Alangkah gembira hati ini. Karena baru sekarang punya simpanan 'uang dingin' 2 Juta Rupiah. Berasal dari rejeki yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu : usaha suami merakit mesin rusak yang kemudian ada yang mau membeli. Alhamdulillah, setelah dikeluarkan untuk pembayaran zakat, biaya spare part dan bagi-bagi rejeki mentraktir temannya di kantin, maka tersisa uang tunai 2 Juta Rupiah.
Keinginan yang terpendam, satu-satu mulai bermunculan. Apakah ini saatnya untuk membeli komputer yang selalu saya idam-idamkan? Atau sebaiknya dipakai sebagai DP motor Karisma saja ? Ha-ha, bisa tidak, ya, dipakai modal usaha kecil-kecilan? Ah. Lumayan pusing memikirkannya. Duh, sudah lama saya mengimpikan untuk membuka usaha lain, selain bekerja kantoran seperti sekarang.
***
Sementara saya menimbang dan berpikir, tiba-tiba suami bertanya kepada saya, bagaimana jika uang tersebut dipinjamkan kepada adik teman kantornya yang akan menikah.
"Siapa?" tanya saya.
"Itu adik temanku dikantor mau menikah. Tapi dia betul-betul tidak ada uang untuk mengadakan resepsi alakadarnya." suami saya menjelaskan dengan serius.
Sejurus saya berpikir. Kemudian spontan muncul suatu argumen untuk menjawab.
"Menikah itu seharusnya apa adanya yang dia punya. Toh, dia sudah dewasa. Seharusnya dia juga berpikir untuk menyiapkan biaya, jika dia memang akan menikah. Tidak bisa menikah hanya sekedar keinginan saja. Harus ada persiapan sebelumnya. Saya tidak setuju kalau uang itu dipinjamkan kepada dia."
Saya berbicara sambil menekan emosi. Sebelumnya sudah sudah mengorbankan uang bulanan rumah tangga, untuk meminjami teman sepekerjaan, yang anaknya dirawat di rumah sakit. Selang beberapa hari, dia meminjami temannya uang, ketika sang teman membutuhkan biaya menjamu orangtua dan handai-taulan yang akan tetirah. Bahkan, belum juga genap seminggu, dia juga mengorbankan uang sakunya sebulan untuk biaya pembuatan SIM seseorang. Alasannya, SIM itu sangat dibutuhkan orang tersebut untuk mencari pekerjaan.
Setiap pinjaman kepada orang-orang tersebut, saya bisa menerimanya. Walaupun jujur saja, saya kadang merasa jengkel, karena ujung-ujungnya kami harus amat sangat berhemat, bahkan untuk biaya dapur sekalipun. Sebab sesungguhnya keuangan kamipun sangat terbatas.
Beberapa hari setelah pembicaraan tersebut, saya kembali tergoda sebuah ide. Kemungkinan, uang itu akan saya serahkan kepada adik saya, yang selama ini berdagang dengan sistem bagi hasil.
"Dik, uangnya sudah kepinjamkan ke temanku yang adiknya mau menikah." jawab suami saat akan mengutarakan ide.
Deg! Saya menarik nafas. Mencoba untuk tidak marah.
"Berapa yang dipinjamkan?"
"Semuanya. Dua juta."
"Oo." saya menelan ludah. Percakapan tadi terputus. Saya tak bisa bicara apa-apa lagi. Seharian diam saja, malas berbicara dengan suami. Betapa kecewa keinginan saya untuk membangun usaha dari uang yang ada, ternyata tak dipedulikan oleh suami. Sampai menjelang tidur, suasana masih kaku. Esok harinya kami masing-masingpun sudah sibuk untuk berangkat kerja kembali. Kami berpamitan ala kadarnya, tidak sebagaimana biasa.
Setiba di kantor, perasaan saya semakin tidak karuan. Antara ingin memperturutkan emosi untuk marah atau terus berdiam diri. Ada juga terlintas untuk meneleponnya seperti biasa, menanyakan kabar, juga meminta didoakan.
Ah, saya merasa kehilangan. Padahal biasanya sebelum tidur, kami selalu berdiskusi, membahas berita baru, atau membaca artikel yang menarik mengenai keluarga. Ya. Saya telah kehilangan kehangatan itu tadi malam. Mungkin, suami juga merasakan hal yang sama. keheningan yang tidak menenangkan.
***
Saya mencoba berpikir ulang. Menghadirkan fragmen- fragmen yang selama ini saya lalui bersama suami, saat termangu sendiri di tempat bekerja.
Setiap suami pulang kerja dan tiba di rumah lebih dulu, selalu tersedia segelas susu hangat, yang siap saya nikmati. Dia selalu bertanya, apakah saya mau mandi air hangat, bila iya, dia akan menjerangkannya untuk saya. Sikapnya selalu lembut. Jarang sekali marah, bahkan untuk berkata agak keras sedikitpun tak pernah.
Lalu, amarah apa yang harus saya tumpahkan kepadanya ? Rasa kecewa bagaimana yang harus saya ungkapkan padanya ? Tidakkah semuanya yang dia hadirkan adalah selalu kebaikan bagi saya dan keluarga ? Bukankah selama ini dia berusaha memberikan nafkah terbaik untuk kami ? Selama ini, kami tidak hidup berlebih, bahkan tidak leluasa untuk menggunakan keuangan kami. Tapi kami juga tidak sampai tidak pernah makan dalam satu hari, kami juga masih bisa menyekolahkan anak kami. Oh, betapa naifnya saya.
Lama merenungkan perjalanan kami selama berkeluarga, rasa kegembiraan dan rasa syukur menyeruak pelan diantara benak pikiran. Bukankah uang tersebut digunakan untuk suatu hal yang positif ? Bukankah uang itu digunakan untuk membantu adik temannya dalam rangka 'menggenapkan' dien-nya. Bukankah uang tersebut bukan untuk foya-foya? Bahkan, bukan untuk keperluan pribadinya?
Kesadaran muncul kembali dalam lubuk hati ini. Semua hanyalah kepunyaan Allah. Rejeki itu sebetulnya datang dari Allah, dari sumber yang sebetulnya saya sendiri tidak pernah menduganya. Pun ketika nanti uang itu tidak terbayar. Mungkin dengan cara inilah Allah memudahkan orang tersebut untuk memenuhi keinginannya menikah.
Ya, uang itu sudah menjadi rejeki adik teman suami saya yang hendak menikah. Insya Allah, pasti ada rejeki lain buat saya, dalam kondisi yang pasti sudah ditetapkannya. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik bagi saya, bagi pekerjaan saya, bagi usaha yang saya inginkan itu. Mungkin, justru dengan keringanan suami saya membantu teman-temannya itulah, maka kami bisa mengarungi rumah tangga dengan relatif nyaman tanpa kendala berarti. Barangkali inilah berkah dan hikmah dari mempunyai seorang suami yang dermawan.(annisa/aisya LD)
Indah Prihanande
Tidak ada komentar:
Posting Komentar