhnya adalah informasi yang baik. Tentang dakwahnya, tentang akhlaknya, tentang tanggung jawabnya, tentang kepribadiannya. Segalanya deh. Insya Allah Mas Rahadi telah jadi pilihanku. Lalu, alasan primadona yang sering dilontarkan papa adalah bahwa untuk sampai ke pernikahan, butuh banyak biaya.

Aduh, diary. Aku harus bilang apa lagi. Aku sudah katakan sama papa bahwa yang penting dari pernikahan itu adalah akadnya. Bukan rame-ramenya. Buat apa nabung uang berjuta-juta hanya dihabiskan dalam waktu sehari, dan hanya untuk sebuah alasan klise; prestis? Betapa naifnya. Lagi pula papa mestinya ngerti ya, diary. bahwa memasuki dunia baru lewat pintu gerbang pernikahan itu bukan berarti harus selalu sudah siap segalanya. Sudah punya rumah, punya pekerjaan yang benar-benar mapan dengan gaji gede, punya kendaraan yang lux, memiliki status sosial yang gemerlap dan aksesoris-aksesoris duniawi lainnya, sementara mengesampingkan aspek akhlak, keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Menurutku, pernikahan adalah gerbang menuju kehidupan baru yang akan dibangun bersama-sama. Membangun dari nol. Dengan suka dan duka. Dijalani bersama. Tentu itu akan lebih menambah nilai ibdah. Karena nikah termasuk salah satu ibadah kepada Allah Swt. Ya, itulah pendapatku. Nggak salah kan diary-ku?

Namun, apa reaksi papa, diary. Papa hanya diam seribu bahasa. Yang aku khawatirkan diamnya papa adalah diamnya gunung berapi. Diam, tapi suatu saat akan memuntahkan lahar panas yang mematikan. Mungkin papa mau mengekpresikan kasih sayang kepada anaknya, tapi menurutku itu tak pada tempatnya. Penyataan yang salah pada waktu yang salah. Karena standar penilaiannya berbeda jauh dengan nila-nilai Islam. Ah, entahlah diary, aku nggak ngerti sampai sekarang.

***

Diary-ku sayang. Jam tujuh pagi, awal Desember. Ria, sohibku yang paling setia baru saja mengabarkan via telepon bahwa Mas Rahadi bakal ngirim surat sore nanti. Terus terang aku deg-degan nggak karuan. Bagaimana tidak, aku merasa ada yang salah setelah peristiwa beberapa waktu lalu, ketika Mas Rahadi selalu bertanya kepadaku soal apakah aku masih tetap mencintainya, apakah aku masih tetap menyukainya, aku selalu tak bisa berterus terang. Maklumlah aku ini kan perempuan yang masih menyimpan rasa malu ketika harus berhadapan dengan sebuah pertanyaan tentang keterus-terangan dalam urusan yang sensitif seperti itu. Padahal, aku benar-benar menyukainya, aku sungguh-sungguh mencintainya. Meski ketika itu aku diam saja.

Masih kuingat komentar Ria kemarin sore. "Nuri, kamu ini kok kayaknya aneh banget, deh. Katakan terus terang dong. Jangan membuatnya selalu was-was. Tahu, nggak, Mas Rahadi itu butuh support dari kamu. Ia akan lebih merasa senang ketika kamu terus terang mengatakan cinta atau suka kepadanya. Kamu kan suka baca buku-buku psikologi. Masak belum ngerti juga? Tahu nggak, ini waktu yang tepat!" begitu kata Ria penuh semangat dan membuat aku terpojok dan tak mampu berkata-kata banyak.

Diary, jarum jam sepertinya malas untuk berputar. Kamar ini terasa dingin membeku. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Aku sudah nggak sabar lagi menerima surat dari Mas Rahadi yang tentunya rada-rada spesial. Maklumlah, selama ini aku nggak pernah menerima surat dari laki-laki. Khususnya, yang telah mengkhitbahku. Kira-kira apa yang bakal dibahas dalam suratnya yang selalu bertabur kata-kata indah. Paling tidak itu menurutku. Ya, kita tunggu aja yuk?
Jam lima sore. Diary, ia benar-benar memenuhi janjinya. Ia datang di saat aku membutuhkannya. Tepat. Senyum khas yang selalu menghias bibirnya kembali hadir di hadapanku. Deg-degan juga. Ah, betapa kuatnya energi cinta seorang yang sedang kasmaran. Amplop biru muda berisi lipatan-lipatan kertas yang telah ditulisi sekarang ada dalam genggamanku. Selalu singkat pertemuan itu. Ia segera menghilang dalam pandanganku dan meninggalkan rasa senang yang hebat. Tak sabar aku ingin melihat isi tulisan yang bermuatan kata-katanya yang khas. Oh, ternyata dilengkapi sebuah pita kaset The Beatles. Ah, eksentrik memang. Aku buru-buru membacanya dengan debaran jantung yang tak karuan.


