Rabu, 18 Februari 2009

Menilai Segala Sesuatu dengan Cara Pandang Al-Qur`an

Orang-orang beriman bertujuan menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya. Manusia tidak diciptakan untuk memenuhi keserakahan atau menuruti hawa nafsunya; satu-satunya alasan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah.

Jalan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menjadikan Al-Qur`an sebagi panduan hidup kita. Kita harus mencurahkan segala perhatian untuk mengamalkan setiap ketentuan Al-Qur`an. Kita harus mengamalkan setiap keputusan Al-Qur`an sebanyak mungkin.

Kita tahu dari Al-Qur`an bahwa kewajiban orang-orang beriman tidak hanya berhenti pada ayat-ayat tertentu, seperti shalat, puasa, atau berhaji, tetapi juga penerjemahan dari ibadah itu sendiri. Sebagai contoh, dalam sebuah ayat, orang yang beriman disuruh, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik....” (an-Nahl: 125) Orang-orang beriman memahami “hikmah dan pelajaran yang baik” dengan mengamalkan ajaran Al-Qur`an serta ilmu pengetahuan mereka.

Masih banyak kewajiban lain yang membutuhkan ilmu pengetahuan. Contohnya, Al-Qur`an menjelaskan bermacam-macam kaum dan menginformasikan kepada kita cara memperlakukan kaum tersebut. Apa yang harus diucapkan kepada kaum tersebut, sebagian besar ayat Al-Qur`an dimulai dengan, “Katakanlah....”

Dengan jelas, ayat-ayat Al-Qur`an memberikan gambaran kepada orang beriman tentang cara bersikap. Akan tetapi, jika perintah-perintah ini diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, harus ditafsirkan dengan benar. Pada saat tersebut, ilmu pengetahuan orang-orang beriman sangat membantu.

Al-Qur`an menjelaskan berbagai jenis kaum, seperti kaum muslimin, Kristen, Yahudi, orang munafik, dan penyembah berhala. Kita harus mempelajari ayat-ayat tersebut dengan baik, karena yang seharusnya dilakukan adalah mengenali kaum-kaum ini dalam masyarakat kita kemudian bersikap kepada mereka sesuai dengan perintah-perintah dalam Al-Qur`an. Dengan demikian, kita akan menjadi apa yang Al-Qur`an inginkan.

Lagi pula, orang beriman harus mengenali semua orang di sekitarnya, yang tidak diragukan lagi memiliki satu atau lebih sifat-sifat kaum yang dijelaskan Al-Qur`an. Orang-orang tersebut membentuk masyarakat yang dijelaskan Al-Qur`an dan tiada satu pun yang diciptakan sia-sia,

“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (al-Anbiyaa`: 16)

Walaupun demikian, tidak hanya orang-orang di sekitar kita yang dijelaskan dalam Al-Qur`an. Sebenarnya, segala sesuatu yang kita lihat dan semua yang terjadi merupakan pencerminan dari yang tertulis dalam Al-Qur`an,

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushshilat: 53)

Seluruh alam memiliki tanda-tanda keberadaan Allah, seperti halnya sebuah lukisan yang menghadirkan pelukisnya kepada yang melihatnya. Seluk-beluk lukisan ini menunjukkan sapuan kuas yang jelas; seluruh alam dan seluk-beluk alam ini ada untuk menghadirkan Allah, Pencipta segala sesuatu. Semakin disadarinya kenyataan ini oleh orang beriman, mereka akan semakin mengenali Allah dan bersungguh-sungguh mematuhi semua perintah-Nya. Ketika seseorang memahami kehidupan dengan seluk-beluknya, yang merupakan “tanda” yang dijelaskan dalam Al-Qur`an, orang tersebut akan menghubungkan segala sesuatu dalam “kehidupan sehari-harinya” dengan nilai-nilai Al-Qur`an.

