Sabtu, 11 Oktober 2008

Sebuah Harapan...................................................diambil dari : www.dudung.net

DIARY-ku. Jam delapan malam. 17 Nopember. Suasana pelabuhan masih terasa padat. Angin laut yang membawa butiran-butiran air terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Pukulan angin cukup kencang memukul-mukul benda-benda yang berusaha menghalangi lajunya.

Di atas kapal yang hendak berangkat, aku berdiri tegak dan melemparkan pandanganku ke lautan luas, meski gelap dan angin begitu kencang memukul-mukul tubuhku. Sesekali aku membenarkan letak jilbab hijau esmeralda yang berkibar-kibar diterjang angin. Aku melangkah dan merapat ke sisi kapal yang dibentengi pagar besi. Menunduk sebentar dan membenarkan letak kacamataku.

Diary, bagi seorang wanita, usia dua puluhan, telah nampak tanda-tanda kedewasaan. Dan itu pula yang selama ini sedang aku pikirkan seorang diri. Pikiranku mengembara menembus mega-mega hitam.

Ah, hidup ini memang misteri. Nggak nyangka. Betul-betul nggak nyangka kalau Mas Rahadi ternyata mau menikahi aku.

Aku mulai mempermainkan jari dan mengepal-ngepalkannya untuk mengusir hawa dingin yang mulai merayap di sekujur tubuhku.

Angin malam ini jadi saksi. Kalau aku ternyata diam-diam mulai menyukainya, kalau diam-diam aku memiliki sebuah harapan. Aku kenal Mas Rahadi meski baru luarnya saja. Tapi cukup membuat aku berdebar-debar saat dia menyatakan berminat menjadi pendamping hidupku. Ia mau berusaha menjadi teman sekaligus suami yang bisa membina dan membimbingku. Benar-benar misteri.

Kuseret kaki menuju bangku kecil yang ada dekat musholla di kapal ferry ini. Kaki yang dari tadi sudah mulai gemetaran menahan terjangan dingin angin malam.

Tapi... kenapa orang rumah nggak begitu menyukai kehadirannya, kenapa papa dan mama begitu membencinya. Adakah yang salah dalam dirinya? Adakah sesuatu yang mengerikan dalam jiwanya? Aku sama sekali tak mengerti. Sepertinya aku harus berusaha keras. Berusaha dan berusaha sampai papa dan mama mau menerima Mas Rahadi apa adanya.

Sejurus kemudian aku jemu memandang laut dan langit yang ditaburi bintang-bintang. Kuturuni tangga kapal yang mulai meninggalkan pelabuhan Bakauheni menuju pulau Jawa, yang selama ini jadi tempat awal bertemu dengan pria yang hendak menjadi pendamping hidupku. Detik-detik berikutnya aku terlelap dalam sebuah ruangan ber-AC setelah agak lama mataku berusaha memelototi gambar-gambar hidup di layar televisi.

****

Diaryku. Jam lima sore awal Desember. Langit kotaku tak lagi mendung. Angin siang tadi baru saja mendorong mega-mega menjauhi kota. Sinar matahari yang mulai meredup menambah suasana sore yang cerah lebih bernuansa. Selembar foto diri Mas Rahadi tergeletak tak jauh dari meja yang dipenuhi beberapa buku dan catatan-catatan pengajian siang tadi.

Ah, aku sudah dikhitbah Mas Rahadi. Dan sebenarnya aku sudah siap menjadi pendamping hidupnya. Hari bahagia itu ingin segera kuraih. Ingin segera merasakan bagaimana menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anakku. Ya, sudah sebulan ini Mas Rahadi mengkhitbahku. Sering juga aku berkomunikasi dengannya. Lumayan juga. Ia bisa mengerti segala keinginanku. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa ia bersedia menerima aku apadanya. Ia bilang bahwa manusia itu nggak ada yang sempurna. Justeru dengan hidup berdampingan sebagai suami istri nanti, di situlah seseorang harus bisa bersikap bijaksana dengan menghargai pasangannya. Saling mengisi di antara kelebihan dan kekurangannya. Jangan sampai egoisme menjadi penghalang untuk saling menghargai. Mas Rahadi juga pernah bilang, bahwa keluarganya siap menerima aku apa adanya. Karena pilihan Mas Rahadi adalah pilihan keluarganya. Aku yakin, kalau dia berkata sesungguhnya.

