Sabtu, 11 Oktober 2008

Sebuah Harapan...................................................diambil dari : www.dudung.net

DIARY-ku. Jam delapan malam. 17 Nopember. Suasana pelabuhan masih terasa padat. Angin laut yang membawa butiran-butiran air terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Pukulan angin cukup kencang memukul-mukul benda-benda yang berusaha menghalangi lajunya.

Di atas kapal yang hendak berangkat, aku berdiri tegak dan melemparkan pandanganku ke lautan luas, meski gelap dan angin begitu kencang memukul-mukul tubuhku. Sesekali aku membenarkan letak jilbab hijau esmeralda yang berkibar-kibar diterjang angin. Aku melangkah dan merapat ke sisi kapal yang dibentengi pagar besi. Menunduk sebentar dan membenarkan letak kacamataku.

Diary, bagi seorang wanita, usia dua puluhan, telah nampak tanda-tanda kedewasaan. Dan itu pula yang selama ini sedang aku pikirkan seorang diri. Pikiranku mengembara menembus mega-mega hitam.

Ah, hidup ini memang misteri. Nggak nyangka. Betul-betul nggak nyangka kalau Mas Rahadi ternyata mau menikahi aku.

Aku mulai mempermainkan jari dan mengepal-ngepalkannya untuk mengusir hawa dingin yang mulai merayap di sekujur tubuhku.

Angin malam ini jadi saksi. Kalau aku ternyata diam-diam mulai menyukainya, kalau diam-diam aku memiliki sebuah harapan. Aku kenal Mas Rahadi meski baru luarnya saja. Tapi cukup membuat aku berdebar-debar saat dia menyatakan berminat menjadi pendamping hidupku. Ia mau berusaha menjadi teman sekaligus suami yang bisa membina dan membimbingku. Benar-benar misteri.

Kuseret kaki menuju bangku kecil yang ada dekat musholla di kapal ferry ini. Kaki yang dari tadi sudah mulai gemetaran menahan terjangan dingin angin malam.

Tapi... kenapa orang rumah nggak begitu menyukai kehadirannya, kenapa papa dan mama begitu membencinya. Adakah yang salah dalam dirinya? Adakah sesuatu yang mengerikan dalam jiwanya? Aku sama sekali tak mengerti. Sepertinya aku harus berusaha keras. Berusaha dan berusaha sampai papa dan mama mau menerima Mas Rahadi apa adanya.

Sejurus kemudian aku jemu memandang laut dan langit yang ditaburi bintang-bintang. Kuturuni tangga kapal yang mulai meninggalkan pelabuhan Bakauheni menuju pulau Jawa, yang selama ini jadi tempat awal bertemu dengan pria yang hendak menjadi pendamping hidupku. Detik-detik berikutnya aku terlelap dalam sebuah ruangan ber-AC setelah agak lama mataku berusaha memelototi gambar-gambar hidup di layar televisi.

****

Diaryku. Jam lima sore awal Desember. Langit kotaku tak lagi mendung. Angin siang tadi baru saja mendorong mega-mega menjauhi kota. Sinar matahari yang mulai meredup menambah suasana sore yang cerah lebih bernuansa. Selembar foto diri Mas Rahadi tergeletak tak jauh dari meja yang dipenuhi beberapa buku dan catatan-catatan pengajian siang tadi.

Ah, aku sudah dikhitbah Mas Rahadi. Dan sebenarnya aku sudah siap menjadi pendamping hidupnya. Hari bahagia itu ingin segera kuraih. Ingin segera merasakan bagaimana menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anakku. Ya, sudah sebulan ini Mas Rahadi mengkhitbahku. Sering juga aku berkomunikasi dengannya. Lumayan juga. Ia bisa mengerti segala keinginanku. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa ia bersedia menerima aku apadanya. Ia bilang bahwa manusia itu nggak ada yang sempurna. Justeru dengan hidup berdampingan sebagai suami istri nanti, di situlah seseorang harus bisa bersikap bijaksana dengan menghargai pasangannya. Saling mengisi di antara kelebihan dan kekurangannya. Jangan sampai egoisme menjadi penghalang untuk saling menghargai. Mas Rahadi juga pernah bilang, bahwa keluarganya siap menerima aku apa adanya. Karena pilihan Mas Rahadi adalah pilihan keluarganya. Aku yakin, kalau dia berkata sesungguhnya.

Namun, itu tak berarti pihak keluargaku menerima juga kenyataan ini. Terutama mama, beliau masih menyimpan misteri tentang penilaiannya sama Mas Rahadi, yang aku sendiri tak pernah bisa mengerti sampai sekarang. Yang pasti beliau nggak suka dengan kehadiran Mas Rahadi. Entahlah, aku tak habis pikir. Kadang-kadang aku bertanya, kurang apa sih sebenarnya Mas Rahadi dalam pandangan mereka? Apa kurang ganteng? Ah, masak seorang aktivitis pengajian masih melakukan penilaian seperti itu hanya untuk menyenangkan hati ortunya. Tapi mungkin wajar juga ya? Entahlah, aku sendiri sebenarnya tak terlalu memikirkan. Mau tampangnya mirip Leonardo Di Caprio atau Jared Letto, nggak peduli, yang penting akhlaknya baik. Biarin cakep juga asal taat. Hi..hi.. (enak dong kalau gitu).

Eh, benar nggak sih, kalau Mas Rahadi itu orangnya eksentrik? Kata Ria, sohib karibku, ia nggak nyangka kalau Mas Rahadi suka nonton film-film yang romantis, kayak Sleepless In Seatle, Romeo and Juliet, The House of Spirit atau Titanic, juga Hope Floats. Emang sih, Mas Rahadi pernah bilang kalau kenyataan yang sedang dihadapinya mirip di film Hope Floats yang pernah ditontonnya. Entahlah, karena aku sendiri belum pernah menontonnya. Maklumlah di tempat kostku nggak ada VCD Player atau komputer yang dilengkapi dengan program MPEG. Beda dengan tempatnya tinggal, nyaris perangkat teknologi informasi ada semua. Termasuk komputer yang sudah dilengkapi dengan program untuk nyetel VCD.
My Diary. Akhir Nopember. Hari ini aku baru saja menjelaskan sama papa dan mama soal hubunganku selama ini dengan Mas Rahadi. Seperti biasa mereka nggak terlalu antusias menanggapi. Aku bingung. Aku jadi salah tingkah. Konsentrasiku buyar, hingga membuat aku selalu melakukan kesalahan-kesalahan yang tak perlu dalam setiap pekerjaanku. Papa selalu diam kalau aku tanya kenapa papa mempersulit aku untuk menikah dengan Mas Rahadi. Dengan memasang target yang menurutku tak masuk akal. Bayangkan, tiga tahun. Sekuat-kuatnya keimanan seseorang, aku khawatir goyah juga. Apalagi jaman sekarang, dimana informasi begituan bisa dengan mudah diakses lewat internet atau majalah-majalah. Ditambah dengan kehidupan sosial yang amburadul seperti sekarang ini. Pendek kata, godaan ke arah sana semakin berbahaya.

Papa selalu beralasan soal mengenal pribadi. Padahal aku sudah kenal. Aku sudah yakin kalau Mas Rahadi adalah pilihanku. Dari informasi-informasi yang sampai kepadaku soal Mas Rahadi hampir seluruhnya adalah informasi yang baik. Tentang dakwahnya, tentang akhlaknya, tentang tanggung jawabnya, tentang kepribadiannya. Segalanya deh. Insya Allah Mas Rahadi telah jadi pilihanku. Lalu, alasan primadona yang sering dilontarkan papa adalah bahwa untuk sampai ke pernikahan, butuh banyak biaya.

Aduh, diary. Aku harus bilang apa lagi. Aku sudah katakan sama papa bahwa yang penting dari pernikahan itu adalah akadnya. Bukan rame-ramenya. Buat apa nabung uang berjuta-juta hanya dihabiskan dalam waktu sehari, dan hanya untuk sebuah alasan klise; prestis? Betapa naifnya. Lagi pula papa mestinya ngerti ya, diary. bahwa memasuki dunia baru lewat pintu gerbang pernikahan itu bukan berarti harus selalu sudah siap segalanya. Sudah punya rumah, punya pekerjaan yang benar-benar mapan dengan gaji gede, punya kendaraan yang lux, memiliki status sosial yang gemerlap dan aksesoris-aksesoris duniawi lainnya, sementara mengesampingkan aspek akhlak, keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Menurutku, pernikahan adalah gerbang menuju kehidupan baru yang akan dibangun bersama-sama. Membangun dari nol. Dengan suka dan duka. Dijalani bersama. Tentu itu akan lebih menambah nilai ibdah. Karena nikah termasuk salah satu ibadah kepada Allah Swt. Ya, itulah pendapatku. Nggak salah kan diary-ku?

Namun, apa reaksi papa, diary. Papa hanya diam seribu bahasa. Yang aku khawatirkan diamnya papa adalah diamnya gunung berapi. Diam, tapi suatu saat akan memuntahkan lahar panas yang mematikan. Mungkin papa mau mengekpresikan kasih sayang kepada anaknya, tapi menurutku itu tak pada tempatnya. Penyataan yang salah pada waktu yang salah. Karena standar penilaiannya berbeda jauh dengan nila-nilai Islam. Ah, entahlah diary, aku nggak ngerti sampai sekarang.

***

Diary-ku sayang. Jam tujuh pagi, awal Desember. Ria, sohibku yang paling setia baru saja mengabarkan via telepon bahwa Mas Rahadi bakal ngirim surat sore nanti. Terus terang aku deg-degan nggak karuan. Bagaimana tidak, aku merasa ada yang salah setelah peristiwa beberapa waktu lalu, ketika Mas Rahadi selalu bertanya kepadaku soal apakah aku masih tetap mencintainya, apakah aku masih tetap menyukainya, aku selalu tak bisa berterus terang. Maklumlah aku ini kan perempuan yang masih menyimpan rasa malu ketika harus berhadapan dengan sebuah pertanyaan tentang keterus-terangan dalam urusan yang sensitif seperti itu. Padahal, aku benar-benar menyukainya, aku sungguh-sungguh mencintainya. Meski ketika itu aku diam saja.

Masih kuingat komentar Ria kemarin sore. "Nuri, kamu ini kok kayaknya aneh banget, deh. Katakan terus terang dong. Jangan membuatnya selalu was-was. Tahu, nggak, Mas Rahadi itu butuh support dari kamu. Ia akan lebih merasa senang ketika kamu terus terang mengatakan cinta atau suka kepadanya. Kamu kan suka baca buku-buku psikologi. Masak belum ngerti juga? Tahu nggak, ini waktu yang tepat!" begitu kata Ria penuh semangat dan membuat aku terpojok dan tak mampu berkata-kata banyak.

Diary, jarum jam sepertinya malas untuk berputar. Kamar ini terasa dingin membeku. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Aku sudah nggak sabar lagi menerima surat dari Mas Rahadi yang tentunya rada-rada spesial. Maklumlah, selama ini aku nggak pernah menerima surat dari laki-laki. Khususnya, yang telah mengkhitbahku. Kira-kira apa yang bakal dibahas dalam suratnya yang selalu bertabur kata-kata indah. Paling tidak itu menurutku. Ya, kita tunggu aja yuk?
Jam lima sore. Diary, ia benar-benar memenuhi janjinya. Ia datang di saat aku membutuhkannya. Tepat. Senyum khas yang selalu menghias bibirnya kembali hadir di hadapanku. Deg-degan juga. Ah, betapa kuatnya energi cinta seorang yang sedang kasmaran. Amplop biru muda berisi lipatan-lipatan kertas yang telah ditulisi sekarang ada dalam genggamanku. Selalu singkat pertemuan itu. Ia segera menghilang dalam pandanganku dan meninggalkan rasa senang yang hebat. Tak sabar aku ingin melihat isi tulisan yang bermuatan kata-katanya yang khas. Oh, ternyata dilengkapi sebuah pita kaset The Beatles. Ah, eksentrik memang. Aku buru-buru membacanya dengan debaran jantung yang tak karuan.


