Cinta, duuuh cinta...
Virus cinta emang bisa bikin blingsatan dan jungkir balik gak karuan. Uring-uringan, hingga makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Bahkan dapat merubah pribadi seseorang, yang awalnya benci banget kata-kata puitis nan manis, mendadak jadi pujangga yang pandai menebar janji tuk memikat hati.
Sambil bersimpuh dengan seikat bunga mawar ditangan, sang pujangga pun merayu sang pujaan, "Duhai belahan hati, tak dapat kuhidup tanpa dirimu di sisi."
Kadang ia bergaya bagaikan bintang film India, "Adinda..., belahlah dadaku ini, kan kau lihat ada dirimu di sana."
Sang gadis pun tersipu malu, hidung kembang-kempis dan jempol kaki jadi gede, "Idih... abang bisa aja nih."
Tak peduli siang malam, yang dipikirkan hanya juwita sayang impian seorang. Tak tahan dengan rayuan maut sang pujangga karbitan, si gadis pun langsung jatuh cinta. Jiwa terbang ke awang-awang, bermain dengan bintang gemintang.
Akhirnya, adik jadi milik abang seorang.
Cihuiii... nikah juga!!!
Pesta tiga hari tiga malam pun diadakan, ngikutin tradisi bintang-bintang sinetron atau anak orang-orang kaya. Meriah, dengan orkes dangdut setiap malam yang memekakkan telinga, juga tak ketinggalan pemutaran layar tancap di depan rumah.
Tamu-tamu begitu banyak yang datang, dan tak henti-hentinya ucapan selamat dihaturkan, "Duuh neng, cantiknya...," seraya tangan mencubit gemes pengantin perempuan.
"Aduuh!" ternyata nyubitnya sakit juga, sambil ngedumel dalam hati,
"Iih... luntur deh make-up, nih ibu reseh banget sih!"
Tapi senyuman masih mengembang, memikirkan banyaknya amplop yang akan diterima, dan kembali berbisik dalam hati, "Sudah tradisi...," menirukan iklan produk biskuit di tivi.
Rasa puas serta bahagia terpancar dari kedua pasangan, dan tentu saja keluarga besar. Bangga, bisa membuat pesta gede-gedean karena katanya itu simbol kaum terhormat dan kaya raya.
Rencana bulan madu pun tak lupa dipikirkan, "Bang, ntar kita bulan madu kemana?" tanya istri sambil bergelayut manja.
"Kemana aja boleh, terserah adikku sayang," sambil mencium pipi dengan mesra, muaaah! Maklum, pengantin baru.
"Huu... yang benar dong jawabnya," pura-pura merajuk.
"Kalo ke bulan, adik mau ikut?"
"Ikuuut...," sambil memegang erat tangan kakanda tercinta.
Aih... aih...
* * *
Cinta, duuuh cinta...
Di awal pernikahan duhai sungguh indah, sayang-sayangan yang bikin mabuk kepayang. Makan saling suap-suapan, di jalan pun tangan saling bergandengan, hingga kadang membuat iri yang belum menemukan pasangan. Tak lupa foto adinda yang sedang tersenyum dipajang di meja kerja, dielus-elus saking cintanya, karena tak sabar ingin segera pulang ke rumah.
Jam kerja kadang digunakan untuk telpon-telponan, "Lagi ngapain, honey?"
Karena masih pengantin baru, masih gede rasa cemburu.
"Hani? Siapa tuh Hani? Kan namaku bukan Hani, pacar baru lagi ya?"
Hiks... hiks... hiks...
Hah???
* * *
Waktu berlalu, hari berganti hari hingga tahun berganti tahun. Layaknya sebuah kehidupan, tentu ada pasang surut. Roda pun tak selalu di atas, selalu ganti berputar. Begitu juga perjalanan bahtera rumah tangga anak manusia, kadang manis tak jarang pula sebaliknya.
Gejolak cinta di masa muda yang begitu bergelora untuk mendapatkan pasangan jiwa lalu berganti dengan keluh kesah, hingga bosan pun meranggas cinta. Suami yang dulu begitu mesra, perlahan mulai lupa dengan yang di rumah. Sang istri kini lebih sering merenung sambil bersenandung lagu Kemesraan-nya Franky Sahilatua, berharap kemesraan yang dulu janganlah cepat berlalu.
Istri kadang sendirian, karena kekanda tercinta suka pulang larut malam. Makan malam yang dihidangkan pun kini tak lagi disentuh, karena restoran telah menjadi pilihan. Dilayani pelayan-pelayan yang berpenampilan rapih, bagi sang suami lebih menyenangkan daripada disambut istri yang wajahnya penuh dengan masker bengkoang dan celemek kucel penuh bau masakan beraneka-ragam. Bahkan tak jarang kepala bermahkotakan rol rambut aneka warna.
Ah...
Rumah tangga kini tak lagi tampak mesra. Suami yang dulunya selalu berjanji sehidup semati, kini lain di bibir, lain di hati. Sindir menyindir sering jadi luka yang menyayat pedih.
* * *
"Neng... manusia itu tak ada yang sempurna, semua pasti ada kekurangannya," nasehat Wak Haji di mushola kecil yang diapit rumah-rumah mewah di kompleks perumahan tersebut.