Ba’da tahmid dan salam.

Dik, Nuri. Gimana kabarnya? Semoga tetap dalam keadaan sehat dan senantiasa dalam lindungan-Nya, serta tetap beraktivitas dalam dakwah. Semoga kita tetap bisa menjaga batas-batas kesucian. Kita berharap semoga Allah memberkahi kita semua.

Dik Nuri. Langsung saja. Mas Rahadi minta maaf bila selama ini selalu bertanya soal kesetiaan dan keteguhan hati Dik Nuri dalam mencintai Mas Rahadi. Sekali lagi, mohon maaf. Dik, jangan kaget kalau surat Mas Rahadi, kali ini agak aneh dan mungkin terkesan “nakal” dengan menyisipkan kaset. Nggak ada maksud apa-apa selain ingin membuat adik bahagia. Ya, barangkali hal yang mubah ini bisa menjadi sarana kebahagiaan adik. Bisa jadi, ini adalah wujud ekspresi dari rasa kasih sayang Mas Rahadi sama adik. Khusnudzan saja, ya? Sebagian jawaban dari rasa penasaran adik terhadap pertanyaan Mas Rahadi, mungkin ada dalam salah satu judul lagu The Beatles tersebut. Yang jelas, Mas Rahadi hanya berusaha untuk meyakinkan saja dengan apa yang selama ini Mas Rahadi harapkan.

Dik Nuri, Mas Rahadi sangat kagum dengan apa yang adik katakan beberapa waktu lalu bahwa adik rela dibawa sama Mas Rahadi dalam kondisi apa pun, selama masih dalam naungan Islam. Mas Rahadi pikir, itu adalah jawaban bijaksana dan dewasa. Karena belum pernah mendengar sebelumnya dari seorang wanita. Terus terang itu menambah point tersendiri bagi Mas Rahadi.

Dik, kayaknya sekarang singkat saja ya, suratnya. Soalnya masih banyak persoalan lain yang harus Mas selesaikan. Dik, tolong putar lagu Jealous Guy, ya! Eh, kok malah ngasih bocoran, ya? Afwan. Syukron.

Salam
Rahadi


Aku segera melipat kembali kertas wangi berwarna hijau muda tadi. Kemudian kumasukkan kembali ke amplop. Ah, memang eksentrik makhluk satu ini. Kaset The Beatles segera kuputar. Dan sesuai dengan pesanan dalam surat, aku lebih dulu memutar lagu Jealous Guy. Diary. aku perhatikan bait demi bait dalam syair lagu itu , sampai pada kata-kata begini.: I did’nt mean to hurt you, I’m sorry that I made you cry. I did’nt want to hurt you, I’m just a jealous guy.

Diary, akhirnya aku ketawa sendiri dengar lagu itu. Ternyata Mas Rahadi itu jealousy juga orangnya, ya? Ah, ada-ada saja. Tapi benar juga sih. Kadang kala aku pun berpikir hal yang sama (hi..hi..hi..).

Aduh, diary. Aku kembali “perang” dengan mama dan papa. Hal yang selama ini tak pernah kuinginkan itu terjadi lagi. Sebenarnya, papa sangat menyayangi aku. Malah perhatiannya itu boleh dikatakan sangat berbeda bila dibandingkan dengan sikapnya kepada kakak-kakak dan adikku. Aneh memang. Tapi itulah faktanya. Sehingga membuat aku selalu tak pernah ingin menyakiti hatinya. Pernah suatu ketika aku minta sama papa supaya beliau membiaya kuliahku. Ia manut saja, bahkan bersedia mengeluarkan biaya berapapun. Tapi, karena berbagai alasan, akhirnya terpaksa mengubur keinginanku untuk kuliah. Karena aku pikir kondisi keuangan keluarga tak memungkinkan. Meski papa tetap semangat.

Seminggu menjelang Idul Fitri.

Diary, aku baru saja bilang sama papa, bahwa hubunganku dengan Mas Rahadi nggak mungkin kalau harus kandas begitu saja. Jangan sampai cinta suciku terganjal sebuah keinginan orang tua yang senantiasa mengusung prestise. Aku malu. Betul-betul aku malu, diary. Gimana nggak, itu kan hal-hal yang seharusnya tak perlu terjadi pada sebuah keluarga aktivis sepertiku. Aku hampir saja putus asa, bahkan patah arang, kalau saja aku tak punya keimanan. Untung Mas Rahadi selalu membantuku menyelesaikan masalah-masalah yang aku hadapi. Aku terkesan dengan omongannya, bahwa manusia hidup itu senantiasa memiliki masalah. Meski dalam kadar yang berbeda tiap individu tersebut.