Ba’da tahmid dan salam.

Dik, Nuri. Gimana kabarnya? Semoga tetap dalam keadaan sehat dan senantiasa dalam lindungan-Nya, serta tetap beraktivitas dalam dakwah. Semoga kita tetap bisa menjaga batas-batas kesucian. Kita berharap semoga Allah memberkahi kita semua.

Dik Nuri. Langsung saja. Mas Rahadi minta maaf bila selama ini selalu bertanya soal kesetiaan dan keteguhan hati Dik Nuri dalam mencintai Mas Rahadi. Sekali lagi, mohon maaf. Dik, jangan kaget kalau surat Mas Rahadi, kali ini agak aneh dan mungkin terkesan “nakal” dengan menyisipkan kaset. Nggak ada maksud apa-apa selain ingin membuat adik bahagia. Ya, barangkali hal yang mubah ini bisa menjadi sarana kebahagiaan adik. Bisa jadi, ini adalah wujud ekspresi dari rasa kasih sayang Mas Rahadi sama adik. Khusnudzan saja, ya? Sebagian jawaban dari rasa penasaran adik terhadap pertanyaan Mas Rahadi, mungkin ada dalam salah satu judul lagu The Beatles tersebut. Yang jelas, Mas Rahadi hanya berusaha untuk meyakinkan saja dengan apa yang selama ini Mas Rahadi harapkan.

Dik Nuri, Mas Rahadi sangat kagum dengan apa yang adik katakan beberapa waktu lalu bahwa adik rela dibawa sama Mas Rahadi dalam kondisi apa pun, selama masih dalam naungan Islam. Mas Rahadi pikir, itu adalah jawaban bijaksana dan dewasa. Karena belum pernah mendengar sebelumnya dari seorang wanita. Terus terang itu menambah point tersendiri bagi Mas Rahadi.

Dik, kayaknya sekarang singkat saja ya, suratnya. Soalnya masih banyak persoalan lain yang harus Mas selesaikan. Dik, tolong putar lagu Jealous Guy, ya! Eh, kok malah ngasih bocoran, ya? Afwan. Syukron.

Salam
Rahadi


Aku segera melipat kembali kertas wangi berwarna hijau muda tadi. Kemudian kumasukkan kembali ke amplop. Ah, memang eksentrik makhluk satu ini. Kaset The Beatles segera kuputar. Dan sesuai dengan pesanan dalam surat, aku lebih dulu memutar lagu Jealous Guy. Diary. aku perhatikan bait demi bait dalam syair lagu itu , sampai pada kata-kata begini.: I did’nt mean to hurt you, I’m sorry that I made you cry. I did’nt want to hurt you, I’m just a jealous guy.

Diary, akhirnya aku ketawa sendiri dengar lagu itu. Ternyata Mas Rahadi itu jealousy juga orangnya, ya? Ah, ada-ada saja. Tapi benar juga sih. Kadang kala aku pun berpikir hal yang sama (hi..hi..hi..).

Aduh, diary. Aku kembali “perang” dengan mama dan papa. Hal yang selama ini tak pernah kuinginkan itu terjadi lagi. Sebenarnya, papa sangat menyayangi aku. Malah perhatiannya itu boleh dikatakan sangat berbeda bila dibandingkan dengan sikapnya kepada kakak-kakak dan adikku. Aneh memang. Tapi itulah faktanya. Sehingga membuat aku selalu tak pernah ingin menyakiti hatinya. Pernah suatu ketika aku minta sama papa supaya beliau membiaya kuliahku. Ia manut saja, bahkan bersedia mengeluarkan biaya berapapun. Tapi, karena berbagai alasan, akhirnya terpaksa mengubur keinginanku untuk kuliah. Karena aku pikir kondisi keuangan keluarga tak memungkinkan. Meski papa tetap semangat.

Seminggu menjelang Idul Fitri.

Diary, aku baru saja bilang sama papa, bahwa hubunganku dengan Mas Rahadi nggak mungkin kalau harus kandas begitu saja. Jangan sampai cinta suciku terganjal sebuah keinginan orang tua yang senantiasa mengusung prestise. Aku malu. Betul-betul aku malu, diary. Gimana nggak, itu kan hal-hal yang seharusnya tak perlu terjadi pada sebuah keluarga aktivis sepertiku. Aku hampir saja putus asa, bahkan patah arang, kalau saja aku tak punya keimanan. Untung Mas Rahadi selalu membantuku menyelesaikan masalah-masalah yang aku hadapi. Aku terkesan dengan omongannya, bahwa manusia hidup itu senantiasa memiliki masalah. Meski dalam kadar yang berbeda tiap individu tersebut.

Diary, tahu nggak yang aku bilang sama papa? Kata-kataku itu membuat papa mengamuk hebat dan bahkan memaki-maki aku. Habisnya aku kesal. Papa selalu berlindung di balik pernyataan sayang. Dia bilang, aku adalah anak yang paling disayanginya. Tapi faktanya, ternyata aku malah menderita dengan sikapnya yang sebenarnya menurutku egois. Papa hanya mencintai dirinya sendiri. Terbukti ketika aku memohon untuk meluluskan permintaanku untuk menikah dengan Mas Rahadi, beliau menolaknya dengan berbagai alasan. Saking kesalnya, aku bilang begini sama papa, “Pa, Nuri tahu kalau Papa memang sangat menyayangi Nuri. Menyayangi lebih dari saudara yang lain. Entah atas dasar apa papa menyayangi Nuri. Apa karena Nuri anak baik-baik? Nuri masih meragukan.”

Diary, Papa begitu marah. Terlihat wajahnya merah menyala. Tapi ia hanya diam. Diam menahan amarah. Mungkin juga dilematis, karena ternyata justru anak kesayangannya yang berkata seperti itu. Kata-kata yang sepertinya menikam tepat di nyawanya.

Aku bilang lagi, “Kalau memang Papa benar-benar menyayangi Nuri, coba tunjukkan rasa kasih sayang itu dengan nyata. Papa sedih nggak kalau Nuri menderita? Pasti sedih kan, kalau memang benar-benar menyayangi. Nah, Papa harus tahu, justru Nuri sedih dengan sikap Papa seperti itu. Nuri menderita. Sepertinya Papa sayang sama Nuri hanya sebagai lipstik saja karena sebenarnya Papa lebih cinta pada diri papa sendiri. Papa lebih sayang sama diri Papa sendiri. Mungkin Papa takut kehilangan muka bila Nuri harus menjadi pendamping Mas Rahadi. Iya, Pa? Iya kan Pa? Atau.. karena Papa terlalu sayang sama Nuri, sehingga Papa khawatir bila ada orang lain yang mau menyayangi Nuri, mau membimbing Nuri merebut hak Papa dalam menyayangi Nuri? Benar nggak, Pa? Bila demikian, Nuri sama sekali nggak nyangka kalau ternyata di jaman yang serba modern ini masih hidup orang-orang kuno seperti Papa. Dan....”

“Diam!” suara Papa menghentikan ocehanku, diary. Aku takut melihat mata Papa yang melotot ke arahku.

“Pa..” aku mencoba meneruskan meski agak takut.

“Plak!’ pukulan tangan kanan Papa tepat mengenai pipi kiriku, diary. Diary. aku meringis dan menangis. Menangis karena ternyata yang memukul adalah papaku sendiri, yang katanya sangat menyayangi. Aku jadi nggak percaya sama papa.

Diary, aku berlari menuju kamarku. Aku tahu papa kelihatannya menyesal. Namun aku berusaha untuk tetap mengunci diri di kamar. Diary, papa mengetuk-ngetuk pintu sambil memohon maaf. Tapi aku tetap tak mau membuka pintu. Bahkan semakin membenamkan mukaku ke bantal. Kutumpahkan semua kekecewaan ini. Pokoknya kecewa berat.

Diary, hari ini hari bahagia. Idul Fitri. Aku masih trauma dengan kejadian beberapa hari lalu yang tentu saja menimbulkan kekakuan hubunganku dengan papa. Hambar.

Mama memang cenderung tak mau tahu dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Apalagi memang mama sangat nggak peduli sama aku. Hanya karena gara-gara aku menyukai Mas Rahadi. Yang mungkin menurut Mama adalah salah. Yang bisa dikatakan itu adalah kesalahan berat. Ibarat pemain sepak bola. Aku kayaknya sudah melakukan pelanggaran keras, hingga berhak menerima kartu merah. Ah, aku sendiri jadi serba salah. Siapa sebenarnya yang salah, aku ataukah mereka, atau malah Mas Rahadi? Otakku berputar keras bagai sebuah hardi disk komputer yang harus memproses file ukuran raksasa.

Diary, hari bahagia yang seharusnya menjadi hari kasih sayang dalam keluarga, ternyata bagiku tak beda dengan masa-masa sulit yang biasa aku terima sejak aku memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ah, entahlah diary. Aku kok seperti kehilangan semangat hidup. Gairah hidupku lenyap begitu saja ketika aku harus menghadapi semuanya sendirian. Aku gamang. Meski belakangan aku ceritakan juga masalah ini kepada Mas Rahadi. Ajaib, Mas Rahadi mau ngerti soal ini. Ia malah memberikan pemecahan yang terus terang saja menerbitkan sebuah harapan. Tidak saja itu, ia mampu memberikan semangat kepadaku untuk tetap hidup dan berdakwah. Ah, memang lain Mas Rahadi ini. Tapi sayang, hati papa dan mama masih sulit untuk diluluhkan. Hati mereka masih tegar kokoh dengan segala keinginannya yang hampir menenggelamkan harapan-harapanku, juga harapan kakak-kakakku. Ah, papa dan mama memang egois, diary. Betul-betul egois. Aku jadi iri dengan beberapa orang tua sohibku. Mereka kok kayaknya bijaksana banget dengan keinginan-keinginan anaknya. Keinginan yang wajar tentunya. Ah, semoga papa dan mamaku demikian pula. Aku berharap semoga papa dan mama menyadari kekeliruannya selama ini. Aku tetap menghormati mereka, meski tak semua keinginannya aku penuhi, terutama keinginan-keinginan tak wajarnya. Seperti mempersulit aku untuk menikah dengan Mas Rahadi.

Diary, kalau memang papa dan mama sayang sama aku, tentu sudah sejak lama ia memberikan harapan terhadap keinginan-keinginanku. Papa dan mama memang egois, diary. Kayak mereka nggak pernah muda aja, ya?

Diary, aku capek mengikuti kemauan mereka yang aneh-aneh dan tak masuk akal. Tapi suatu saat aku harus mampu membuat mereka berpikir, bahwa sebenarnya akupun bisa berbuat banyak untuk urusan ini. Kenapa aku cenderung nrimo akhir-akhir ini, itu karena aku ingin menunjukkan sikap hormatku pada mereka. Namun, kelihatannya sikap lemahku itu hanya membuat papa dan mama merasa ada di atas angin. Merasa menemukan jurus-jurus ampuh untuk memojokkanku. Hingga aku diharapkan tak bisa mengelak lagi dan harus ikut dengan kemauan papa dan mama.