Namun, itu tak berarti pihak keluargaku menerima juga kenyataan ini. Terutama mama, beliau masih menyimpan misteri tentang penilaiannya sama Mas Rahadi, yang aku sendiri tak pernah bisa mengerti sampai sekarang. Yang pasti beliau nggak suka dengan kehadiran Mas Rahadi. Entahlah, aku tak habis pikir. Kadang-kadang aku bertanya, kurang apa sih sebenarnya Mas Rahadi dalam pandangan mereka? Apa kurang ganteng? Ah, masak seorang aktivitis pengajian masih melakukan penilaian seperti itu hanya untuk menyenangkan hati ortunya. Tapi mungkin wajar juga ya? Entahlah, aku sendiri sebenarnya tak terlalu memikirkan. Mau tampangnya mirip Leonardo Di Caprio atau Jared Letto, nggak peduli, yang penting akhlaknya baik. Biarin cakep juga asal taat. Hi..hi.. (enak dong kalau gitu).

Eh, benar nggak sih, kalau Mas Rahadi itu orangnya eksentrik? Kata Ria, sohib karibku, ia nggak nyangka kalau Mas Rahadi suka nonton film-film yang romantis, kayak Sleepless In Seatle, Romeo and Juliet, The House of Spirit atau Titanic, juga Hope Floats. Emang sih, Mas Rahadi pernah bilang kalau kenyataan yang sedang dihadapinya mirip di film Hope Floats yang pernah ditontonnya. Entahlah, karena aku sendiri belum pernah menontonnya. Maklumlah di tempat kostku nggak ada VCD Player atau komputer yang dilengkapi dengan program MPEG. Beda dengan tempatnya tinggal, nyaris perangkat teknologi informasi ada semua. Termasuk komputer yang sudah dilengkapi dengan program untuk nyetel VCD.
My Diary. Akhir Nopember. Hari ini aku baru saja menjelaskan sama papa dan mama soal hubunganku selama ini dengan Mas Rahadi. Seperti biasa mereka nggak terlalu antusias menanggapi. Aku bingung. Aku jadi salah tingkah. Konsentrasiku buyar, hingga membuat aku selalu melakukan kesalahan-kesalahan yang tak perlu dalam setiap pekerjaanku. Papa selalu diam kalau aku tanya kenapa papa mempersulit aku untuk menikah dengan Mas Rahadi. Dengan memasang target yang menurutku tak masuk akal. Bayangkan, tiga tahun. Sekuat-kuatnya keimanan seseorang, aku khawatir goyah juga. Apalagi jaman sekarang, dimana informasi begituan bisa dengan mudah diakses lewat internet atau majalah-majalah. Ditambah dengan kehidupan sosial yang amburadul seperti sekarang ini. Pendek kata, godaan ke arah sana semakin berbahaya.

Papa selalu beralasan soal mengenal pribadi. Padahal aku sudah kenal. Aku sudah yakin kalau Mas Rahadi adalah pilihanku. Dari informasi-informasi yang sampai kepadaku soal Mas Rahadi hampir seluruhnya adalah informasi yang baik. Tentang dakwahnya, tentang akhlaknya, tentang tanggung jawabnya, tentang kepribadiannya. Segalanya deh. Insya Allah Mas Rahadi telah jadi pilihanku. Lalu, alasan primadona yang sering dilontarkan papa adalah bahwa untuk sampai ke pernikahan, butuh banyak biaya.

Aduh, diary. Aku harus bilang apa lagi. Aku sudah katakan sama papa bahwa yang penting dari pernikahan itu adalah akadnya. Bukan rame-ramenya. Buat apa nabung uang berjuta-juta hanya dihabiskan dalam waktu sehari, dan hanya untuk sebuah alasan klise; prestis? Betapa naifnya. Lagi pula papa mestinya ngerti ya, diary. bahwa memasuki dunia baru lewat pintu gerbang pernikahan itu bukan berarti harus selalu sudah siap segalanya. Sudah punya rumah, punya pekerjaan yang benar-benar mapan dengan gaji gede, punya kendaraan yang lux, memiliki status sosial yang gemerlap dan aksesoris-aksesoris duniawi lainnya, sementara mengesampingkan aspek akhlak, keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Menurutku, pernikahan adalah gerbang menuju kehidupan baru yang akan dibangun bersama-sama. Membangun dari nol. Dengan suka dan duka. Dijalani bersama. Tentu itu akan lebih menambah nilai ibdah. Karena nikah termasuk salah satu ibadah kepada Allah Swt. Ya, itulah pendapatku. Nggak salah kan diary-ku?

Namun, apa reaksi papa, diary. Papa hanya diam seribu bahasa. Yang aku khawatirkan diamnya papa adalah diamnya gunung berapi. Diam, tapi suatu saat akan memuntahkan lahar panas yang mematikan. Mungkin papa mau mengekpresikan kasih sayang kepada anaknya, tapi menurutku itu tak pada tempatnya. Penyataan yang salah pada waktu yang salah. Karena standar penilaiannya berbeda jauh dengan nila-nilai Islam. Ah, entahlah diary, aku nggak ngerti sampai sekarang.

***

Diary-ku sayang. Jam tujuh pagi, awal Desember. Ria, sohibku yang paling setia baru saja mengabarkan via telepon bahwa Mas Rahadi bakal ngirim surat sore nanti. Terus terang aku deg-degan nggak karuan. Bagaimana tidak, aku merasa ada yang salah setelah peristiwa beberapa waktu lalu, ketika Mas Rahadi selalu bertanya kepadaku soal apakah aku masih tetap mencintainya, apakah aku masih tetap menyukainya, aku selalu tak bisa berterus terang. Maklumlah aku ini kan perempuan yang masih menyimpan rasa malu ketika harus berhadapan dengan sebuah pertanyaan tentang keterus-terangan dalam urusan yang sensitif seperti itu. Padahal, aku benar-benar menyukainya, aku sungguh-sungguh mencintainya. Meski ketika itu aku diam saja.

Masih kuingat komentar Ria kemarin sore. "Nuri, kamu ini kok kayaknya aneh banget, deh. Katakan terus terang dong. Jangan membuatnya selalu was-was. Tahu, nggak, Mas Rahadi itu butuh support dari kamu. Ia akan lebih merasa senang ketika kamu terus terang mengatakan cinta atau suka kepadanya. Kamu kan suka baca buku-buku psikologi. Masak belum ngerti juga? Tahu nggak, ini waktu yang tepat!" begitu kata Ria penuh semangat dan membuat aku terpojok dan tak mampu berkata-kata banyak.

Diary, jarum jam sepertinya malas untuk berputar. Kamar ini terasa dingin membeku. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Aku sudah nggak sabar lagi menerima surat dari Mas Rahadi yang tentunya rada-rada spesial. Maklumlah, selama ini aku nggak pernah menerima surat dari laki-laki. Khususnya, yang telah mengkhitbahku. Kira-kira apa yang bakal dibahas dalam suratnya yang selalu bertabur kata-kata indah. Paling tidak itu menurutku. Ya, kita tunggu aja yuk?
Jam lima sore. Diary, ia benar-benar memenuhi janjinya. Ia datang di saat aku membutuhkannya. Tepat. Senyum khas yang selalu menghias bibirnya kembali hadir di hadapanku. Deg-degan juga. Ah, betapa kuatnya energi cinta seorang yang sedang kasmaran. Amplop biru muda berisi lipatan-lipatan kertas yang telah ditulisi sekarang ada dalam genggamanku. Selalu singkat pertemuan itu. Ia segera menghilang dalam pandanganku dan meninggalkan rasa senang yang hebat. Tak sabar aku ingin melihat isi tulisan yang bermuatan kata-katanya yang khas. Oh, ternyata dilengkapi sebuah pita kaset The Beatles. Ah, eksentrik memang. Aku buru-buru membacanya dengan debaran jantung yang tak karuan.


Ba’da tahmid dan salam.

Dik, Nuri. Gimana kabarnya? Semoga tetap dalam keadaan sehat dan senantiasa dalam lindungan-Nya, serta tetap beraktivitas dalam dakwah. Semoga kita tetap bisa menjaga batas-batas kesucian. Kita berharap semoga Allah memberkahi kita semua.