Segala sesuatu yang mengambil tempat dalam takdir Allah, telah ditentukan dan karenanya memiliki tujuan. Yang harus dilakukan oleh orang beriman adalah menafsirkan setiap kejadian dalam cahaya Al-Qur`an, yaitu bertindak sesuai dengan jalan yang telah dijelaskan Al-Qur`an. Sebagai contoh, ketika berhadapan dengan sesuatu yang sia-sia dan bersifat kemalasan, orang beriman harus mengabaikannya, karena diciptakannya sesuatu yang sia-sia itu agar orang beriman tidak mengindahkannya. Orang beriman harus menerjemahkan segala sesuatu menurut cara pandang Al-Qur`an. Dengan demikian, mereka harus membangun budaya dan karakter mereka dalam bingkai Al-Qur`an, sebagaimana perintah Allah untuk mencapai kondisi ini, yaitu mereka harus meninggalkan semua yang mereka peroleh dari masyarakat dan kebodohan mereka yang lampau. Mereka harus memutuskan apa yang seharusnya dilakukan pada setiap situasi dengan bergantung pada penafsiran dan logika Al-Qur`an, karena ayat-ayat Allah menunjukkan kepada mereka cara mengatasi setiap situasi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Qur`an bahwa telah diturunkan kepada kita sebuah kitab “untuk menjelaskan segala sesuatu” (an-Nahl: 89).


Selasa, 17 Februari 2009

kado pernikahan ( arrohwany.multipy.com)

Berhati-hati

Allah menciptakan alam ini dengan disertai tanda-tanda penciptaan-Nya. Akan tetapi, orang yang mengingkari-Nya tidak dapat memahami kenyataan tersebut karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk “melihat” tujuan penciptaan ini. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur`an, ... mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah)....” (al-A’raaf: 179) Secara kasat mata, mereka tidak memiliki kearifan dan pemahaman untuk menanggapi kenyataan yang ada ini.

Orang-orang beriman tidak termasuk kategori “buta” ini. Mereka menyadari dan menerima kenyataan bahwa seluruh alam ini diciptakan Allah swt. dengan tujuan dan maksud tertentu. Keyakinan ini marupakan langkah awal dari keimanan seseorang. Seiring dengan meningkatnya keyakinan dan kearifan, kita akan dapat mengenali setiap detail ciptaan Allah.

Dalam tradisi Islam, ada tiga langkah pemacu keimanan: Ilmul-yaqin (mendapatkan informasi), Ainul-Yaqin (melihat), dan Haqqul-Yaqin (mengalami/merasakan).

Hujan dapat dijadikan contoh dari ketiga langkah ini. Ada tiga tahapan dalam mengetahui tentang turunnya hujan.

Tahap pertama (Ilmul-Yaqin), ketika seorang duduk di dalam rumah yang jendelanya tertutup, kemudian ada yang datang dari luar memberitahukan padanya bahwa hujan turun dan dia memercayainya.

Tahap kedua (Ainul-Yaqin) adalah tahap kesaksian. Orang tersebut menuju jendela, membuka tirai, dan melihat hujan turun.

Tahap ketiga (Haqqul-Yaqin). Dia membuka pintu, keluar rumah, dan berada “di bawah” siraman air hujan.

Berhati-hati adalah bentuk tindakan dari do’a untuk beralih dari tingkatan Ilmul-Yaqin menuju tingkatan Ainul-Yaqin, bahkan lebih.

Upaya melihat tanda-tanda keberadaan Allah dan tidak menjadi “buta” seperti orang yang ingkar, membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Di dalam Al-Qur`an, orang beriman diseru untuk mengamati dan memperhatikan tanda-tanda keberadaan Allah di sekitar mereka dan ini hanya mungkin bisa dilakukan bila dilakukan dengan berhati-hati.

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?” (al-Waaqi’ah: 63-64)

“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?” (al-Waaqi’ah: 68-69)

Allah pun menyatakan dalam ayat yang lain bahwa buta tidak sama dengan melihat, kemudian Dia bertanya, “Maka apakah kamu tidak memperhatikan(nya)?” (al-An’aam: 50)

Kita harus melatih diri untuk mengenal tanda-tanda keberadaan Allah dan selalu mengingat-Nya. Bila tidak, pikiran kita akan menyimpang, melompat dari masalah yang satu ke yang lainnya, menghabiskan waktu memikirkan hal yang tidak berguna. Ini merupakan salah satu jenis ketidaksadaran. Kita akan kehilangan kendali pikiran kita ketika kita kehilangan konsentrasi kepada Allah. Kita tidak dapat terpusat pada satu hal, kemudian kita tidak dapat memahami kebenaran di balik materi, kita pun tidak memiliki kemampuan memahami akibat dari tanda-tanda tersebut. Sebaliknya, pikiran kita diarahkan kepada kesesatan. Kita akan mengalami kebingungan sepanjang waktu. Yang demikian itu tidak terjadi pada seorang muslim yang selalu mengingat-Nya, tetapi terjadi pada orang yang ingkar.

“… Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (al-Hajj: 31)

Dengan kata lain, orang beriman adalah mereka yang mengarahkan pikirannya lebih baik dalam merasakan keberadaan Allah dan mereka yang berusaha lebih baik dalam menjalankan agamanya. Mereka membebaskan pikirannya dari pemikiran yang sia-sia dan selalu waspada terhadap godaan setan.

“Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A’raaf: 201)

Karena itu, seorang muslim harus menjaga pikiran dari memikirkan hal-hal yang tidak berguna, tidak pernah kehilangan arah dengan kejadian-kejadian di sekitarnya, dan harus selalu menjaga pikirannya.

Senin, 16 Februari 2009

Hidup di Dunia Hanya Sementara

Manusia tinggal di dunia hanya untuk waktu yang singkat. Di sini, ia akan diuji, dilatih, kemudian meninggalkan dunia menuju kehidupan akhirat di mana ia akan tinggal selamanya. Harta benda serta kesenangan di dunia, walaupun diciptakan serupa dengan yang ada di akhirat, sebenarnya memiliki banyak kekurangan dan kelemahan karena harta benda dan kesenangan tersebut ditujukan hanya agar manusia mengingat hari akhirat.

Akan tetapi, orang yang ingkar tidak akan mampu memahami kenyataan ini sehingga mereka berperilaku seakan-akan segala sesuatu di dunia ini miliknya. Hal ini memperdaya mereka karena semua kesenangan di dunia ini bersifat sementara dan tidak sempurna, tidak mampu memuaskan manusia yang diciptakan untuk keindahan kesempurnaan abadi, yaitu Allah. Allah menjelaskan betapa dunia merupakan tempat sementara yang penuh dengan kekurangan,

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadiid: 20)

Seperti yang tertulis dalam Al-Qur`an, orang-orang musyrik hidup hanya untuk beberapa tujuan, seperti kekayaan, anak-anak, dan berbangga-bangga di antara mereka. Dalam ayat lain, dijelaskan tentang hal-hal yang melenakan di dunia,

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran: 14-15)

Sebenarnya, kehidupan di dunia tidak sempurna dan tidak berharga dibandingkan kehidupan abadi di akhirat. Untuk menggambarkan hal ini, dalam bahasa Arab, dunia mempunyai konotasi “tempat yang sempit, gaduh dan kotor”. Manusia menganggap usia 60-70 tahun di dunia sangat panjang dan memuaskan. Akan tetapi, tiba-tiba kematian datang dan semua terkubur di liang lahad. Sebenarnya, ketika kematian mendekat, baru disadari betapa singkatnya waktu di dunia. Pada hari dibangkitkan, Allah akan bertanya kepada manusia.

“Allah bertanya, ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’ Allah berfirman, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.’ Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mu’minuun: 112-115)

Mengabaikan Allah dan tidak mengacuhkan kehidupan akhirat, sepanjang hidup mengejar keserakahan dunia, berarti hukuman abadi di dalam api neraka. Orang-orang yang berada di jalan ini digambarkan Al-Qur`an sebagai “orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat”. Bagi mereka, Allah memutuskan, “Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (al-Baqarah: 86)

“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 7-8)

Bagi mereka yang lupa bahwa dunia merupakan tempat sementara dan mereka yang tidak memperhatikan ayat-ayat Allah, tetapi merasa puas dengan permainan dunia dan kesenangan hidup, menganggap memiliki diri mereka sendiri, serta menuhankan diri sendiri, Allah akan memberikan hukuman yang berat. Al-Qur`an menggambarkan keadaan orang yang demikian,

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (an-Naazi’aat: 37-39)

Sabar Hingga Tiba Kematian

Manusia diciptakan dengan disertai sifat tidak sabar dan karenanya ia banyak berbuat kesalahan. Akan tetapi, agama meminta setiap orang agar bersabar karena Allah. Orang beriman, terutama, harus sabar menunggu keselamatan yang besar yang Allah janjikan. Inilah perintah di dalam Al-Qur`an, “Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”(al-Muddatstsir: 7) Sabar merupakan salah satu sifat penting untuk mencapai ridha Allah; itulah kebaikan yang harus diusahakan agar lebih dekat kepada Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200)