"Suami istri saling cekcok atau bertengkar itu hal yang biasa," beliau kembali menambahkan.
"Wak Haji juga dong?" cepat memotong.
"Lha iya, emang saya bukan manusia?" Wak Haji menjawab sambil mesem-mesem.
"Lho, mestinya Wak Haji ngasih contoh yang baik, masak udah haji kok bertengkar?"
Lalu kembali berkomentar, "Kalo Wak Haji yang udah tua gini masih juga suka berantem, lha kita yang muda ini nyontohnya ke siapa? Wak Haji mikir dong, mikir...!"
Wuaaah...!!!
"Aih... aih... Wak Haji gitu aja marah, terusin deh" senyum-senyum.
Sambil menahan gemes, Wak Haji pun melanjutkan, "Neng juga harus inspeksi diri sendiri..."
"Mungkin introspeksi ya Wak, maksudnya?" membenarkan.
"Oh iya, ya itu..., Neng juga harus intrupsi"
"Introspeksi Wak, bukan intrupsi!" kembali membenarkan, sembari menahan kesal.
"Aduuh... susah ya pakai istilah tingkat tinggi, apa tadi, inflasi?" Wak Haji bertanya kembali.
Wuaaah...!!!
"Aih... aih... Neng, gitu juga marah, he... he... he...," Wak Haji terkekeh-kekeh, girang banget bisa membalas.
"Tak ada gading yang tak retak, demikian juga rumah tangga. Lautan masih terlalu luas terbentang, ribuan karang siap menghadang, ombak pun kadang menerjang. Karena itu semua persoalan tak hanya dapat dipecahkan dengan cinta, tapi juga butuh sikap dewasa," nasehat Wak Haji.
Kembali beliau menambahkan, "Untuk bersikap dewasa harus ada yang namanya ujian. Nah..., jadikan ujian itu sebagai pernik-pernik dalam pernikahan, ia akan menjadi indah saat setiap pasangan menyikapinya dengan dewasa, bukan dengan amarah. Sikap dewasa akan menyuburkan cinta, sehingga istri atau suami akan lebih mengutamakan pasangannya. Misalnya nih contoh gampangnya, kadang si istri lebih senang berdandan untuk orang lain daripada suaminya, atau sebaliknya."
"Maksudnya Wak Haji?" bertanya, karena belum jelas.
"Iya, coba si Neng inspeksi, eh... apa tadi, inflasi?" sahut Wak Haji seraya membenarkan letak kopiahnya.
"Idih mulai lagi nih, introspeksi, Wak Haji" sambil menahan senyum.
"Eh iya, si Neng coba introspeksi diri, apa iya kalo dandan di rumah juga seperti ini? Padahal Islam menganjurkan kalo berdandan untuk suami di rumah itu jauh lebih baik daripada untuk orang lain," nasehat Wak Haji bagaikan air bening yang merembes di telaga hati.
Si Neng hanya terdiam, membenarkan. Kemudian ia merenung betapa indah, bahkan teramat indah Islam mengajarkan syariat kepada para pemeluk-Nya, hingga mengatur hal-hal yang sangat sederhana. Ia tertunduk malu, karena terkadang terlalu berlebihan berdandan untuk orang lain saat keluar rumah, padahal yang lebih utama semestinya itu adalah hak kekanda, sang belahan jiwa.
* * *
Krek...
Suara pintu dibuka, suami tercinta baru pulang kerja.
"Aih... aih..., mau kemana malam-malam begini?" tanya suami curiga, melihat istri yang berdandan begitu cantiknya.
Ia hanya diam, dan tersenyum manis sementara kekanda tercinta masih bengong, menatap tak percaya.
"Nggak kemana-mana, emangnya gak boleh tampil cantik di rumah?" jelas adinda sambil mengedipkan genit sebelah matanya.
"Kata Wak Haji, istri itu harus melayani suami dengan baik, termasuk tampil cantik saat ia ada di rumah," menirukan apa yang telah didengarnya di mushola.
Suami terharu, aaah... ia memang telah tampil beda. Suami pun sadar bahwa dirinya dan juwita tercinta memang sudah beranjak jauh dari masa-masa muda yang penuh gelora, tapi kekuatan cinta akan selalu menjadikan seseorang berusaha memberikan yang terbaik kepada yang dicintainya. Sang pujangga lalu berjanji dalam hati, untuk selalu menjadi pujangga cinta bagi adinda, sang belahan jiwa.
"Abang...," istri berkata perlahan.
Dalam hati sudah mengira, pasti adinda akan meminta maaf atas segala kekhilafan yang dilakukannya, sehingga dengan cepat ia berkata, "Sudahlah dek, abang juga salah, suka mengabaikan tanggung jawab di rumah," terharu, mata tambah berkaca-kaca.
"Aih... aih..., emangnya saya mau ngomong apa," gerutunya dengan manja, "Cuma mau nanya, kan udah awal bulan, uang gajiannya mana?"
Hah???
Wallahua'lam bi shawab.
*MERENGKUH CINTA DALAM BUAIAN PENA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,
Abu Aufa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar