Selasa, 07 Oktober 2008

Sajadah Merah

Oleh: Sugi Marjuki

“Dasar wanita jalang, gak punya harga diri. Pelacur murahan!” Linda, menghujat Shaly habis-habisan.

“Kenapa marah-marah gitu? Memang apa salahku?”

“Ah pura-pura lagi. Eh,sudah tau Mas Sugono itu langganan gue kenapa elu serobot?”

“Aku tidak nyerobot. Justru dia yang mau sendiri, ya aku sih layani aja.”

“Dasar pelacur gatel, suka ngerampas langganan orang. Sudah berapa banyak pelanggan gue yang lu rampas, masih juga ngelak!!” sungut Linda.

Linda merasa berkuasa di Vila Biru karena merasa senior. Di situ dia dua tahun Iebih lama bila dibanding Shaly. Malam yang dingin, angin menusuk kulit. Saat yang nyaman untuk tidur pulas apalagi habis kerja keras di siang harinya. Namun, bagi pelayan hidung belang, malam baginya kenikmatan yang tiada tara. Semua demi rupiah.

“Shaly, tadi malam dingin banget, ya,” ujar Risma teman dekat Shaly.

“lya, aku menggigil kedinginan.”

“Kan kamu tahu sendiri kalau malam Jum’at memang sudah tradisi, sepi!”

“Mungkin mereka takut kualat kali?”

“Ah orang macam mereka mana kenal kualat. Ngomong-ngomong, dua hari yang lalu katanya kamu ribut ya sama Linda?” Risma mengalihkan pertanyaan. Shaly, dia itu memang biang kerok, sok kuasa, belagu makanya pelanggannya pada kabur.”

“Sudahlah, jangan diusik lagi.”

“Gile, aku salut sama kamu Shaly, tidak pernah dendam. “

“Aku ini Ris, orangnya tidak mau ribut, lagian ngapain sih ribut!”

Asap mengepul-ngepul nyaris menutupi wajah mereka. Batangan-batangan rokok senantiasa setia menemani mereka dalam keadaan suka maupun duka. Rasanya tidak sreg kalau perbincangan mereka tanpa mengepulkan asap rokok yang dihisap oleh bibirnya yang selalu dilapisi gincu merah merona. Shaly, nama itu sangat kesohor bagi para hidung belang yang berkantong tebal. Vila biru nampaknya tidak pernah sepi dari tamu. Para tamu sangat hapal dan Vila biru identik dengan Shaly. Sebab dia primadona Vila Biru tersebut.

Sebenarnya Shaly tak pernali bermimpi menjadi wanita penghibur. Dia terjebak rayuan pacarnya. Ketika itu Shaly sedang mencari pekerjaan. Pacarnya pun mengetahui keluhan Shaly. Dia dijanjikan mau diajak kerja dengan iming-iming gaji besar. Tapi nyatanya bukan pekerjaan yang didapat, malah dia terjerumus ke lembah hitam. Pacamya sama sekali tak bertanggung jawab.

Kini nasib Shaly bagai makan buah si malakarna, mau keluar nyawa taruhannya, mau tetap bertahan dia harus siap melayani para hidung belang. Shaly sebenarnya sudah sangat muak dan tertekan. Namun apa daya, kalau dia tidak melakukan itu utang ibunya di kampung makin membengkak. Tiap bulan rutin dia mengirimkan uang ke kampung.

“Lho kok bengong Shal? bukannya semalam kamu kebanjiran pelanggan?”

“Tidak, aku tidak bengong. Aku lagi cari jalan keluar bagaimana caranya agar kita bisa lolos dari neraka ini.”

“Apa Shal? Apa aku tak salah dengar?”

“Tidak, Ris kamu tidak salah dengar!” Shaly meyakinkan meski Risma sudah jelas-jelas dengar.

“Shaly, kamu kabur dari sini sama artinya kamu buang nyawa kamu. Sebab di sini sangat ketat.”

“Biarlah, Ris. Aku sudah siap menanggung segala risikonya meski nyawa melayang.”

“Shaly, kamu benar-benar nekat. Entahlah Shaly aku harus berbuat apa padamu. Apa yang harus aku lakukan untuk menolong kamu Shal?”

“Tidak Ris, aku tak bakalan menyusahkan kamu. Biarlah semua kutanggung sendiri aku tidak ingin kamu kerepotan hanya gara-gara aku.”

“Shaly?”

Keputusan Shaly sudah mantap. Dia yakin bisa keluar dari tempat itu walau dengan risiko apapun. Dia sadar, yang akan dilakukannya sangat berbahaya bagi dirinya. Namun, hatinya sudah bulat dan mantap. Dia menyendiri di kamarnya tanpa seorang teman. Siang itu dia lagi tak ada tamu. Shaly terus berpikir apa yang harus dilakukan agar bebas dari cengkeraman germonya.

Germonya yang biasa dipanggil Mami, kalau salah sedikit main baku hantam. Mami sangat kasar dan galak bila ada tamunya yang mengeluh atas servis yang diberikannya, bila kurang memuaskan.