Dalam masyarakat jahiliah, arti sabar bercampur dengan ketahanan diri. Akan tetapi, ketahanan diri memiliki makna yang berbeda, yaitu menahan sakit atau kesusahan. Makna sabar yang sebenarnya dijelaskan dalam Al-Qur`an. Perbedaan ini hanya dipahami oleh orang-orang yang benar-benar beriman. Ketekunan orang-orang beriman bertujuan untuk mencapai ridha Allah. Dengan demikian, sabar memberikan penerangan bagi orang beriman, sedangkan “ketahanan diri” hanya memberikan kejengkelan dan kesusahan bagi orang-orang yang tidak beriman. Al-Qur`an menyatakan hal ini, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (al-Baqarah: 45)

Ayat lain dari surah yang sama menekankan bahwa kegembiraan diberikan kepada orang-orang yang bersabar dalam menghadapi rintangan atau kesusahan.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.’(al-Baqarah: 155-156)

Sabar merupakan sifat mulia yang dapat meningkatkan kekuatan orang-orang beriman. Allah menyatakan pada ayat berikut, betapa kekuatan sabar ini bisa mengalahkan sesuatu.

“Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Anfaal: 66)

Sabar, sekali lagi, merupakan sifat yang tergolong positif yang diterangkan dalam Al-Qur`an. Seseorang bisa saja rendah hati, sederhana, baik budi, taat atau patuh; namun semua kebaikan ini hanya akan berharga ketika kita menggabungkannya dengan kesabaran. Kesabaranlah yang diperlihatkan dalam berdo’a dan merupakan sifat orang beriman, yang membuat do’a-do’a kita dapat diterima.

Sabar meliputi seluruh kehidupan orang beriman, yang patuh pada ketentuan, “Sabarlah untuk tuhanmu.” Akhirnya, Allah mengambil jiwa mereka dan memberi mereka penghargaan dengan surga-Nya. Malaikat yang berjaga di pintu-pintu menyebut orang yang benar dengan perkataan,

“(Sambil mengucapkan), ‘Salamun `alaikum bi ma shabartum.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (ar-Ra’d: 24)

Jumat, 13 Februari 2009

bila saja ........ ( ukhuwah bersatu )

Apa jadinya yah jika saja seluruh umat islam bersatu?
selama ini umat islam terpecah belah,
Golongan islam yang satu menhujjat golongan islam yang lain.
yang dibahaspun selalu masalah yang itu-itu saja, sehingga urusan umat banyak yang terbengkalai.
umat miskin makin miskin, dan tak telupakan, sehingga anak-anak mereka pun menderita busung lapar akibat kurang asupan makan.
tetap saja, ulama-ulama masih saja membahas yg selalu dibahas.
sedang anak-anak muslim yang menjadi pengemis semakin meningkat.
akan tetapi para alim ulama tetap saja membahas yang itu-itu saja.

mau tau apa yang dibahas ulama: ni dia yang dibahas " qunut, tahlil, dan dzikir "

pada hal qunut itu jelas sunnah nya, yang mau mengamalkan silahkan dan yang tidak mengamalkan juga silahkan.

cuma beda pendapat sedikit aja ko.

trus massa tahlil dzikir juga di permasahkan,

lagian tahlil juga ada dalil-dalil nya.
yang mau tahlil dzikir sendiri yaa silah kan , dan yang mau berjama'ah juga silahkan

tahlil dzikir berjama'ah itu bukan bid'ah, itu bagian dari syi'ar.

tapi lagi-lagi para ulama cuma itu yang di permasalahkan,

padahal gadis-gadis muslim sudah banyak sekali yang tidak mengetahui wajib nya menutup aurat.
pemuda-pemudi islam tidak mengetahui haram nya pacaran

tetap saja para ulama masih membahas yang itu-itu saja.

bahkan golongan islam yang satu saling mengolok-olokan golongan yang lain.
masing-masing golongan mebanggakan golongannya sendiri.

golongan nya diperkuat

golongan islam yg satunya pun memperkuat anggota nya.

sampai-sampai umat islam yang jauh dari islam makin ngga ngerti akan islam. banyak mereka bertanya. islam manakah yang harus saya ikuti?

hai sahabat semuanya...
camkan lah kalimat ini, apakah kita harus berpecah belah, padahal umat membutuhkan kita.

pernah kah kita semua berfikir?
kena apa falestin bisa di perangi israel?

jawab nya mudah:
karena islam ngga bersatu,
masing-masing negara mementingkan negaranya.
ukhuwah sudah sangat renggang


bila saja umat islam bersatu, apa jadinya yah?
hmmm

hampir semua negara islam memiliki sumber minyak bumi,
indonesia, arab saudi dan lain-lain nya, coba kalau seandainya islam sedunia bersatu . tidak menjual minyak nya ke negara-negara israel dan amerika. wah negara amerika dan sekutunya israel akan lumpuh total kali yah.