Diary, hari ini aku ulang tahun. Tepat di usiaku yang ke dua puluh dua. Aku bahagia. Tentu saja, karena ini adalah hari bersejarah bagiku. Aku tetap menyalakan sebuah harapan dalam hatiku. Harapan yang senantiasa menjadi obsesiku. Tak ada ucapan atau bingkisan dari papa dan mama. Aku tahu mereka sangat kecewa dengan keputusanku selama ini dalam memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ya, calon, karena papa pernah mengatakan setuju dengan pilihanku, meski dengan syarat. Tiga tahun, baru boleh menikah. Berat memang. Namun aku dan Mas Rahadi tetap berharap waktu itu tak begitu lama. Setahun adalah waku normal yang kuinginkan. Semoga papa dan mama mau mengerti keinginanku. Keinginan yang menurutku adalah wajar, bila kejadian terdahulu yang menimpa kakak-kakak perempuanku tak ingin terulang. Meski aku nggak ingin itu terjadi padaku. Tapi mungkin dalam bentuk lain.

Ya, kalau memang papa dan mama sayang sama Nuri, diary. Mereka pasti sudah menyambut kehadiran Mas Rahadi sebagai menantunya. Ya, mungkinkah itu terjadi? Setidaknya itulah harapanku, diary. Kira-kira menurutmu, diary, papa dan mama akan meluluskan keinginanku nggak? Kalau nggak, aku sangat kecewa sama mereka. Dan aku tetap menderita atas sikapnya yang sok menyayangi aku. Ya, kadangkala sebagai anak, aku harus menerima perlakuan yang tak wajar. Papa dan mama selalu berlindung di balik alasan "demi kebahagiaan kamu”. Seolah kalimat itu dijadikan tameng untuk menentramkan pikiranku. Yang sebenarnya justru membuatku semakin gelisah dan menderita.

Diary, Mas Rahadi hari ini datang menemuiku dan mengucapkan selamat ulang tahun dalam bentuk lain. Aku merasakan ini adalah ekpresi kasih sayang Mas Rahadi padaku. Tentu aku bahagia. Karena belum pernah ada seorang lelaki yang memberikan ucapan itu sebelumnya di hari bahagiaku.

Diary, aku cukupkan sampai sini dulu ya. Yang jelas harapanku tetap besar untuk menjadi pendamping hidup Mas Rahadi. Siapa tahu catatan ini nanti bisa dibaca sama papa dan mama. Moga-moga juga mereka mau ngerti penderitaan dan keinginan-keinginanku. Semoga, ya diary?


TAMMAT


Buat seseorang, semoga tetap tabah dan sabar.
Firman Allah Swt.: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (TQS al-Baqarah [2]: 153)


Sebening kaca

Puspa Thea, dimana dikau Mba'?, kenapa tak ada khabar beritanya?". Nisa bertanya-tanya dalam hati seraya mencermati surat-surat sahabatnya. Sudah hampir tiga bulan ini Mba' Pupu tak pernah lagi mengiriminya e-mail. Perlahan dibacanya surat terakhir wanita lembut itu sebagai pelepas rindu.


Date: Sat, 13 Oct 2001

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pa khabar Sa? Mba' kangen banget dech. Semoga Allah yang Maha Penyayang selalu melimpahkan kasih sayang-Nya buat Nisa.

Sa.. pedih.. perih.. sakit.. rasanya kalau Mba' baca berita tentang saudara-saudara kita di Afghan, rasanya Mba' ingin sekali berbuat sesuatu untuk mereka, tapi.. Mba' cuma bisa berdo'a agar Allah yang Maha Kuasa menolong saudara-saudara kita itu.

Usaha lain yang bisa Mba' lakukan sekarang mempersiapkan putra-putri Mba' jadi hamba Allah yang di hati mereka nggak ada cinta kecuali cinta pada Allah, do'akan Mba' yach.., biar Mba' bisa jadi ibu yang baik, dan Allah berkenan menitipkan anak-anak yang kelak jadi mujahid/mujahidah.

Sa sehat, kan?. Salam sayang Mba' selalu buat Nisa Semoga rasa saling menyayangi ini mengantarkan kita jadi hamba yang dicintai Allah, amin.

Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.

Mba'mu.. yang selalu kangen padamu, kapan yach Allah mempertemukan kita?


Nisa menatap lekat e-mail tersebut, terbayang dalam benaknya hanya menjawab singkat surat itu. Ia bermaksud hendak mereplay kembali, namun tiba-tiba Ayu datang menjemputnya. Mereka janjian ke rumah Cathy pagi ini.

*****

"Ayah.. Ibu.. jangan bertengkar dooong! aku jadi pusiiing..." Teriak Cathy berusaha menghentikan pertikaian orangtuanya, namun mereka tak juga mau berhenti. Pertengkaran itu terjadi karena Ibunya tidak memperkenankannya berjilbab.

"Kamu masih muda nak, belum pantas mengenakan jilbab!, rambut bagus kok ditutupi, mana ada pemuda zaman sekarang melirik wanita yang hanya kelihatan wajah dan tangannya? kalau Cathy nggak laku bagaimana? mau jadi perawan tua? Wanita berjilbab itu harus baik prilakunya, eh...Cathy tingkahnya masih begini begitu... jangan kasi malu Ibu..!"

Cathy tidak terima disuruh melepas jilbabnya, namun Ibunya terus mendesak, buntut-buntutnya ia berkata, "Ibu jahat...," Ayah datang membela, "Biarlah Bu, seharusnya kita bangga punya anak yang mau menutupi auratnya."

Ibu merasa terpojok dan balik memarahi Ayah, maka terjadilah pertengkaran itu. Hal ini berulangkali terjadi sejak Cathy mengenakan pakaian yang disyariatkan Allah.

"Kita ngobrol di luar aja yuk?," Cathy mengajak Ayu dan Nisa ke halaman rumahnya yang luas, mirip taman bermain kanak-kanak. Sejenak wajah manis itu terdiam, ia tampak jauh lebih cantik dengan gaun muslimahnya.

"Kenapa Allah memberikan Ibu seperti itu pada Cathy ya? yang Beliau fikirkan hanyalah dunia, beda jauh dengan Ayah, yang selalu berorientasi ke akhirat. Seandainya Ibuku seperti Ibumu Nisa.. Ayu.. alangkah bahagianya aku!. Cathy jadi menyesal punya Ibu..."

Sebelum sempat menghabiskan kalimatnya, Ayu buru-buru menceramahinya, "Jangan begitu, Cathy.. walau bagaimanapun ia adalah Ibu yang mengandung dan membesarkanmu.."

Cathy membela diri, "Siapa suruh mengandung dan membesarkanku? kenapa nggak dibiarkan mati aja sekalian?, Beliau lebih senang anaknya diazab Allah daripada selamat. Apakah Itu Ibu namanya?!."

Nisa berusaha melerai kedua sahabatnya. "Daripada bertengkar, kita pergi aja yuk?, belanja, baca buku." Setelah pamit pada orangtua Cathy, merekapun pergi.

*****

Di toko buku, mereka bertiga tampak asyik memilih bacaan kesukaan masing-masing. Nisa dan Ayu ke rak buku Islami, dan Cathy ke rak majalah. Setelah agak lama terbuai dalam lautan pena, Cathy mendekati Nisa, ia geleng-geleng kepala melihat buku yang dibaca sahabatnya, Tafsir Qur'an, wuih.. mengerikan, baginya jangankan membaca, membayangkan isinya saja sudah membuatnya pusing.

Sejenak mata bundar itu terpendar pada sebuah buku, "Derita Nanda, Apa Salahku Hingga Ibu Tega Membunuhku?!" Hatinya berdebar membaca judulnya, secepat kilat jemari kecil itu menangkap, ingin tahu isinya. Setelah beberapa saat, buru-buru ia menutupnya kembali. Jantung Cathy berdetak lebih cepat, ia mengurut dada, "Astaghfirullaah.." Buku itu berisi kekejaman seorang Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri karena takut miskin, sejenak ia ingat Ibunya, "Makasih Ya Allah, Engkau memberiku Ibu yang jauh lebih baik," bathinnya. Tiba-tiba Nisa dan Ayu mengagetkan dari belakang.

Sampai di sini, mereka berpisah, Ayu ada acara keluarga. Sementara Cathy ikut Nisa ke supermarket. Gadis manis itu tampak bingung hendak membeli apa, karena semua kebutuhan sudah dibeli Ibu. Iseng diambilnya saja makanan kecil, coklat, kacang, kue-kue. Tanpa sengaja ia melihat isi keranjang belanjaan Nisa, susu tanpa lemak, gula rendah kalori, buah-buahan, ia terheran-heran.

"Kurus-kurus kok diet sich Nisa?, nggak takut kekurangan gizi?!," Nisa tersenyum. "Susu dan gula ini untuk Ibu, Beliau dapat gejala kencing manis". Cathy terbelalak, "Untuk Ibu?, Beliaukan bisa beli sendiri?!." Pertanyaannya tak digubris Nisa, iapun tak memerlukan jawaban. Sesaat ingatan Cathy melayang pada buku yang dibacanya barusan, sejenak ia termenung, mulai mengingat-ingat kesukaan Ibunya. Minuman serat yang kerap dipromosikan TV diambilnya.

*****

Ada seribu satu macam rasa yang sulit diungkap Cathy saat berada di rumah Nisa. Rumah itu tidak semewah rumahnya, malah cenderung sederhana, tapi.. mengapa hatinya begitu tenang? tidak ada sesuatupun yang istimewa, tetapi.. mengapa begitu menyenangkan? Apakah karena ada seorang wanita teduh yang layak di sebut ibu?.

"Malam ini aku bobok sini ya?," kata Cathy memelas. "Boleh.. tapi harus ijin orangtua dulu..", ucap Nisa seraya tersenyum padanya. Wajah manis itu terlihat bahagia sekali mendengar jawaban Nisa. "Bentar ya.. Cathy.." Nisa berlalu meninggalkannya sendiri.

Di kamar sohibnya yang kecil, kembali ia merasakan sesuatu yang sulit diungkap, Cathy menatap lekat ke sekeliling ruangan. Ada seperangkat pakaian shalat, tasbih, Al Qur'an, tergeletak rapi di atas tikar permadani. Meja kerja dan deretan buku-buku Islami. Sementara dinding putih itu dibiarkan kosong, hanya dihias kaligragi Allah dan Muhammad.

Perlahan ia merebahkan diri, capek seharian berjalan. Ketika hendak mengambil bantal, ia melihat secarik kertas terlipat rapi, rasa ingin tahu mengalahkan segalanya, cepat dibukanya lipatan kertas itu, ternyata e-mail dari seorang wanita. Isi surat itu biasa-biasa saja, namun.. ketika ia sampai pada baris ke limabelas.


Dulu.. aku sempat berprasangka buruk pada Allah, Nisa... Aku merasa Allah nggak sayang padaku, aku merasa Allah nggak pernah memberiku kebahagiaan dalam hidup. Sejak umur 5 tahun, kedua orangtuaku bercerai.. kami 4 bersaudara terpencar, ada yang diambil orang lain. Aku dan adikku yang bungsu (perempuan) tinggal dengan ayah dan ibu tiri, sedang adik yang nomor 2 ikut ibu kandung. Aku tinggal dan dididik Ibu tiri yang subhanallah.. baik dan sayang sekali padaku. (Beliau sekarang sudah almarhum)

Ayah nggak kerja lagi, untuk biaya hidup sehari-hari, ibu tiriku berjualan sayur mayur gendongan. Aku tak ingin membebani mereka, sehingga kuputuskan untuk tinggal dengan ibu kandungku, Beliaulah yang membiayai aku sekolah.

SMA kelas tiga, tahun 1987, aku dan 2 adik perempuanku diusir dari rumah (waktu itu aku baru pulang dari bimbingan belajar kira-kira jam 19.30), buku-buku pelajaranku habis disobek-sobek ibu, bahkan pada saat itu Beliau marah sambil mengacung-acungkan sebilah kapak mengancam kami.