Dik Nuri. Langsung saja. Mas Rahadi minta maaf bila selama ini selalu bertanya soal kesetiaan dan keteguhan hati Dik Nuri dalam mencintai Mas Rahadi. Sekali lagi, mohon maaf. Dik, jangan kaget kalau surat Mas Rahadi, kali ini agak aneh dan mungkin terkesan “nakal” dengan menyisipkan kaset. Nggak ada maksud apa-apa selain ingin membuat adik bahagia. Ya, barangkali hal yang mubah ini bisa menjadi sarana kebahagiaan adik. Bisa jadi, ini adalah wujud ekspresi dari rasa kasih sayang Mas Rahadi sama adik. Khusnudzan saja, ya? Sebagian jawaban dari rasa penasaran adik terhadap pertanyaan Mas Rahadi, mungkin ada dalam salah satu judul lagu The Beatles tersebut. Yang jelas, Mas Rahadi hanya berusaha untuk meyakinkan saja dengan apa yang selama ini Mas Rahadi harapkan.

Dik Nuri, Mas Rahadi sangat kagum dengan apa yang adik katakan beberapa waktu lalu bahwa adik rela dibawa sama Mas Rahadi dalam kondisi apa pun, selama masih dalam naungan Islam. Mas Rahadi pikir, itu adalah jawaban bijaksana dan dewasa. Karena belum pernah mendengar sebelumnya dari seorang wanita. Terus terang itu menambah point tersendiri bagi Mas Rahadi.

Dik, kayaknya sekarang singkat saja ya, suratnya. Soalnya masih banyak persoalan lain yang harus Mas selesaikan. Dik, tolong putar lagu Jealous Guy, ya! Eh, kok malah ngasih bocoran, ya? Afwan. Syukron.

Salam
Rahadi


Aku segera melipat kembali kertas wangi berwarna hijau muda tadi. Kemudian kumasukkan kembali ke amplop. Ah, memang eksentrik makhluk satu ini. Kaset The Beatles segera kuputar. Dan sesuai dengan pesanan dalam surat, aku lebih dulu memutar lagu Jealous Guy. Diary. aku perhatikan bait demi bait dalam syair lagu itu , sampai pada kata-kata begini.: I did’nt mean to hurt you, I’m sorry that I made you cry. I did’nt want to hurt you, I’m just a jealous guy.

Diary, akhirnya aku ketawa sendiri dengar lagu itu. Ternyata Mas Rahadi itu jealousy juga orangnya, ya? Ah, ada-ada saja. Tapi benar juga sih. Kadang kala aku pun berpikir hal yang sama (hi..hi..hi..).

Aduh, diary. Aku kembali “perang” dengan mama dan papa. Hal yang selama ini tak pernah kuinginkan itu terjadi lagi. Sebenarnya, papa sangat menyayangi aku. Malah perhatiannya itu boleh dikatakan sangat berbeda bila dibandingkan dengan sikapnya kepada kakak-kakak dan adikku. Aneh memang. Tapi itulah faktanya. Sehingga membuat aku selalu tak pernah ingin menyakiti hatinya. Pernah suatu ketika aku minta sama papa supaya beliau membiaya kuliahku. Ia manut saja, bahkan bersedia mengeluarkan biaya berapapun. Tapi, karena berbagai alasan, akhirnya terpaksa mengubur keinginanku untuk kuliah. Karena aku pikir kondisi keuangan keluarga tak memungkinkan. Meski papa tetap semangat.

Seminggu menjelang Idul Fitri.

Diary, aku baru saja bilang sama papa, bahwa hubunganku dengan Mas Rahadi nggak mungkin kalau harus kandas begitu saja. Jangan sampai cinta suciku terganjal sebuah keinginan orang tua yang senantiasa mengusung prestise. Aku malu. Betul-betul aku malu, diary. Gimana nggak, itu kan hal-hal yang seharusnya tak perlu terjadi pada sebuah keluarga aktivis sepertiku. Aku hampir saja putus asa, bahkan patah arang, kalau saja aku tak punya keimanan. Untung Mas Rahadi selalu membantuku menyelesaikan masalah-masalah yang aku hadapi. Aku terkesan dengan omongannya, bahwa manusia hidup itu senantiasa memiliki masalah. Meski dalam kadar yang berbeda tiap individu tersebut.

Diary, tahu nggak yang aku bilang sama papa? Kata-kataku itu membuat papa mengamuk hebat dan bahkan memaki-maki aku. Habisnya aku kesal. Papa selalu berlindung di balik pernyataan sayang. Dia bilang, aku adalah anak yang paling disayanginya. Tapi faktanya, ternyata aku malah menderita dengan sikapnya yang sebenarnya menurutku egois. Papa hanya mencintai dirinya sendiri. Terbukti ketika aku memohon untuk meluluskan permintaanku untuk menikah dengan Mas Rahadi, beliau menolaknya dengan berbagai alasan. Saking kesalnya, aku bilang begini sama papa, “Pa, Nuri tahu kalau Papa memang sangat menyayangi Nuri. Menyayangi lebih dari saudara yang lain. Entah atas dasar apa papa menyayangi Nuri. Apa karena Nuri anak baik-baik? Nuri masih meragukan.”