dan tampa minyak bumi, perekonomian mereka akan turun drastis, dan kekuatan militer merekapun secara otomatis akan menurun.

pesawat terbang tempur israel takkan terbang menyerang negara arab jika tampa bahan bakar, tank-tank israel dan amerika ngga bisa memasuki daerah islam kalau ngga ada bahan bakar nya.
ada kemungkinan islam akan berjaya dan menguasai perekonomian dunia jika islam bersatu, dan israel serta amerika akan merasakan dampak yang memilukan.

teman-teman muslim dan muslimah semuanya, apa kalian tahu cara menyatukan islam?

Berdo’a

Dijelaskan dalam sebuah ayat tentang pentingnya ibadah,

“Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu....’ (al-Furqaan: 77)

Berdo’a merupakan cara berdialog dengan Allah; juga merupakan ciri utama yang membedakan orang yang beriman dari orang musyrik. Berdo’a bisa dijadikan sebagai alat ukur keimanan seseorang kepada Tuhannya.

Kebanyakan orang berpikir bahwa tidak ada yang mengatur alam semesta ini dan segala sesuatu berinteraksi dengan sendirinya. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi tunduk kepada-Nya, tidak ada makhluk yang takdirnya tidak diatur oleh Allah dan tidak patuh kepada-Nya. Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) mengatakan kepadanya, “… Jadilah…,” lalu jadilah ia. (al-Baqarah: 117)

Orang musyrik tidak memahami kenyataan penting ini dan mereka menghabiskan seluruh hidupnya untuk menggunakan alam ini dalam mengejar impian semu. Orang beriman, dengan cara yang lain, mempelajari keagungan misteri ini dari Al-Qur`an. Mereka menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai yang mereka inginkan adalah dengan memohon kepada Yang mengawasi mereka. Mereka mengetahui bahwa Allahlah Sang Pencipta dan Pengatur segala sesuatu,

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)

Akan tetapi, haruslah dipahami bahwa Allah tidak harus mengabulkan semua yang diinginkan dari-Nya. Bagi orang-orang yang jahil, “Dan manusia mendo`a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo`a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (al-Israa`: 11) Dengan demikian, Allah menjawab semua do’a kita, namun terkadang mengabulkan, terkadang tidak bila ternyata akan menimbulkan “keburukan” yang nyata.

Cara berdo’a juga dijelaskan dalam Al-Qur`an: dengan kerendahan hati dan suara yang lembut, keihlasan, dalam hati kita berharap, namun takut pada Allah, serta dengan kesungguhan,

“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut... berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf: 55-56)

Dalam ayat lain dikatakan, “Hanya milik Allah asma`ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma`ul husna itu....” (al-A’raaf: 180)

Sebenarnya, do’a-do’a kita merupakan pengakuan atas kelemahan kita dengan menunjukkan rasa terima kasih kepada Allah. Tanpa berdo’a berarti menunjukkan kesombongan dan pembangkangan kepada Allah. Allah menyatakan,

“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya, orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’(al-Mu’min: 60)

Berdo’a pada Allah adalah ibadah dan juga rahmat yang besar. Tindak permohonan yang mudah ini merupakan kunci untuk mencapai tujuan, baik dunia maupun akhirat.

Allah Mengetahui Semua Rahasia Hati

Sifat yang paling mendasar dari orang-orang kafir adalah ketidakikhlasan mereka. Mereka tidak ikhlas kepada Allah, orang lain, dan bahkan kepada diri mereka sendiri. Meski mereka berlaku hangat ketika berhadapan dengan orang lain demi kepentingan mereka, pada saat yang sama mereka merasa benci atau cemburu kepadanya. Masalahnya, ketidakikhlasan itu terdapat pada diri mereka sendiri. Meskipun mereka menyaksikan kesalahan dan kejahatan dalam perbuatan mereka dengan jelas, mereka menyembunyikan kenyataan ini di alam bawah sadar mereka dan berbuat layaknya orang yang benar dan sempurna.

Ketidakikhlasan ini berasal dari anggapan bahwa tidak seorang pun mengetahui rahasia di dalam hati mereka, sehingga orang bersalah tersebut dapat berbuat layaknya mereka yang tidak bersalah meski telah melakukan dosa atau kesalahan. Sesungguhnya, mereka benar-benar tidak mengetahui apa yang dipikirkan orang lain dan mereka tidak pernah menyadari bahwa Allah mengetahui semua yang dipikirkan dan semua rahasia hati, termasuk pikiran alam bawah sadar yang mereka sendiri tidak mengetahuinya. Allah mencatat fakta ini pada ayat-ayat berikut.