"Keluar kamu anak-anak!, kalau tidak.. ibu bunuh kamu satu-satu!,"

Malam itu juga aku dan adik-adikku menginap di rumah tetangga depan rumah. Aku bingung saat itu, Sa.. kemana aku dan adik-adik harus pergi? kalau ke rumah ayah.. pasti kami akan jadi beban mereka. Ku coba tinggal di rumah Om (adik Ibu kandung), tapi.. istrinya keberatan kami tinggal di rumahnya dengan alasan ekonomi, padahal saat itu aku sudah bilang bahwa hanya butuh tempat berteduh pada saat malam saja, sedangkan masalah makan, kami akan berusaha cari sendiri, tapi istrinya tetap tak peduli.

Akhirnya aku ke rumah tetangga yang tidak jauh dari rumah Omku, Beliau mau menerima kami, sebagai imbalan aku bekerja untuk mereka, dari mulai ngurus rumah sampai mengurus anaknya, pokoknya sebelum mereka bangun, aku sudah masak dan nyuci. Aku diberi upah tiap hari Rp. 3000,- untuk ongkos sekolah, makan dikasi oleh yang punya rumah. Yang terfikir di benakku cuma satu, aku harus sekolah terus bagaimanapun caranya, asal aku tetap di jalan yang Allah perbolehkan.

Alhamdulillah Sa.., aku diterima di D III-FMIPA UI jurusan matematika (beasiswa dengan ikatan dinas dari Depdikbud). Waktu aku baca pengumuman UMPTN di Kompas dan tahu diterima di UI, aku coba hubungi Ibu untuk minta bantuan Beliau mengenai biaya buku, kost, dan makanku, tetapi.. sampai di rumahnya, pintu pagar itu tak pernah dibukanya. Beliau hanya mengintip dari celah gorden, dan menyuruh pembantunya menyerahkan secarik kertas.

Segeralah menjauh dari pintu gerbang rumah ini, anak-anak! aku tidak mau kalian kunjungi! Kami kapok??? nggak Nisa.. aku dan adik perempuanku tetap sering nengokin Ibu meskipun akhirnya kami Cuma bisa berdiri saja di depan pintu gerbang sambil kehujanan dan kepanasan.

Dalam hati, aku suka menyalahkan Allah, kenapa Dia memberikan kami ibu seperti ini? kenapa Dia membiarkan keluarga kami berantakan seperti itu? yach.. pokoknya segala ketidakpuasan kutumpahkan pada-Nya. Kesulitan hidup terus berlanjut selama aku kuliah, tapi aku yakin, selama aku tidak melanggar larangan-Nya, Allah pasti membantuku.

Alhamdulillah, aku selesai kuliah tepat waktu dan langsung diangkat jadi pegawai negeri di lingkungan SMAN 39 Jakarta. Tahun 1994 aku menikah, dan masya Allah Sa.. penderitaanku ternyata tak sampai di sini.

Mertuaku termasuk orang yang meterialistik, setiap sesuatu selalu diukur dengan uang, tuntutannya agar aku dan suami yang menanggung semua kebutuhan rumah tangganya. Masya Allah Sa.. ibunya minta kami membiayai adik-adiknya sekolah, sementara gajiku saat itu baru Rp. 114.900,- dan suamiku Rp. 85.000,-/bulan dengan uang makan Rp. 2.500,-/hari kerja, tapi.. aku bilang pada suami bahwa aku nggak keberatan, kita berikan apa yang masih bisa kita berikan. Bagiku yang terpenting, suamiku punya tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.

Ibu dan ayah mertuaku masih belum puas juga.. sampai-sampai Beliau seperti penjajah dalam bahtera kami. Beliau ingin mengatur segalanya, bahkan anak-anak diajarinya berkata-kata kasar pada orangtua, diajarinya berpola hidup konsumtif, tapi alhamdulillah.. dengan pendekatan ke anak-anak, aku coba mengarahkan mereka pada kehidupan yang Allah suka, sederhana, nggak berlebihan, membeli sesuatu kalau emang sangat dibutuhkan.

Lama-kelamaan sikap mertuaku sangat menganggu fikiranku, Sa.. omongannya ke setiap tetangga yang ditemuinya bikin telingaku panas, aku nggak betah lagi tinggal serumah dengan mereka. Beliau selalu bercerita ke tetangga bahwa ibuku bekas pelacur, dan akupun kalau tidak dinikahi anaknya, sudah jadi pelacur seperti ibuku.. masya Allah.. aku bisa tahan kalau cuma aku yang mereka hina dan caci maki, tapi kalau mereka menghina ibuku, aku nggak rela! meskipun ibuku kasar sama aku.

Akhirnya, aku kompromi sama suami untuk pindah saja. Ternyata... suamikupun sudah lama ingin mengajakku pindah, tapi.. karena dulu aku yang menyarankan tinggal di situ (dengan pertimbangan daripada uangnya untuk bayar kontrakan, lebih baik untuk adiknya sekolah).

Kami pindahpun ekspansi mereka nggak berhenti, Sa.. yach.. pokoknya hal itu berlangsung terus sampai akhirnya Allah menghendaki sesuatu perubahan pada kami. Aku diberinya kesempatan kuliah lagi, aku kenal milis Islam ini, dan aku sadar ternyata Allah sayang padaku, Sa.. diberikan-Nya aku ladang amal yang sangat banyak, dengan hadirnya ibuku dan mertuaku yang sikapnya masya Allah dalam hidupku. Aku merasa malu Sa.. selama ini aku selalu berburuk sangka pada-Nya, apalagi kalau aku baca terjemahan surat Ar Rahman, masya Allah Sa.. aku bener-bener malu.. yach, nikmat mana lagi yang mau aku dustakan?

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam sayang selalu
Puspa Thea


Sehabis membaca surat itu, ada getar kerinduan di hati Cathy pada sosok yang akhir-akhir ini dimusuhinya. Betapa sayangnya Allah telah menganugerahinya seorang ibu yang tak pernah mau membunuhnya, mengusirnya dari rumah, ataupun membiarkannya kehujanan dan kepanasan. Nikmat Allah yang mana lagi yang harus aku dustakan? desir hatinya.

Sesaat kemudian ia tertegun melihat sosok penuh keibuan di balik lipatan terakhir surat, Subhanallah.. mata itu bening seperti kaca, Qalbunya yang bersih memancarkan cahaya keseluruh wajahnya. Puspa Thea, itukah namanya?

Sayup-sayup Cathy mendengar telapak kaki melangkah, secepat kilat ia merapikan segala sesuatu. "Silahkan di minum Non Cathy.., maaf ya kelamaan, tadi Nisa masak air dulu..," Cathy menyentuh cangkir hangat yang disuguhkan Nisa, Ya Allah.. ibu selalu membuatkan coklat susu untukku, katanya lirih.

"Nisa.. a ku ma u pu lang..," Ucapnya terpatah, Nisa terheran-heran. "Lho.. katanya mau bobok sini?!". Nisa mengiringi kepergian sahabatnya. Ia tak habis fikir kenapa secepat itu Cathy berubah.

*****

Dalam perjalanan menuju tempat kerja, Nisa hampir tak percaya dengan penglihatannya. Ia melihat Cathy begitu mesra dengan Ibunya di pasar tradisional. Jari-jari tangan mungil itu tampak penuh menenteng belanjaan, sesekali sang ibu berusaha menolongnya, tapi Cathy tidak mau, ia terus mengelak dan tersenyum. Sesampai di kantor ia menelpon Cathy. Gadis itu terdengar ceria sekali, tak sepatah katapun bernada keluh kesah mengenai ibu yang dulu selalu keluar dari mulutnya. Apakah gerangan yang terjadi?

*****

"Masuk, Nisa..", sapa Ibu Cathy ramah setelah menjawab salamnya. Kali ini, suasana rumah itu begitu berbeda dari sebelumnya. Di pekarangan terlihat Ayah Cathy membaca koran dengan asyiknya,

"Langsung ke dalam aja, ya.. Cathy sedang istirahat, kasihan dia.. dari pagi bantuin Tante kerja" Ujar wanita itu dengan senyum merekah, Beliau tampak begitu bahagia. Nisa melangkahkan satu-satu kakinya supaya Cathy tak terusik, sayup-sayup terdengar merdu suara gadis itu,

Ya Allah Tuhanku, anugerahilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan anugerahi pula aku kemampuan) untuk beramal shaleh yang Engkau ridhai, serta jadikanlah kebajikan bersinambung untukku pada anak keturunanku. sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al AhQaaf 46:15)

"Eh, Nisa.. ". Ia tersipu malu, tak berapa lama kemudian mereka larut dalam perbincangan panjang mengenai perubahan yang terjadi.

"Sebening kaca.. Nisa, bisakah aku memilikinya?" Nisa terkesima mendengar penuturan sahabatnya, ternyata Cathy telah membaca surat Mba' Puspa Thea, Melati yang berhati sebening kaca. Melalui goresan pena wanita itu, Allah menitipkannya hidayah.

*****

Nisa mencek inboxnya, banyak surat bertebaran di sana, beberapa Melati baru bermunculan menyapanya ramah. Tetapi, mengapa tak ada satupun surat dari Mba' Pupu?. Kerinduan Nisa semakin menyesak dada. Perlahan ia mulai menggerakkan jemari tangannya menekan tut-tuts komputer, menulis sepucuk surat.


Assalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh

Bagaimana khabarmu, Mba’? si kecil dan suami tercinta? Nisa do'akan semoga kalian semua sehat, senantiasa dalam lindungan Allah Swt.

Maafkan aku Mba', tanpa sengaja salah satu suratmu terbaca sahabatku. Tapi.. tanpa sengaja pula engkau telah berdakwah, melalui bahasa Qalbumu yang terukir indah di atas pena itu..

Mba'.. Nisa rindu sekali, rindu cerita-ceritamu.. rindu kekayaan bathinmu. kapan ya.. Allah mempertemukan kita?

Wassalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Salam manis dan sayang
Adikmu, Nisa.