Sudah beberapa minggu ini Shaly tidak melayani tamu.

“Kenapa kamu menolak melayani mereka? Dia sudah bayar mahal." Shaly tetap pada pendiriannya.

“Aku sudah cape. Aku tak tahan dengan pekerjaan terkutuk ini.”

Germo itu terus menyiksa dan mencambuknya tanpa rasa iba. Sementara Risma hanya diam melihat pemandangan yang miris itu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah puas menyiksa habis-habisan germo itupun pergi begitu saja.

“Shaly, kenapa begini?” tanya Risma.

“Biarlah Ris, tekadku sudah bulat.”

Malam itu Shaly tengah melipat dan membereskan pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper. Tak sengaja dia melihat ada buntelan yang terbungkus koran. Diapun mengambil dan langsung membukanya. Ternyata dalam buntelan itu ada sajadah merah dan mukena. Shaly jadi ingat, sebelum berangkat, ibunya sempat memberi bekal. Bekal itu belum pernah disentuhnya. Baru kali ini, tanpa sengaja.

Sejak menemukan sajadah itu Shaly senantiasa shalat malam meski seluruh tubuhnya pedih terkena air wudhu akibat dicambuk. Tetapi Shaly terus pada pendiriannya. Dia lebih memilih dicambuk daripada harus melayani macan-macan buas di atas ranjang terkutuk itu. Bahkan maut sekalipun menghadangnya dia sudah siap. Sudah berapa tetes air mata yang membanjiri sajadah merahnya.

Sajadah merah itu menjadi saksi bisu dan penampung air matanya yang kerap kali inenangis seusai shalat malam disertai doa yang tak kenal putus asa. Dalam isak tangisnya terbersit di hati, kekasihnya yang telah menjerumuskan dirinya ke lembah yang hitam. Dia sangat muak bila mengingat wajah itu. Shaly menyesal telah memberikan mahkotanya yang berharga, tanpa tanggung jawab.

“Shaly, buka pintunya! Kalau tidak aku dobrak dari luar!” teriakan itu tidak mengubah keadaan. Pintu kamar Shaly tetap tertutup.

Tak ada jawaban.

“Brak!” Pintu itu didobraknya. Betapa terkejutnya germo itu mendapati Shaly tengah shalat. Sungguh tak berprikemanusiaan. Shaly yang tengah khusuk dalam shalatnya terus dicambuki. Tapi, Shaly tetap tidak urung dari shalatnya. Meski rasa sakit menderanya.

Tapi di luar dugaan, ketika germo itu mencambuk, cambuk itu putus sebelum mengenai sajadah merahnya. Namun meski demikian germo itu tetap lidak berubah pikiran. Anehnya lagi, germo itu terpental sendiri ketika hendak mendorong tubuh Shaly. Padahal kedua tangan germo itu belum menyentuh tubuh Shaly.

Beberapa hari kemudian, setelah peristiwa yang penuh keajaiban itu terjadi, Shaly mendapat kemudahan untuk mencari jalan keluar. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Malam yang dingin, serasa menusuk kulit hingga tembus ke dalam tulang sumsum. Malam itu, tidak biasanya Vila Biru itu sepi oleh pengunjung. Para penjaga ketiduran karena tak tahan oleh dinginnya malam. Waktu itulah yang selama ini ditunggu Shaly.

“Shaly, cepat pergi!” kata Risma setengah berbisik.

“Tidak, aku takkan pergi tanpa kamu.”

“Shal, biarlah aku terlanjur begini.”

“Tidak ada kata terlanjur, kau pasti bisa berubah,” akhirnya Risma mengikuti ajakan Shaly.

Dengan mengendap-endap mereka berdua menyusuri jalan. Langkah demi langkah diayun dengan hati-hati. Mereka harus melalui rintangan-rintangan. Belum lagi alarm sebelum pintu gerbang yang siap menghalangi kepergian mereka. Alarm celaka itu bisa membangunkan preman yang menjaga Vila Biru.

“Ngiiiiiing ..... nging!” benar saja, suara alarm menggema. Rupanya Risma kurang hati-hati melangkah. Bunyi alarm membuat penghuni. vila merasa terusik mimpinya. Karena ketidak hati-hatian Risma akhirnya para penjaga dari pos Satpam sampai para preman sewaan germonya langsung menyergap mereka berdua.

Shaly berhasil lolos. Namun, naas sekali nasib Risma tertangkap sedangkan Shaly lolos kabur.

“Risma cepat ikut aku.”

“Shaly! Jangan hiraukan aku. Cepat pergi!”

“Risma, begitu mulia hatimu. kau rela demi aku,” Shaly ngoceh sendiri sambil berlari. Para penjaga itu kehilangan Jejak. Mereka bingung.

Shali memang berhasil keluar. Tapi tanpa Risma.

Tidak ada komentar:

Wassalaamu'alaikum