“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (at-Taghaabun: 4)

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?” (al-Mulk: 13-14)

Tidak seorang pun dapat berbicara tanpa sepengetahuan Allah. Allah mengetahui bukan hanya semua perkataan, melainkan semua pikiran orang, termasuk yang berada di alam bawah sadar, yang sebagiannya tidak mereka sadari. Hal ini ditekankan dalam ayat berikut.

“Tidaklah kamu perhatikan bahwa sesunggunya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian, Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerejakan. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Mujaadilah: 7)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf: 16)

Dengan demikian, perilaku orang beriman haruslah benar-benar didasari keikhlasan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Karena Allah Yang menciptakan dan mengetahui segala sesuatu, tidaklah mungkin kita berpura-pura di depan-Nya. Seseorang harus mengakui semua kelemahan, kesalahan, dan kekhilafannya, meninggalkan kemaksiatan dan kembali kepada Allah, serta meminta pertolongan dan ampunan-Nya.

Para rasul merupakan contoh terbaik dalam keikhlasan mereka kepada Allah. Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (al-Baqarah: 260) Ini merupakan cara bagaimana orang beriman mengakui kelemahan mereka kepada Allah dan memohon ampunan dari-Nya. Hal yang sama terjadi ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Musa, “Pergilah kamu kepada Fir’aun.” Musa berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku,” (al-Qashash: 33) serta memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah. Kejujuran para rasul ini menunjukkan bagaimana orang beriman harus bersikap.

Sebelum seseorang memahami kelemahan dan ketergantungannya kepada Allah, ia tidak dapat memiliki sifat-sifat seperti tabah, rendah hati, beriman, dan berani hanya dengan berpura-pura bersifat demikian, karena “… manusia dijadikan bersifat lemah” (an-Nisaa`: 28) agar mengerti kelemahannya di hadapan Allah. Karena itu, seseorang harus percaya dan berserah diri kepada Allah serta mengungkapkan kesalahan dan dosanya sebelum memohon ampunan.

Rabu, 11 Februari 2009

“GORESAN CINTA BUAT SAHABAT” ( Fathimah muthmainnah)

Bertanya seorang anak kepada ibunya, seraya mendekap manja dipelukan sang ibu.


wahai ibu, bisakah ibu ceritakan kepadaku tentang sahabat sejati? Ibunya tersenyum, sambil membelai lembut kepala anaknya, ditatapnya dalam-dalam mata sang anak, seraya berkata, ”sahabat sejati adalah kesetiaan. Bila kau pandangi langit nampak olehmu mentari yang bercahaya, ia selalu dan setia menyinari alam semesta ini. Mentari tak pernah ingkar walau sedetikpun, ia taburi cahaya untuk melayani semua makhluk di atas muka bumi ini. Wahai anak ku mentari adalah contoh sahabat sejati bagi semua makhluk di dunia ini.”


”Lalu bagaimana dengan kita ibu”? Tanya anaknya kemudian.


”Anakku, sahabat sejati memberikan cinta, membangun ukhuwah serta memberikan kasih dan sayang, dalam doa malamnya mengalir nama-nama sahabatnya, dalam kebahagiaanya ada kebahagiaan sahabatnya, ia berani berkorban dan rugi untuk sahabatnya. Anakku, sahabat sejati tidak pernah mengharap balasan, tak dihitung budinya, tak ditakar kebaikannya dan tak ditimbang cintanya. Semuanya tulus dipersembahkan. Satu keinginannya, bila ia mencintai sahabatnya ia berharap Allah mencintainya pula”.


Sang anak tertegun mendengar penjelasan ibunya, lantas dia berkata, teruskan penjelasanmu wahai ibu”.


Anakku, sahabat sejati tidak pernah menakar cinta dengan uang ataupun harta. Tak mengukur ukhuwah dengan selalu memberi, tak membagi kasih dan sayang untuk sebuah pujian. Namun ia berikan itu semua untuk satu harapan”.


Apa harapan itu ibu”? Tanya anaknya keheranan.