18 Januari 2002
Ratna Dewi
diambil dari : http://www.geocities.com/warsunnajib/Warsun2file/sebening.htm

Menanti di Pelataran Harapan ........................dari www.KotaSantri.com

Segalanya berawal ketika benang usiaku menginjak 20 tahun. Usia belia yang penuh warna-warni, syarat dengan permainan dan pencarian jati diri. Dia salah satu dari teman baikku waktu itu. Entah pertimbangan dan keberanian apa yang dia miliki hingga tiba-tiba pinangannya datang padaku. Hanya Allah yang tahu apakah ada ketulusan dan niat baik ataukah sebatas emosi dibalik tawarannya. Kami hanya sebatas teman meski dia pernah menyatakan niat ta'arufnya padaku. Saat itu aku hanya tersenyum padanya. Ada satu keraguan bahwa aku tidak menemukan ketenangan di dalamnya. Aku tidak mengerti mengapa aku selalu merasa tidak yakin dan takut tiap aku memikirkan tawarannya dan hidup bersamanya. Mungkin karena aku tidak merasakan sesuatu terhadapnya dan karena aku masih belum bisa melakukan banyak hal untuk orang-orang yang aku sayangi. Sebab itu aku kemudian menolaknya. Aku membagi semua ini pada seorang teman sebut saja namanya "Nur". Entah bagaimana awalnya kami mulai berteman di pertengahan tahun 1999. Dia begitu pendiam sebab itu aku menyukainya, tentu saja sebagai sahabat. Waktu terus berjalan sampai aku mendapatkan hatiku ada pada seseorang. Masa lalunya begitu buruk. Aku jadi teringat, dulu aku begitu membenci orang-orang seperti ini. Akan tetapi cinta memang tak bisa ditolak, datang tanpa permisi dan pergi tiba-tiba. Kebiasaan buruk sudah dia tinggalkan meski belum sepenuhnya. Sebenarnya dia orang yang hebat, teguh dengan prinsip dan setia. Aku tak pernah tau mengapa aku menyukainya. Kembali keraguan itu mengusik ketenangan. Hati kecilku mengatakan dia bukan untukku. Bukan karena latar belakangnya, tetapi aku merasakan sesuatu yang lain dan sepertinya dia memang bukan untukku. Ternyata firasat itu benar. Meski sudah lama dia menaruh harapan padaku, tetapi aku tidak pernah menyadari dan aku terlambat memilihnya, sebab dia sudah terlanjur bersama yang lain. Semua harus berakhir karena aku menghargai prinsipnya dan karena aku tak mau mengkhianati kaumku. Aku merasa sangat hancur. Sekali lagi aku membagi kesedihan ini bersama Nur sahabat terbaikku. Dia selalu mendengarkan semua ceritaku dan mengatakan bahwa segalanya pasti akan beres. Aku amat bersyukur memiliki sahabat sebaik dia. Subhanallah... Di tengah kekosongan dan nyaris putus asa, aku bertemu dengan teman SMP, tanpa diduga dia pun menaruh harapan sejak SMP dulu, dan meminta aku menjadi yang istimewa. Dia baik, namun aku tak bisa membalasnya. Rasanya sedih sekali aku harus menyakiti hati orang-orang yang menyayangiku. Aku tak mau berpura-pura menyukai orang dan aku tak mau berpacaran. Seandainya waktu itu aku menerimanya mungkin dia juga meminangku. Sebab dari cara bicaranya kerap sekali menuju ke arah sana meski itu samar. Usia kami hanya terpaut 1 tahun. Sekali lagi aku tidak yakin dapat hidup bersamanya. Dia menghilang dan 2 tahun kemudian aku tau dia sudah menikah dengan seseorang,... "Selamat untuk kalian" batinku berbisik pelan. Waktu kian beranjak dewasa, aku masih tetap dengan aktivitasku. Dimana semua itu mengantarkanku pada persahabatan yang lebih tulus dengan Nur. Kebersamaan itu mendekatkan kami hingga kami tak menyadari adanya perubahan. Kami baru tersadar saat kami berada di batas persahabatan dan cinta. "He is my very best friend i have ever had". Kami sama-sama takut melampaui batas-batas persahabatan yang sudah lama kami bina. Akan tetapi ketakutan itu justru mengikrarkan segalanya tanpa kami sadari. Tidak pernah terpikir bahwa aku akan benar-benar mencintainya. Kenyataan memang tak seindah mimpi dan asa. Meski aku tau dia menyayangiku tapi jauh hati kecilku berbisik bahwa dia bukan untukku. Pada akhirnya ketidakpastian itu membawanya pergi dari asa-asa kami, dan aku mengikhlaskannya. Beberapa tahun kemudian aku mengetahui dia sudah menemukan cintanya dan menikah bersamanya. "Sekali lagi selamat untuk kalian berdua". Aku sudah tak lagi memikirkan itu. Lebih baik aku pasrah dan melakukan hal-hal lain yang lebih penting yang bisa aku kerjakan. Di tengah kesendirian dan nyaris putus asa itulah datang seorang teman lama, menyatakan maksud hatinya dan ingin berniat baik padaku. Mengajak aku menikah. Saat itu usiaku menginjak 24 tahun dan dia 25 tahun. Aku memaksakan diri menerimanya. Aku benci pada diri sendiri sebab selalu merasa tidak yakin dengan niat baik itu. Aku belajar menerimanya tapi aku justru tersiksa. Akhirnya aku mengakhiri ta'arufnya secara sepihak, syukurlah dia mau mengerti dan tetap bersedia menjadi sahabatku. Beberapa bulan kemudian dia bilang bahwa dia sudah bertunangan, dan aku ikut berbahagia untuknya. Syukurlah jika benar demikian. Aku sengaja menjaga jarak darinya, dan biasanya dia yang selalu menghubungiku. Hingga tiba waktu dimana kami tak saling tukar berita sekitar 3 bulan. Tiba-tiba saja aku merindukannya padahal selama ini hal itu tak pernah terjadi. Aku berusaha menghubunginya tapi tak pernah berhasil. Suatu hari aku menerima pesan darinya menanyakan tentang keadaanku. Aku manfaatkan kesempatan itu untuk meminta bantuannya mengenai proposal yang sedang aku buat. Lega sekali rasanya bisa mendengar suaranya kembali dan esoknya dalam pesan singkatnya secara tak langsung dia memberitahu aku bahwa dia telah beristri. Batin aku menyesal. Mengapa aku menyia-nyiakannya? Selama ini aku sudah menyia-nyiakan banyak orang dan penyesalan selalu datang terlambat. Kini usiaku sudah menginjak 1/4 abad, tak ada lagi semangat seperti muda dulu. Bahkan aku sudah kehilangan banyak kesempatan dan teman baik. Sementara niat untuk segera menyempurnakan 1/2 dien tak bisa lagi dipungkiri. Teman-teman sebaya sudah menikmati rumah tangganya masing-masing. Hanya pada Mu ya Rabb aku berserah diri. Engkau pasti sudah menyediakan seorang pilihan terbaik untukku. Tegarkan hati ini setegar hatinya, dan sabarkan kami menanti masa itu tiba... Allaahumma Aamiin. *** Jangan menunda sesuatu yang menjadi sunnah Rasul dan jangan menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada, karena penyesalan selalu datang terlambat. Akan tetapi jangan pula tergesa-gesa tunggulah orang yang tepat. -Yang menanti di pelataran harapan- (imroah)

Lowongan Kerja........................dari www.KotaSantri.com

Aku terperanjat mendengar kata-kata yang tak pernah kuduga sebelumnya, seorang gadis tamatan SMU yang sedang mencari kerja karena tak mendapatkan biaya untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dia seorang gadis yang sangat biasa, dengan setelan jilbab yang juga tidak mencolok. Benar-benar seorang gadis yang biasa.

"Kamu dimarahi lagi?" tanyaku.

"Nggak papa kok, hanya sedikit diomelin." katanya.

"Masih masalah yang sama?" kulanjutkan pertanyaanku, dia hanya tersenyum menatapku. Ya, kurasa masih masalah yang sama. Aku masih ingat ketika dia bercerita tentang apa yang dialaminya. Dia ditawari pekerjaan menjadi pegawai Negeri oleh kakak sepupunya yang mempunyai jabatan di sebuah institusi negeri. Dia di tawari karena memiliki kecerdasan yang bisa dibilang diatas rata-rata. Namun ada satu hal yang harus dia lakukan yaitu mengakui bahwa dia pernah ikut serta dalam kegiatan yang di gelar institusi itu. Hal itu terjadi karena jurusan yang diambilnya waktu SMU tidak cocok dengan jurusan yang diperlukan, dia akan mendapat dispensasi apabila pernah membantu dengan mengikuti kegiatan tersebut.

Mungkin itu adalah peluang emas bagi seorang pencari kerja seperti dia. Apalagi sepupunya itu telah berjanji akan menyiapkan dokumen-dokumen sebagai bukti keterlibatannya dalam kegiatan yang dimaksud. Masalah tes, semua yakin dia bisa mengatasinya. Senangkah dia? Jawabannya tidak sama sekali...

Namun situasi memaksanya untuk terus mengikuti tawaran itu, kedua orang tuanya sangat berharap dia bekerja, apalagi dalam keadaan ekonomi keluarga yang kian memburuk.

Tibalah hari yang ditentukan, dimana dia akan menghadap panitia penerimaan pegawai dan akan mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Wajah murungnya tak dapat di sembunyikan, kedua orang tua gadis itu melihat jelas mimik wajah buah hatinya, mereka tahu ini sesuatu yang amat sulit dilakukan untuk gadis yang berakhlak seperti dia, namun di zaman sekarang siapa yang akan menghargai sebuah kejujuran?

Dengan menumpang kendaraan sepupunya dia berangkat ke kantor itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berbicara sepatah kata pun. Di dalam hati dia tak henti-hentinya menyebut nama Allah, Sang Penulis Takdir manusia. Dia yakin tidak ada satu kekuatan pun yang akan tercipta tanpa kehendak Allah. Itu yang selalu ada dalam hatinya.

"Namamu Wia?" tanya seorang bapak didepannya. Dia hanya menganggukkan kepala. Tampak sekali gurat keheranan di wajah bapak itu.

"Tamatan dari sebuah sekolah yang terkenal ya?" lanjutnya, gadis itu kembali tersenyum.

"Dik, jurusan kamu nggak cocok dengan yang kami minta, tapi katanya kamu pernah ikut membantu kantor kita ya?" tanya bapak itu lagi. Gadis yang bernama Wia itu tampak sangat gugup, dia pejamkan matanya sesaat, entah apa yang ada dalam pikirannya. Bapak tadi nampak penasaran dan tak sabar menunggu jawaban Wia. Sebenarnya pertanyaan itu hanyalah formalitas, namun bagi Wia adalah pertaruhan antara kejujuran dan kebohongan.

Dia membuka matanya dan menjawab, "Tidak... Saya tidak pernah mengikuti kegiatan itu dan tak pernah membantu kantor ini." Bapak itu terdiam sesaat dan kembali bertanya, "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan?"

"Ya, sangat yakin." Sebuah jawaban yang kontroversial, namun seorang gadis yang belum genap 19 tahun yang mengatakannya.

"Kalau begitu maaf sekali Dik, kamu tidak bisa melanjutkan..." ucap bapak tadi.

"Nggak papa kok Pak." jawabnya begitu riang, seraya pamit dan melangkah keluar dengan senyuman. Tak ada lagi beban yang menghimpit dadanya.

"Alhamdulillah Ya Robb, Engkau menyelamatkanku dari sebuah lingkaran setan, yang apabila ku masuk kedalamnya, takkan biasa keluar lagi." Itu yang diucapkannya dalam perjalanan pulang.

***

"Kok senyum Mbak? Ada yang lucu?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Wi, sampai saat ini orang tuamu masih kecewa ya?"

"Sepertinya iya, mbak. Tapi Wi yakin kok suatu hari mereka akan mengerti. Wi tau mereka ingin yang terbaik buat Wi, namun Allah yang Mahatahu apa yang terbaik buat hambaNya, masalah rezeki itu sudah dituliskanNya dalam takdir Wi, Wi yakin yang terbaik adalah yang diridhai Allah."

"Tapi pekerjaan yang ditawarkan pada kamu bukan pekerjaan yang hina lo Wi?" kataku mencoba melihat reaksinya.

"Iya, itu bukan pekerjaan yang hina, namun cara Wi mendapatkannya yang hina, Mbak. Wi memilih Allah diatas segalanya. Dengan ridha Nya, Wi ingin menatap masa depan dan menjalani hidup. Itu yang Wi harapkan, meski di mata dunia Wi dianggap orang yang gagal, Wi tak ingin gagal di hadapan Allah. Do'a kan ya, Mbak. Semoga Allah memberikan jalan yang lebih baik buat Wi."

Aku tatap wajah gadis dihadapanku. Gurat kebeliaan masih terukir di wajahnya, namun betapa indah hatinya.

Aku berkata pada diriku sendiri, "Dunia, lihatlah apa yang kau lakukan pada gadis kecil ini, tidakkah negeri ini memerlukan orang-orang seperti dia? Mengapa justru yang menduduki kursi-kursi itu adalah anak pejabat yang terkadang tak punya aturan dalam hidupnya? Kejujuran yang dia pertahankan membuahkan kekecewaan pada orang tuanya, membuatnya kembali harus mengumpulkan koran, untuk mencari kolom "LOWONGAN KERJA".

"Siapa yang akan menghargai kejujuranmu?" itu pertanyaan yang selalu di lontarkan orang tuanya.

"Allah dan RosulNya." jawabnya dalam hati.

Dan dia pun kembali mengelilingi kota yang panas, mencari adakah yang memerlukan karyawan?