Diary, tahu nggak yang aku bilang sama papa? Kata-kataku itu membuat papa mengamuk hebat dan bahkan memaki-maki aku. Habisnya aku kesal. Papa selalu berlindung di balik pernyataan sayang. Dia bilang, aku adalah anak yang paling disayanginya. Tapi faktanya, ternyata aku malah menderita dengan sikapnya yang sebenarnya menurutku egois. Papa hanya mencintai dirinya sendiri. Terbukti ketika aku memohon untuk meluluskan permintaanku untuk menikah dengan Mas Rahadi, beliau menolaknya dengan berbagai alasan. Saking kesalnya, aku bilang begini sama papa, “Pa, Nuri tahu kalau Papa memang sangat menyayangi Nuri. Menyayangi lebih dari saudara yang lain. Entah atas dasar apa papa menyayangi Nuri. Apa karena Nuri anak baik-baik? Nuri masih meragukan.”

Diary, Papa begitu marah. Terlihat wajahnya merah menyala. Tapi ia hanya diam. Diam menahan amarah. Mungkin juga dilematis, karena ternyata justru anak kesayangannya yang berkata seperti itu. Kata-kata yang sepertinya menikam tepat di nyawanya.

Aku bilang lagi, “Kalau memang Papa benar-benar menyayangi Nuri, coba tunjukkan rasa kasih sayang itu dengan nyata. Papa sedih nggak kalau Nuri menderita? Pasti sedih kan, kalau memang benar-benar menyayangi. Nah, Papa harus tahu, justru Nuri sedih dengan sikap Papa seperti itu. Nuri menderita. Sepertinya Papa sayang sama Nuri hanya sebagai lipstik saja karena sebenarnya Papa lebih cinta pada diri papa sendiri. Papa lebih sayang sama diri Papa sendiri. Mungkin Papa takut kehilangan muka bila Nuri harus menjadi pendamping Mas Rahadi. Iya, Pa? Iya kan Pa? Atau.. karena Papa terlalu sayang sama Nuri, sehingga Papa khawatir bila ada orang lain yang mau menyayangi Nuri, mau membimbing Nuri merebut hak Papa dalam menyayangi Nuri? Benar nggak, Pa? Bila demikian, Nuri sama sekali nggak nyangka kalau ternyata di jaman yang serba modern ini masih hidup orang-orang kuno seperti Papa. Dan....”

“Diam!” suara Papa menghentikan ocehanku, diary. Aku takut melihat mata Papa yang melotot ke arahku.

“Pa..” aku mencoba meneruskan meski agak takut.

“Plak!’ pukulan tangan kanan Papa tepat mengenai pipi kiriku, diary. Diary. aku meringis dan menangis. Menangis karena ternyata yang memukul adalah papaku sendiri, yang katanya sangat menyayangi. Aku jadi nggak percaya sama papa.

Diary, aku berlari menuju kamarku. Aku tahu papa kelihatannya menyesal. Namun aku berusaha untuk tetap mengunci diri di kamar. Diary, papa mengetuk-ngetuk pintu sambil memohon maaf. Tapi aku tetap tak mau membuka pintu. Bahkan semakin membenamkan mukaku ke bantal. Kutumpahkan semua kekecewaan ini. Pokoknya kecewa berat.

Diary, hari ini hari bahagia. Idul Fitri. Aku masih trauma dengan kejadian beberapa hari lalu yang tentu saja menimbulkan kekakuan hubunganku dengan papa. Hambar.

Mama memang cenderung tak mau tahu dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Apalagi memang mama sangat nggak peduli sama aku. Hanya karena gara-gara aku menyukai Mas Rahadi. Yang mungkin menurut Mama adalah salah. Yang bisa dikatakan itu adalah kesalahan berat. Ibarat pemain sepak bola. Aku kayaknya sudah melakukan pelanggaran keras, hingga berhak menerima kartu merah. Ah, aku sendiri jadi serba salah. Siapa sebenarnya yang salah, aku ataukah mereka, atau malah Mas Rahadi? Otakku berputar keras bagai sebuah hardi disk komputer yang harus memproses file ukuran raksasa.