”Surga yang penuh kenikmatan wahai anakku”. Tidakkah kau tahu ketika rasul membagi cintanya, tak satupun sahabatnya yang tidak mendapatkannya, hingga semua sahabat merasa diri merekalah yang paling dicintai oleh Rasulullah”.


Sang ibu melanjutkan petuahnya.


Anakku sahabat sejati menjaga aib sahabatnya, segala kebaikannya ia ceritakan, ia tutupi kekurangan dan kecacatan yang dimiliki sahabatnya. Memandang wajahnya mengingatkan engkau pada keimanan, mendengar ucapannya menyejukkan hatimu, menatap tingkahnya mengingatkan engkau tuk segera berbuat kebaikan”. ”Lanjutkan petuahmu wahai ibu” pinta sang anak


Anakku, bersahabatlah dengan iman sebagai tiangnya, ikhlas sebagai pondasinya, cinta sebagai ikatannya, pengorbanan sebagai dindingnya, kasih dan sayang sebagai atapnya, dan jujur sebagai lantainya. Wahai anakku, ingatlah! Takkan kau jumpai sahabat sejati, bila kau sendiri tak belajar sejati”. Sang ibu mengakhiri petuahnya. Anak itu mendekap erat tubuh ibunya, ”terima kasih bunda” ucapnya lirih.


(diambil dari buku MENGUBAH HIDUP MERAIH BAHAGIA karya Hendi Kurniah ”buya Azzam Syahid Muhammad al Fatih”)

Senin, 09 Februari 2009

Bertasbih Memuji Allah

Semua topik keimanan yang kita bahas hingga kini membutuhkan kepasrahan diri kepada Allah, dalam hidup dan berjuang karena-Nya. Pengabdian ini tidak dapat kita capai kecuali memiliki kedekatan dengan Allah dan jalan untuk khusyuk, melalui “mengingat dan kembali kepada-Nya”. Orang-orang beriman itu seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur`an, “Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 42) Inilah yang akan menjadikan orang yang beriman menjadi “hamba Allah” seperti layaknya Nabi Ibrahim a.s..

Orang-orang beriman harus bersyukur kepada Allah atas karunia yang diberikan-Nya dan memohon ampunan Allah atas perbuatan zalim diri mereka. Selanjutnya, mereka harus meminta kepada Allah untuk semua yang mereka butuhkan serta memuji-Nya siang dan malam.

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf: 205)

Dalam ayat lain, “… Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)….” (al-‘Ankabuut: 45) Tanpa menghadirkan Allah, semua shalat akan kehilangan nilainya. JIka shalat ini tidak ditujukan untuk mengingat Allah dan mencari ridha-Nya, mereka tidak mendapatkan upah. Ketika Al-Qur`an memberitahukan sifat-sifat para nabi, ditekankan betapa mereka selalu taat kepada Alah. Dalam ayat ke-30 surah Shaad, Allah berfirman, “Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia amat taat (kepada Tuhannya).” Kepada Ayyub, a.s. Allah berkata, “… Sesungguhnya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia amat taat (kepada Tuhannya).” (Shaad: 44)

Mengingat Allah dalam Setiap Kesulitan

Tujuan hidup orang-orang beriman adalah beribadah kepada Allah. Salah satu cara beribadah adalah menyampaikan ajaran Allah di mana pun dan berjuang melawan pasukan iblis. Perjuangan ini biasanya sangat berat dan keras karena setiap saat “pasukan iblis” mempunyai peralatan yang lebih baik.

Orang-orang beriman tidak terpengaruh oleh hal ini karena mereka menyadari adanya sebab akibat di dunia. Realita ini mengabarkan bahwa kemenangan tidak berhubungan dengan jumlah yang banyak atau kekuatan yang dahsyat, tetapi atas perintah dan kehendak Allah. Ajaran agama yang benar memberikan penghargaannya berupa kemenangan iman, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 249) Keimanan yang murnilah yang menunjukkan kemenangan. Kebenaran yang pelik ini, yang tidak dipahami orang-orang ingkar, dijelaskan dalam ayat,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (al-Anfaal: 45)

Mengingat Allah dalam Setiap Kesulitan

Tujuan hidup orang-orang beriman adalah beribadah kepada Allah. Salah satu cara beribadah adalah menyampaikan ajaran Allah di mana pun dan berjuang melawan pasukan iblis. Perjuangan ini biasanya sangat berat dan keras karena setiap saat “pasukan iblis” mempunyai peralatan yang lebih baik.