***

Kejujuran adalah sesuatu yang amat berharga, sayang pada masa ini begitu banyak orang yang takut akan kejujuran. Ketika kita di hadapkan pada dua pilihan, yaitu kemegahan dunia atau berjuang di jalan Allah, adakah kita akan dengan tegas menjawab seperti Wia, "Aku memilih Allah di atas segalanya." (laut)

Jilbab : Diskusi Dengan Anak

Seorang mama yang sedang asik didepan computer mengetik pekerjaannya ditemani oleh seorang anaknya yang bermain diatas tempat tidur. Sang anak kemudian kemudian berceloteh, "Mama..ade pingin main game di computer gitu lho.."dengan gaya bercanda dan sambil tiduran diatas tempat tidurnya.

"Enggak boleh gitu lho..soalnya mama lagi ngetik gitu lho.."jawab mama santai sambil mengetik.

"Tapi..ade pingin main gitu lho..?" sahutnya lagi.

"Tidak boleh gitu lho...soalnya dari kemarin kamu main terus gitu lho...entar mata ade sakit gitu lho..." jawab mama yang masih ikutan bercanda.

"Ade ngantuk gitu lho...ade pingin tidur sama mama gitu lho... mama harus temenin ade tidur gitu lho..." si anak yang masih berusaha ingin menghentikan pekerjaan mamanya.

"Kalau ngantuk tinggal merem gitu lho.. ade enggak pinjam mata mama gitu lho.. mama temenin ade sambil ngetik gitu lho.." jawab mama yang masih mengetik sambil tersenyum-senyum.

"Enggak mau gitu lho..mama harus ikutan tidur sama ade gitu lho.." celoteh anak yang sambil merangkul mamanya dari belakang dan menjatuhkan mamanya ke tempat tidur dan sang mama akhirnya memeluk anaknya sambil tertawa-tawa bersama.

"Mama sayang…kalau mama mau pergi ke luar rumah..enggak usah pake jilbab lagi ya? Mama enggak usah takut sama orang dan mama enggak usah malu sama orang.. kan mama cantik..? Kenapa mama malu dilihat orang" celoteh anaknya yang masih TK, sambil mengusap-usap wajah dan rambut mamanya.

"Hehehe.. mama pake jilbab bukan karena malu dan takut sama orang sayang. Tapi, karena Allah dan Rasul yang suruh. Rasul mengajarkan .wanita itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan tapak tangannya pada orang-orang yang bukan saudaranya." jawab mama yang masih memeluk anaknya.

"Lho, memang orang-orang itu bukan saudara kita ya ma?" Tanya sang anak lagi.

"Eemm, mereka saudara kita seiman, tapi mereka bukan saudara kita sedarah atau sekandungan.." jawab mama yang masih bingung untuk menerangkan kepada sang anak yang masih TK tentang perbedaan saudara nasab (mahromm) dan saudara seiman.

"Tapi... kenapa Tante Anti enggak pake jilbab?" Tanya sang anak yang polos.

"Mungkin.. Tante Anti enggak takut dan malu sama Allah.." jawab mama lagi.

"Tapi.. orang jadi enggak tahu..kalau mama ade cantik. Mama enggak cantik..kalau pake jilbab." protes anak yang masih penasaran.

"Hehehe..gini lho sayang..kalau ada wanita cantik, terus tidak memakai jilbab..lalu dia keluar rumah dan semua orang melihat kecantikannya, terus..ada keinginan orang untuk mengambilnya atau tiba-tiba orang itu pingin memiliki wanita cantik itu yang kemudian memaksa wanita itu untuk didapatkannya..gimana dunk..?" cerita mama sambil memperagakan menarik dan memeluk anaknya seolah-olah anaknya itu wanita cantik yang diceritakan mamanya.

"Atau..ada seorang wanita yang tidak cantik..eemm..mungkin kulitnya ada bekas gigitan nyamuk atau gatal2 yang buat tidak sedap dipandang dan jadi mengundang orang untuk mencibir atau menghinanya, ya..jadi lebih baik dipakaikan jilbab aja..jadi..jilbabnya itu menyelamatkan dirinya dari keinginan orang untuk mendapatkan wanita cantik itu, atau jilbab itu juga menyelamatkan dirinya dari orang-orang yang mungkin akan menghina dan mencibirnya.." cerita mama yang masih memeluk anaknya, dan sang anak hanya tersenyum-senyum malu mendengarkan cerita mamanya.

"Tapi..mama pake jilbab, bukan karena untuk menutupi itu semua, dan hanya menurutui apa perintah Allah dan perintah Rasul. Eemm..lagipula mama cantik itu kan menurut ade, karena mama adalah mamanya ade? Coba ade tanya sama teman ade yang lain, pasti mereka akan bilang..kalau mamanya lebih cantik dari mamanya ade..?" jawab mama sambil tersenyum-senyum pada anaknya.

"Enggak koq ma..waktu ayah jemput ade di sekolah, waktu itu Bu Guru Yanti nanya ke ade, "Nada..itu papanya nada ya? Papa nada ganteng ya..cakep." kata bu yanti. Terus Bu Guru Noer bilang ke Bu Yanti, "Mamanya nada juga cantik, manis lagi" cerita sang anak sambil tersenyum-senyum bangga menceritakan pujian yang disampaikan bu gurunya pada ke dua orang tuanya.

"Eemm..jadi gimana? Apa nanti ade sudah besar mau pake jilbab?" Tanya mama. "Hehe..iya..ade kalau sudah besar, mau pake jilbab seperti mama." jawab anak sambil mencium mamanya. "Ayo.. sekarang masih mau tidur gak? Tadi katanya ngantuk?"

"Iya dong, mama sayangku, mama cantikku" celoteh anak sambil terus memeluk dan mencium mamanya.

"Hehe..makasih ya..sayangku..cantikku..buah hatiku.." ganti puji mama pada anak sambil mencium dan memeluk sang anak
diambil dari : Milis Forum Lingkar Pena

Bersinarlah Matahariku

“Sini, Pak! Sini..,” kuminta suamiku duduk mendekat agar kami tidak ketetesan air hujan. Petang ini, kami sedang berada di terminal kampung Rambutan. Sebuah terminal yang sudah tidak asing lagi di pendengaran kita. Terminal yang bisa dibilang begitu …… kumuh!! Tapi dibalik semua itu harus diakui bahwa ratusan keluarga menggantungkan hidupnya di sana.

Kunikmati sesendok demi sesendok lontong kari dihadapanku. Kulihat suamiku pun demikian, sangat menikmati tahu campur kesukaannya. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada pemandangan unik didepanku. Si Ibu penjual tahu campur sedang tidur mengeloni anaknya, bocah laki-laki berumur lebih kurang 3 tahunan. Seringkali tetesan air hujan jatuh tepat di dahinya. Si ibu yang begitu cepat tertidur pulas, tak tahu kalau air hujan nakal itu telah mengganggu buah hatinya.

Aku langsung teringat pada Karim, putra kami. Dalam keadaan seperti itu si Ibu masih tetap dapat mendampingi putranya, sementara aku? “Sekarang dia sedang apa ya, Pak?” tanyaku mengejutkan suamiku. “Siapa? Karim?” tebak suamiku yakin. “Kenapa, Ibu ingat dia? Sabar, ya Bu. Dia pasti juga ingat Ibu,” hiburnya, membuatku tak bisa menahan air mata. “Pak, Ibu kangen dia,” ujarku lirih. Untuk pertama kalinya kutinggal anakku sendiri di Bandung, hanya ditemani pengasuhnya. Kami harus datang ke kota metropolitan ini, demi karirku. Dan suamiku rela cuti, hanya untuk mengantarku. “Tidak baik Ibu pergi sendiri, walaupun untuk urusan kerja. Biarlah besok Bapak antar. Bapak masih punya jatah cuti, kok!” kata-kata suamiku tadi malam masih terngiang-ngiang di telingaku. Allah…terangilah selalu hati hamba-Mu ini agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Agar keegosian hati tidak menjebak hamba.

Kembali kulihat ibu dan anak yang sekarang masih tertidur pulas. Hujan sudah mulai reda. Kami berniat segera pulang. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. “Sudah, Pak,” kataku pada Bapak yang menunggu kaki lima ini, mungkin suami si Ibu. “Maaakk! Udah tuh!” teriakannya mengagetkan si Ibu. Cepat-cepat Si Ibu bangun dan mengatakan harga dua piring dan dua gelas yang telah kami habiskan. Si kecil pun ikut terbangun. Sambil duduk dia balik memainkan air hujan yang menggenang di dekatnya. Dasar anak-anak. Sepertinya mereka tidak peduli dan bahkan tidak pernah menuntut kehidupan yang lebih baik dari yang sedang mereka jalani. Apapun yang terjadi pada mereka… bagaimana pun kondisi mereka… mereka akan selalu menikmatinya. Setelah kubayar jumlah yang disebutkan, kami pun beranjak pergi.

Setengah berlari, kami menuju tempat bus antar propinsi dan berebut dengan penumpang lainnya. Bus Patas AC ini tak menghilangkan penat yang kami rasakan. Belum lagi rasa bersalah yang memenuhi dadaku. Sengaja atau tidak aku telah memaksa suamiku meninggalkan tumpukan tugas kantornya. Juga telah menelantarkan anakku membiarkannya semalam bersama orang lain. Tanpa suara lantunan ayat suci dan dendangan sholawatku yang biasa mengantar tidurnya. “Maafkan Ibu, Pak,” ucapku sambil bersandar di pundak suamiku disambut dengan elusan tangannya di punggung tanganku. Selanjutnya, kubaca Al Fatihah dan kukirim khusus buat buah hatiku sekedar mengurangi rasa bersalah ini.

Kami tiba di rumah pukul satu tepat. Karim sudah pulas sendirian. Wajah tanpa dosanya membuat air mataku kembali deras mengalir. Maafkan Ibu, Sayang. Kucium dahi bocahku. Besok, Insya Allah tepat sebelas bulan usianya. Dan sampai hari ini aku masih tetap sibuk, bukan mengurusnya tapi mengurus pekerjaanku, mengejar karirku. Allahu robbi.

“Selamat, Mbak Fati. Saya dengar presentasi Mbak kemarin sukses!” sambut Ine, teman seruanganku membuatku terkejut. “Maaf, Ne. Saya terlambat. Si Adek (panggilanku untuk Karim) tidurnya pulas. Baru bangun jam tujuh tadi, jadi Saya menunggunya. Maklum, kemarin kan tidak ketemu seharian. Saya kangen, eui!” kataku sambil tersenyum. “Pak Bos sepertinya paham kok, Mbak. Barusan, rekanan kita yang di Jakarta telpon pada beliau dan mengatakan bahwa presentasi Mbak membuat mereka tertarik. Hasilnya, order dalam jumlah besar dan dalam waktu dekat!!” kata Ine berapi-api. “Pesan Direktur, begitu sampai Mbak diharap segera menghadap. Sepertinya Beliau ingin menyampaikan selamat secara langsung pada Mbak,” lanjutnya.

Sekarang, sudah tiga bulan sejak peristiwa itu. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku yang dinilai cukup sukses oleh tim manajemen. Kemarin, Direktur memanggilku. Aku dipromosikan untuk sebuah jabatan baru. Imbalan yang ditawarkan cukup memikat. Bahkan kalau boleh jujur, jauh lebih tinggi dari gaji suamiku. Sebuah tawaran yang sempat membuatku bimbang. Dan aku minta waktu dua hari untuk memikirkannya. “Terima saja, Fati. Dengan gaji sebesar itu, impian kalian akan segera terwujud. Rumah.. bahkan mobil mewah!! Putramu akan menjadi anak orang kaya. Segala yang dimintanya dapat kalian penuhi dengan segera. Kalian bisa pergi berlibur, bahkan ke luar negeri!! Dan yang pasti, kamu juga dapat membantu suamimu meringankan bebannya. Ayo, Fati. Kesempatan tidak datang dua kali. Ambil kesempatan ini atau kalian tetap akan seperti sekarang?”