Diary, hari bahagia yang seharusnya menjadi hari kasih sayang dalam keluarga, ternyata bagiku tak beda dengan masa-masa sulit yang biasa aku terima sejak aku memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ah, entahlah diary. Aku kok seperti kehilangan semangat hidup. Gairah hidupku lenyap begitu saja ketika aku harus menghadapi semuanya sendirian. Aku gamang. Meski belakangan aku ceritakan juga masalah ini kepada Mas Rahadi. Ajaib, Mas Rahadi mau ngerti soal ini. Ia malah memberikan pemecahan yang terus terang saja menerbitkan sebuah harapan. Tidak saja itu, ia mampu memberikan semangat kepadaku untuk tetap hidup dan berdakwah. Ah, memang lain Mas Rahadi ini. Tapi sayang, hati papa dan mama masih sulit untuk diluluhkan. Hati mereka masih tegar kokoh dengan segala keinginannya yang hampir menenggelamkan harapan-harapanku, juga harapan kakak-kakakku. Ah, papa dan mama memang egois, diary. Betul-betul egois. Aku jadi iri dengan beberapa orang tua sohibku. Mereka kok kayaknya bijaksana banget dengan keinginan-keinginan anaknya. Keinginan yang wajar tentunya. Ah, semoga papa dan mamaku demikian pula. Aku berharap semoga papa dan mama menyadari kekeliruannya selama ini. Aku tetap menghormati mereka, meski tak semua keinginannya aku penuhi, terutama keinginan-keinginan tak wajarnya. Seperti mempersulit aku untuk menikah dengan Mas Rahadi.

Diary, kalau memang papa dan mama sayang sama aku, tentu sudah sejak lama ia memberikan harapan terhadap keinginan-keinginanku. Papa dan mama memang egois, diary. Kayak mereka nggak pernah muda aja, ya?

Diary, aku capek mengikuti kemauan mereka yang aneh-aneh dan tak masuk akal. Tapi suatu saat aku harus mampu membuat mereka berpikir, bahwa sebenarnya akupun bisa berbuat banyak untuk urusan ini. Kenapa aku cenderung nrimo akhir-akhir ini, itu karena aku ingin menunjukkan sikap hormatku pada mereka. Namun, kelihatannya sikap lemahku itu hanya membuat papa dan mama merasa ada di atas angin. Merasa menemukan jurus-jurus ampuh untuk memojokkanku. Hingga aku diharapkan tak bisa mengelak lagi dan harus ikut dengan kemauan papa dan mama.

Diary, hari ini aku ulang tahun. Tepat di usiaku yang ke dua puluh dua. Aku bahagia. Tentu saja, karena ini adalah hari bersejarah bagiku. Aku tetap menyalakan sebuah harapan dalam hatiku. Harapan yang senantiasa menjadi obsesiku. Tak ada ucapan atau bingkisan dari papa dan mama. Aku tahu mereka sangat kecewa dengan keputusanku selama ini dalam memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ya, calon, karena papa pernah mengatakan setuju dengan pilihanku, meski dengan syarat. Tiga tahun, baru boleh menikah. Berat memang. Namun aku dan Mas Rahadi tetap berharap waktu itu tak begitu lama. Setahun adalah waku normal yang kuinginkan. Semoga papa dan mama mau mengerti keinginanku. Keinginan yang menurutku adalah wajar, bila kejadian terdahulu yang menimpa kakak-kakak perempuanku tak ingin terulang. Meski aku nggak ingin itu terjadi padaku. Tapi mungkin dalam bentuk lain.

Ya, kalau memang papa dan mama sayang sama Nuri, diary. Mereka pasti sudah menyambut kehadiran Mas Rahadi sebagai menantunya. Ya, mungkinkah itu terjadi? Setidaknya itulah harapanku, diary. Kira-kira menurutmu, diary, papa dan mama akan meluluskan keinginanku nggak? Kalau nggak, aku sangat kecewa sama mereka. Dan aku tetap menderita atas sikapnya yang sok menyayangi aku. Ya, kadangkala sebagai anak, aku harus menerima perlakuan yang tak wajar. Papa dan mama selalu berlindung di balik alasan "demi kebahagiaan kamu”. Seolah kalimat itu dijadikan tameng untuk menentramkan pikiranku. Yang sebenarnya justru membuatku semakin gelisah dan menderita.

Diary, Mas Rahadi hari ini datang menemuiku dan mengucapkan selamat ulang tahun dalam bentuk lain. Aku merasakan ini adalah ekpresi kasih sayang Mas Rahadi padaku. Tentu aku bahagia. Karena belum pernah ada seorang lelaki yang memberikan ucapan itu sebelumnya di hari bahagiaku.

Diary, aku cukupkan sampai sini dulu ya. Yang jelas harapanku tetap besar untuk menjadi pendamping hidup Mas Rahadi. Siapa tahu catatan ini nanti bisa dibaca sama papa dan mama. Moga-moga juga mereka mau ngerti penderitaan dan keinginan-keinginanku. Semoga, ya diary?


TAMMAT


Buat seseorang, semoga tetap tabah dan sabar.
Firman Allah Swt.: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (TQS al-Baqarah [2]: 153)


Wassalaamu'alaikum