Orang-orang beriman tidak terpengaruh oleh hal ini karena mereka menyadari adanya sebab akibat di dunia. Realita ini mengabarkan bahwa kemenangan tidak berhubungan dengan jumlah yang banyak atau kekuatan yang dahsyat, tetapi atas perintah dan kehendak Allah. Ajaran agama yang benar memberikan penghargaannya berupa kemenangan iman, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 249) Keimanan yang murnilah yang menunjukkan kemenangan. Kebenaran yang pelik ini, yang tidak dipahami orang-orang ingkar, dijelaskan dalam ayat,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (al-Anfaal: 45)

Penyesalan dan Memohon Ampun

Dua sifat Allah yang paling sering diulang dalam Al-Qur`an adalah “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Allah benar-benar menyayangi hamba-hamba-Nya dan tidak menghukum mereka secara langsung atas dosa-dosa mereka,

“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (an-Nahl: 61)

Dengan menangguhkan hukuman, Dia memberi waktu kepada orang yang berbuat salah untuk memohon ampun dan bertobat. Tidak peduli betapa besar dosa yang ia lakukan, ia selalu mendapat kesempatan untuk dimaafkan jika bertobat dan berbuat kebaikan,

“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salaamun ‘alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (al-An’aam: 54)

Tobat juga berarti permohonan dukungan dan kekuatan dari Allah untuk membantu orang yang bersalah agar tidak mengulangi perbuatan salah yang sama. Bentuk Tobat yang diterima Allah adalah yang diikuti dengan perbuatan-perbuatan baik,

“Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (al-Furqaan: 71)

Terkadang seseorang bisa saja melakukan dosa yang sama karena bujukan nafsunya, bahkan setelah bertobat. Akan tetapi, hal ini bukanlah alasan baginya untuk tidak bertobat. Dia bisa bertobat karena kesalahan-kesalahan sepanjang hidupnya. Harus diingat pula bahwa tobat seseorang tidak akan diterima ketika kematian telah datang menjemput dan ia mulai melihat nasibnya di hari kemudian.

“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (an-Nisaa`: 17)

“Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya, saya bertobat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (an-Nisaa`: 18)

Ayat yang lain menyeru orang-orang beriman kepada keselamatan, “… Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)

Kamis, 05 Februari 2009

mencari cinta agung (Khazinatul Asrar, Taman Islam)

Puas sudah,
Kucari kebahagian,
Di sisi teman-teman,
Kudapat hanya kelalaian,

Ku cari lagi,
Di hati seorang kekasih,
Kudapat hanya kekecewaan,

Dan ku terus mencari,
Dalam meniti hari,
Penuh kekosongan…

Oh, di mana lagi harus ku mencari,
Membawa sekeping hati,
Yang sarat kerinduan,
Rindu yang tiada haluan,

Aku keliru sendiri,
Apa yang kucari,
Apa yang kuperlukan
Aku masih tak bisa mengerti,

Yang pasti,
Kekosongan hati ini minta diisi..
Sejenak ku tersadar,
Aku mencari cinta agung,
Buat jiwaku yang merindukan,
Hakikat kebenaran,
Cahaya yang membelah kegelapan,
Melimpah cemerlang mengisi kekosongan.

Ku sadar,
Destinasi pencarianku di sini,
Ku mencari-Mu Tuhan,
Mengharap keredhaan,
Menagih kebahagiaan,
Dari sinar cahaya iman

mencari cinta agung Khazinatul Asrar, Taman Islam.

Puas sudah,
Kucari kebahagian,
Di sisi teman-teman,
Kudapat hanya kelalaian,

Ku cari lagi,
Di hati seorang kekasih,
Kudapat hanya kekecewaan,

Dan ku terus mencari,
Dalam meniti hari,
Penuh kekosongan…

Oh, di mana lagi harus ku mencari,
Membawa sekeping hati,
Yang sarat kerinduan,
Rindu yang tiada haluan,

Aku keliru sendiri,
Apa yang kucari,
Apa yang kuperlukan
Aku masih tak bisa mengerti,

Yang pasti,
Kekosongan hati ini minta diisi..
Sejenak ku tersadar,
Aku mencari cinta agung,
Buat jiwaku yang merindukan,
Hakikat kebenaran,
Cahaya yang membelah kegelapan,
Melimpah cemerlang mengisi kekosongan.

Ku sadar,
Destinasi pencarianku di sini,
Ku mencari-Mu Tuhan,
Mengharap keredhaan,
Menagih kebahagiaan,
Dari sinar cahaya iman

Wassalaamu'alaikum