“Jangan Nurul. Uang belum tentu menjamin kebahagiaan. Bisa jadi kamu akan semakin sering menelantarkan keluargamu. Membiarkan mereka tanpa kehadiranmu. Dan putramu hanya akan terpenuhi kebutuhan materinya saja. Sementara, kasih sayang seorang Ibu yang dia butuhkan sulit kamu penuhi. Kamu mungkin hanya bisa membelikan tanpa pernah mengetahui kapan dia memakainya. Yang paling menyedihkan adalah jika kemudian dia menjadi lebih dekat dengan pengasuhnya daripada dengan ibunya.” Batinku mulai berperang. Ya Allah, Bantu hamba memutuskan yang terbaik. Berilah hamba petunjuk dan hidayah-Mu, Robbi.

Tak terasa hari ini adalah deadline dimana aku harus memberikan jawaban pada Direkturku. Pagi ini seperti biasa kami berangkat berdua. Karim melambaikan tangannya saat kami tinggal tadi. Oh, matahariku. Bersinarlah terus Sayang, Ibu ingin selalu melihat sinarmu dalam setiap helaan nafas Ibu.

“Karim, sini Nak. Ibu bacakan ceritanya. Karim mau cerita yang mana?” “Ni….,”katanya sambil menunjuk salah satu cerita dari buku serial Anak Muslim: kisah sebuah tong sampah. Mulailah aku bercerita lengkap dengan mimik wajah yang sangat disukainya. Bahkan kadang dia menirukan caraku bercerita saat menceritakan kembali kisah tersebut ke teman bermainnya. Allah..Subhannallah. Senyumku mengembang, senyum yang tak pernah kurasakan ketika aku masih sibuk dengan pekerjaanku enam bulan yang lalu.

Memang, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Sebuah keputusan yang disesalkan banyak pihak terutama di tempat aku bekerja. Namun sekaligus sangat menggembirakan keluargaku. “Alhamdulillah, Bapak bangga pada Ibu. Saat di puncak karir, Ibu rela melepaskannya demi keluarga. Bapak memang tidak salah memilih pendamping hidup dan Ibu dari anak-anak kita. Alhamdulillah,” kata-kata suamiku masih cukup melekat dibenakku saat aku ungkapkan keputusanku, pada malam sebelum aku menghadap direkturku. “Iya Pak. Ibu iri pada Ibu pedagang kaki lima di terminal kampung rambutan waktu itu, yang bisa terus bersama putranya. Sementara Ibu hanya bisa memberikan materi untuk Karim. Padahal kita berdua sangat paham bahwa waktu bersama orang tua adalah saat yang penting bagi perkembangan anak kita,” sahutku waktu itu. Alhamdulillah, sekarang aku di rumah. Menunggu suamiku pulang dari kerjanya sambil menjaga butik kecil yang kurintis enam bulan lalu. Sementara Karim terlelap setelah mendengar ceritaku. Subhannallah..Alhamdulillah, Ya Allah. Kau tunjukkan pada hamba jalan ini, gumamku sambil berjalan menuju tempat tidur bocah kecilku. (Awal Maret-03)

Riza Faisal

Arjuna dan Sang Bidadari

Namanya Arjuna, persis nama seorang tokoh dalam dunia pewayangan. Tapi ia tak tampan, tak gagah. Apalagi digila-gilai oleh wanita. Arjuna yang ini hanya seorang penjual ulat sebagai pakan burung yang penghasilannya tidak menentu. Tinggalnya di sebuah rumah sederhana dengan ibundanya yang sudah berusia 70 tahunan. Sejak usia 2 tahun Arjuna menderita lumpuh. Penyebabnya adalah demam yang sangat tinggi yang kemudian merusak syarafnya.

Arjuna kini sudah 40 tahun dan tetap lumpuh. Ia pun masih tetap ulet menjalankan profesinya. Sejak beberapa waktu yang lalu ia mempunyai kegemaran baru, suka mengikuti pengajian dari masjid ke masjid. Dari pengembaraannya itu akhirnya ia jatuh cinta pada sebuah masjid di sebuah pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kyai yang masih muda dan berkharisma.

Pagi itu Arjuna tampak rapi dan wangi. Ia menggunakan baju terbaiknya, sebuah baju koko berwarna putih yang dimintanya pada sang ibu untuk disetrika licin-licin. Ia sudah siap menuju pengajian di pondok pesantren. Jaraknya lumayan, dari Jl. Pendawa Dalam, Bandung, ke daerah Gegerkalong Girang. Apalagi bagi seseorang yang tak berfisik sempurna seperti Arjuna, jarak itu terasa lebih dari sekedar lumayan.

Arjuna merangkak di depan rumahnya, lalu dengan suara cadelnya berteriak memanggil becak di ujung jalan. Sang tukang becak pun tanggap dengan panggilan Arjuna. Ia mafhum, Arjuna pasti akan pergi ke pondok pesantren.

Arjuna duduk manis di dalam becak, hingga sampai ke jalan besar. Di jalan besar, sang tukang becak membantu memanggilkan taxi. Satu taxi lewat, taxi berikutnya juga, dan berikutnya, lalu berikutnya. Arjuna tetap duduk manis di dalam becak, tersenyum. Keringat mengucur di tubuh sang tukang becak yang tampak sedikit kesal tidak satu pun taxi yang mau berhenti.

Membawa Arjuna sebagai penumpang taxi memang berbeda. Sang sopir taxi harus rela membantu menggendongnya. Maka tak heran kalau tak semua sopir taxi mau. Tapi Allah selalu memberikan pertolongan-Nya. Sebuah taxi meluncur pelan dan berhenti. Sampai di pondok pesantren Arjuna disambut oleh beberapa orang jemaah. Ia sama sekali tak dipandang sebelah mata. Justru banyak orang yang sayang padanya, termasuk sang kyai.

Ceramah pun dimulai. Seperti kali yang lalu. kali ini Arjuna tak mampu membendung air matanya. Semangatnya membara. Bukan hanya itu bahkan bergejolak. Bagai sebuah handphone yang perlu di-charge, inilah saat-saat Arjuna menge-charge jiwanya. Total biaya Rp.50.000,- yang harus ia keluarkan untuk pulang pergi ke pondok pesantren, serasa tak ada harganya dibanding dengan setrum yang menyulut dirinya. Arjuna jadi lebih semangat bekerja, lebih semangat mengumpulkan uang untuk bisa datang ke pengajian.

Arjuna sekarang jadi rajin ibadah malam. Sifat pemarahnya mulai hilang, jadi lebih sabar dan optimis. Pelan-pelan keinginan itu muncul. Suatu keinginan yang sama sekali tak pernah berani untuk ia mampirkan walau sekilas di kepalanya.

"Ibu, Arjuna kepingin kawin!" Suara cadel Arjuna bagai geledek yang memecah kesunyian malam di telinga sang ibu.

"Arjuna enggak mimpi kan?" sang ibu bertanya sambil menguncangkan tubuh Arjuna yang tergolek lemah di tempat tidur.

"Eh ibu, Arjuna mah bangun. Ini enggak mimpi. Sungguhan, Arjuna kepingin kawin."

Sang ibu menelan ludahnya beberapa kali, miris. "Jang, kamu teh mau kawin sama siapa?"

"Nggak tau. Tapi Arjuna sudah minta sama Allah."

Mata sang ibu hampir-hampir tak kuat membendung air mata yang hendak tumpah. "Bener atuh, kalau memohon ya sama Allah."

Sang ibu bingung apa yang harus ia lakukan. Menghibur Arjuna dan membangun mimpi-mimpi indah yang kosong melompong. Atau membuatnya melek melihat kondisi cacatnya. Tapi itu sama saja artinya dengan menghempaskannya ke jurang dalam. Sang ibu cuma bisa menyerahkan pada Allah, apapun kehendak-Nya.

Malam purnama. Arjuna baru saja selesai sholat tahajud. Ia merenungi keinginannya yang mulai menjadi azzam. Pikirannya berkecamuk. "Tapi, kalau nanti punya istri pasti biaya akan bertambah. Sekarang saja hidup sudah pas-pasan. Ah, rejeki kan sudah diatur oleh Allah, tinggal kita yang harus ikhtiar. Tapi, mau nikah sama siapa. Eh, iya ya. Siapa yang mau sama saya yang jalan aja mesti merangkak, mau ke mana-mana mesti digotong. Ah, itu kan sama juga, jodoh sudah diatur sama Allah. Tinggal ikhtiar saja. Besok saya akan bilang sama Pak Kyai, minta dicarikan istri."

"Pak Kyai, saya kepingin kawin!"

Pak Kyai itu pun kaget tak beda seperti ekspresi sang ibu ketika mendengar ucapan Arjuna. Dengan sabar Kyai berkata, "Wah bagus itu. Menikah kan sunnah Rasulullah, apalagi kalau niatnya untuk ibadah."

"Iya, iya, saya kepingin kawin karena kepingin ibadah. Kepingin punya anak-anak yang normal dan berjuang di jalan Allah."

"Arjuna mau menikah dengan siapa?"

"Saya ingin minta dicarikan sama Pak Kyai."

Pak Kyai pun menggaruk-garuk kepalanya. Bukan amanah yang ringan. Sudah berkali-kali ia mempertemukan jodoh diantara santri-santrinya. Diantaranya ada juga yang tidak sekali langsung jadi. Itu pun santri-santri yang normal, tapi Arjuna...?!

Sang Kyai bukan mengecilkan arti Arjuna. Semua orang sudah ditentukan takdirnya oleh Allah. Dan tak akan tahu takdirnya bagaimana kecuali dengan berusaha. Tapi usaha yang harus dilakukan untuk mencari istri untuk Arjuna bukan perkara mudah. Tapi Allah berkehendak lain. Sang Kyai akhirnya menemukan sang gadis.

Gadis itu normal, juga sholehah. Ia salah satu jamaah yang kerap mengikuti pengajian Kyai. Kyai mengucap syukur yang tiada tara, karena akhirnya gadis itu mengucapkan kesediaannya menikah dengan Arjuna.

Ina, gadis itu, jelas-jelas tahu Arjuna yang akan dinikahinya berfisik tak sempurna. Sangat jauh dari gambaran tokoh Arjuna yang ada di lirik lagu.

"Kenapa Ina mau menikah dengan Arjuna?" tanya sang Kyai. "Ina sudah tahu apa resikonya? Apa yang akan dihadapi di kemudian hari?"

"Niat saya cuma ingin mencari keridhoan Allah. Saya ingin menjadi bidadari di syurga nantinya," kata sang gadis dengan mantap.

Pagi hari di bulan Agustus 2002 itu seakan bersinar lebih cerah dari biasanya bagi Arjuna. Sebelum berangkat, ia menangis. Bukan sedih, justru kebahagiaan luar biasa yang tak terbendung. Suatu keajaiban yang tak pernah ia bayangkan akan terwujud. Mulanya hanya sebuah keinginan, lalu menjadi tekad, dan kini menjadi nyata. Allah mengabulkan permohonannya.

Terbata-bata Arjuna mengucapkan ijab kabul. Bukan karena grogi, tapi karena memang ia kesulitan mengucapkan kata-kata. Dua ratus pasang mata ikut berlinangan airmata, tak kuasa menahan haru yang tiba-tiba menyeruak. Arjuna menyerahkan mas kawin berupa 23 gram emas kepada istrinya. Lalu Arjuna bersujud di hadapan ibunya, menangis tersedu-sedu.

Di hadapan para tamu, sang Kyai berkata, "Kita harus banyak belajar dari Arjuna, seseorang yang diberi ujian berupa kekurangan fisik dari Allah, namun tidak takut dan berani mengambil keputusan terhadap masa depannya. Arjuna adalah contoh seseorang yang berserah kepada Allah, yakin akan rejeki yang sudah ditetapkan-Nya. Semoga Allah memberkahi pasangan pengantin ini, menjadikannya sakinah, mawadah, warrahmah." Doa sang Kyai ini pun di amini oleh para tamu walimah.

Arjuna memandangi istrinya penuh haru. Ina baru saja selesai mencuci baju. Arjuna senang sekali, kini ia tak lagi mencuci baju sendiri seperti ketika bujangan dahulu. Ina juga selalu merawat dengan penuh ikhlas dan telaten. Seorang gadis telah Allah kirim untuk menjadi pendampingnya di dunia. Arjuna berharap Ina juga akan menjadi bidadarinya di surga nanti. Insya Allah.

(inspired by true story of Sugiarto & Kusminah, jamaah Daarut Tauhiid Bandung)


by [:radoek:]

Aih... Aih...

Cinta, duuuh cinta...
Virus cinta emang bisa bikin blingsatan dan jungkir balik gak karuan. Uring-uringan, hingga makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Bahkan dapat merubah pribadi seseorang, yang awalnya benci banget kata-kata puitis nan manis, mendadak jadi pujangga yang pandai menebar janji tuk memikat hati.

Sambil bersimpuh dengan seikat bunga mawar ditangan, sang pujangga pun merayu sang pujaan, "Duhai belahan hati, tak dapat kuhidup tanpa dirimu di sisi."

Kadang ia bergaya bagaikan bintang film India, "Adinda..., belahlah dadaku ini, kan kau lihat ada dirimu di sana."

Sang gadis pun tersipu malu, hidung kembang-kempis dan jempol kaki jadi gede, "Idih... abang bisa aja nih."

Tak peduli siang malam, yang dipikirkan hanya juwita sayang impian seorang. Tak tahan dengan rayuan maut sang pujangga karbitan, si gadis pun langsung jatuh cinta. Jiwa terbang ke awang-awang, bermain dengan bintang gemintang.

Akhirnya, adik jadi milik abang seorang.

Cihuiii... nikah juga!!!

Pesta tiga hari tiga malam pun diadakan, ngikutin tradisi bintang-bintang sinetron atau anak orang-orang kaya. Meriah, dengan orkes dangdut setiap malam yang memekakkan telinga, juga tak ketinggalan pemutaran layar tancap di depan rumah.

Tamu-tamu begitu banyak yang datang, dan tak henti-hentinya ucapan selamat dihaturkan, "Duuh neng, cantiknya...," seraya tangan mencubit gemes pengantin perempuan.

"Aduuh!" ternyata nyubitnya sakit juga, sambil ngedumel dalam hati,

"Iih... luntur deh make-up, nih ibu reseh banget sih!"

Tapi senyuman masih mengembang, memikirkan banyaknya amplop yang akan diterima, dan kembali berbisik dalam hati, "Sudah tradisi...," menirukan iklan produk biskuit di tivi.

Rasa puas serta bahagia terpancar dari kedua pasangan, dan tentu saja keluarga besar. Bangga, bisa membuat pesta gede-gedean karena katanya itu simbol kaum terhormat dan kaya raya.

Rencana bulan madu pun tak lupa dipikirkan, "Bang, ntar kita bulan madu kemana?" tanya istri sambil bergelayut manja.

"Kemana aja boleh, terserah adikku sayang," sambil mencium pipi dengan mesra, muaaah! Maklum, pengantin baru.

"Huu... yang benar dong jawabnya," pura-pura merajuk.

"Kalo ke bulan, adik mau ikut?"

"Ikuuut...," sambil memegang erat tangan kakanda tercinta.

Aih... aih...

* * *

Cinta, duuuh cinta...
Di awal pernikahan duhai sungguh indah, sayang-sayangan yang bikin mabuk kepayang. Makan saling suap-suapan, di jalan pun tangan saling bergandengan, hingga kadang membuat iri yang belum menemukan pasangan. Tak lupa foto adinda yang sedang tersenyum dipajang di meja kerja, dielus-elus saking cintanya, karena tak sabar ingin segera pulang ke rumah.

Jam kerja kadang digunakan untuk telpon-telponan, "Lagi ngapain, honey?"

Karena masih pengantin baru, masih gede rasa cemburu.

"Hani? Siapa tuh Hani? Kan namaku bukan Hani, pacar baru lagi ya?"

Hiks... hiks... hiks...

Hah???

* * *

Waktu berlalu, hari berganti hari hingga tahun berganti tahun. Layaknya sebuah kehidupan, tentu ada pasang surut. Roda pun tak selalu di atas, selalu ganti berputar. Begitu juga perjalanan bahtera rumah tangga anak manusia, kadang manis tak jarang pula sebaliknya.

Gejolak cinta di masa muda yang begitu bergelora untuk mendapatkan pasangan jiwa lalu berganti dengan keluh kesah, hingga bosan pun meranggas cinta. Suami yang dulu begitu mesra, perlahan mulai lupa dengan yang di rumah. Sang istri kini lebih sering merenung sambil bersenandung lagu Kemesraan-nya Franky Sahilatua, berharap kemesraan yang dulu janganlah cepat berlalu.

Istri kadang sendirian, karena kekanda tercinta suka pulang larut malam. Makan malam yang dihidangkan pun kini tak lagi disentuh, karena restoran telah menjadi pilihan. Dilayani pelayan-pelayan yang berpenampilan rapih, bagi sang suami lebih menyenangkan daripada disambut istri yang wajahnya penuh dengan masker bengkoang dan celemek kucel penuh bau masakan beraneka-ragam. Bahkan tak jarang kepala bermahkotakan rol rambut aneka warna.

Ah...
Rumah tangga kini tak lagi tampak mesra. Suami yang dulunya selalu berjanji sehidup semati, kini lain di bibir, lain di hati. Sindir menyindir sering jadi luka yang menyayat pedih.

* * *

"Neng... manusia itu tak ada yang sempurna, semua pasti ada kekurangannya," nasehat Wak Haji di mushola kecil yang diapit rumah-rumah mewah di kompleks perumahan tersebut.

"Suami istri saling cekcok atau bertengkar itu hal yang biasa," beliau kembali menambahkan.

"Wak Haji juga dong?" cepat memotong.

"Lha iya, emang saya bukan manusia?" Wak Haji menjawab sambil mesem-mesem.

"Lho, mestinya Wak Haji ngasih contoh yang baik, masak udah haji kok bertengkar?"

Lalu kembali berkomentar, "Kalo Wak Haji yang udah tua gini masih juga suka berantem, lha kita yang muda ini nyontohnya ke siapa? Wak Haji mikir dong, mikir...!"

Wuaaah...!!!

"Aih... aih... Wak Haji gitu aja marah, terusin deh" senyum-senyum.

Sambil menahan gemes, Wak Haji pun melanjutkan, "Neng juga harus inspeksi diri sendiri..."

"Mungkin introspeksi ya Wak, maksudnya?" membenarkan.

"Oh iya, ya itu..., Neng juga harus intrupsi"

"Introspeksi Wak, bukan intrupsi!" kembali membenarkan, sembari menahan kesal.

"Aduuh... susah ya pakai istilah tingkat tinggi, apa tadi, inflasi?" Wak Haji bertanya kembali.

Wuaaah...!!!

"Aih... aih... Neng, gitu juga marah, he... he... he...," Wak Haji terkekeh-kekeh, girang banget bisa membalas.

"Tak ada gading yang tak retak, demikian juga rumah tangga. Lautan masih terlalu luas terbentang, ribuan karang siap menghadang, ombak pun kadang menerjang. Karena itu semua persoalan tak hanya dapat dipecahkan dengan cinta, tapi juga butuh sikap dewasa," nasehat Wak Haji.

Kembali beliau menambahkan, "Untuk bersikap dewasa harus ada yang namanya ujian. Nah..., jadikan ujian itu sebagai pernik-pernik dalam pernikahan, ia akan menjadi indah saat setiap pasangan menyikapinya dengan dewasa, bukan dengan amarah. Sikap dewasa akan menyuburkan cinta, sehingga istri atau suami akan lebih mengutamakan pasangannya. Misalnya nih contoh gampangnya, kadang si istri lebih senang berdandan untuk orang lain daripada suaminya, atau sebaliknya."

"Maksudnya Wak Haji?" bertanya, karena belum jelas.

"Iya, coba si Neng inspeksi, eh... apa tadi, inflasi?" sahut Wak Haji seraya membenarkan letak kopiahnya.

"Idih mulai lagi nih, introspeksi, Wak Haji" sambil menahan senyum.

"Eh iya, si Neng coba introspeksi diri, apa iya kalo dandan di rumah juga seperti ini? Padahal Islam menganjurkan kalo berdandan untuk suami di rumah itu jauh lebih baik daripada untuk orang lain," nasehat Wak Haji bagaikan air bening yang merembes di telaga hati.

Si Neng hanya terdiam, membenarkan. Kemudian ia merenung betapa indah, bahkan teramat indah Islam mengajarkan syariat kepada para pemeluk-Nya, hingga mengatur hal-hal yang sangat sederhana. Ia tertunduk malu, karena terkadang terlalu berlebihan berdandan untuk orang lain saat keluar rumah, padahal yang lebih utama semestinya itu adalah hak kekanda, sang belahan jiwa.

* * *

Krek...
Suara pintu dibuka, suami tercinta baru pulang kerja.

"Aih... aih..., mau kemana malam-malam begini?" tanya suami curiga, melihat istri yang berdandan begitu cantiknya.

Ia hanya diam, dan tersenyum manis sementara kekanda tercinta masih bengong, menatap tak percaya.

"Nggak kemana-mana, emangnya gak boleh tampil cantik di rumah?" jelas adinda sambil mengedipkan genit sebelah matanya.

"Kata Wak Haji, istri itu harus melayani suami dengan baik, termasuk tampil cantik saat ia ada di rumah," menirukan apa yang telah didengarnya di mushola.

Suami terharu, aaah... ia memang telah tampil beda. Suami pun sadar bahwa dirinya dan juwita tercinta memang sudah beranjak jauh dari masa-masa muda yang penuh gelora, tapi kekuatan cinta akan selalu menjadikan seseorang berusaha memberikan yang terbaik kepada yang dicintainya. Sang pujangga lalu berjanji dalam hati, untuk selalu menjadi pujangga cinta bagi adinda, sang belahan jiwa.

"Abang...," istri berkata perlahan.

Dalam hati sudah mengira, pasti adinda akan meminta maaf atas segala kekhilafan yang dilakukannya, sehingga dengan cepat ia berkata, "Sudahlah dek, abang juga salah, suka mengabaikan tanggung jawab di rumah," terharu, mata tambah berkaca-kaca.

"Aih... aih..., emangnya saya mau ngomong apa," gerutunya dengan manja, "Cuma mau nanya, kan udah awal bulan, uang gajiannya mana?"

Hah???

Wallahua'lam bi shawab.

*MERENGKUH CINTA DALAM BUAIAN PENA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,

Abu Aufa

Cinta Laki-laki Biasa

Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon lima belas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

"Kamu pasti bercanda!"

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima.

"Kenapa?"

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

"Tapi kenapa?"

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"

"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"

"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.

"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.

"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!"

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

"Baru pembukaan satu."

"Belum ada perubahan, Bu."

"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!"

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

"Dokter?"

"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

"Pendarahan hebat."

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

"Nania, bangun, Cinta?"

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

"Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

"Baik banget suaminya!"

"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"

"Nania beruntung!"

"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."

"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.


Diketik ulang oleh Juli Prasetio Utomo, 28 Juni 2005, dengan pembenahan beberapa ejaan dan tanda baca.

Wassalaamu'alaikum