Diary, Papa begitu marah. Terlihat wajahnya merah menyala. Tapi ia hanya diam. Diam menahan amarah. Mungkin juga dilematis, karena ternyata justru anak kesayangannya yang berkata seperti itu. Kata-kata yang sepertinya menikam tepat di nyawanya.

Aku bilang lagi, “Kalau memang Papa benar-benar menyayangi Nuri, coba tunjukkan rasa kasih sayang itu dengan nyata. Papa sedih nggak kalau Nuri menderita? Pasti sedih kan, kalau memang benar-benar menyayangi. Nah, Papa harus tahu, justru Nuri sedih dengan sikap Papa seperti itu. Nuri menderita. Sepertinya Papa sayang sama Nuri hanya sebagai lipstik saja karena sebenarnya Papa lebih cinta pada diri papa sendiri. Papa lebih sayang sama diri Papa sendiri. Mungkin Papa takut kehilangan muka bila Nuri harus menjadi pendamping Mas Rahadi. Iya, Pa? Iya kan Pa? Atau.. karena Papa terlalu sayang sama Nuri, sehingga Papa khawatir bila ada orang lain yang mau menyayangi Nuri, mau membimbing Nuri merebut hak Papa dalam menyayangi Nuri? Benar nggak, Pa? Bila demikian, Nuri sama sekali nggak nyangka kalau ternyata di jaman yang serba modern ini masih hidup orang-orang kuno seperti Papa. Dan....”

“Diam!” suara Papa menghentikan ocehanku, diary. Aku takut melihat mata Papa yang melotot ke arahku.

“Pa..” aku mencoba meneruskan meski agak takut.

“Plak!’ pukulan tangan kanan Papa tepat mengenai pipi kiriku, diary. Diary. aku meringis dan menangis. Menangis karena ternyata yang memukul adalah papaku sendiri, yang katanya sangat menyayangi. Aku jadi nggak percaya sama papa.

Diary, aku berlari menuju kamarku. Aku tahu papa kelihatannya menyesal. Namun aku berusaha untuk tetap mengunci diri di kamar. Diary, papa mengetuk-ngetuk pintu sambil memohon maaf. Tapi aku tetap tak mau membuka pintu. Bahkan semakin membenamkan mukaku ke bantal. Kutumpahkan semua kekecewaan ini. Pokoknya kecewa berat.

Diary, hari ini hari bahagia. Idul Fitri. Aku masih trauma dengan kejadian beberapa hari lalu yang tentu saja menimbulkan kekakuan hubunganku dengan papa. Hambar.

Mama memang cenderung tak mau tahu dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Apalagi memang mama sangat nggak peduli sama aku. Hanya karena gara-gara aku menyukai Mas Rahadi. Yang mungkin menurut Mama adalah salah. Yang bisa dikatakan itu adalah kesalahan berat. Ibarat pemain sepak bola. Aku kayaknya sudah melakukan pelanggaran keras, hingga berhak menerima kartu merah. Ah, aku sendiri jadi serba salah. Siapa sebenarnya yang salah, aku ataukah mereka, atau malah Mas Rahadi? Otakku berputar keras bagai sebuah hardi disk komputer yang harus memproses file ukuran raksasa.

Diary, hari bahagia yang seharusnya menjadi hari kasih sayang dalam keluarga, ternyata bagiku tak beda dengan masa-masa sulit yang biasa aku terima sejak aku memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ah, entahlah diary. Aku kok seperti kehilangan semangat hidup. Gairah hidupku lenyap begitu saja ketika aku harus menghadapi semuanya sendirian. Aku gamang. Meski belakangan aku ceritakan juga masalah ini kepada Mas Rahadi. Ajaib, Mas Rahadi mau ngerti soal ini. Ia malah memberikan pemecahan yang terus terang saja menerbitkan sebuah harapan. Tidak saja itu, ia mampu memberikan semangat kepadaku untuk tetap hidup dan berdakwah. Ah, memang lain Mas Rahadi ini. Tapi sayang, hati papa dan mama masih sulit untuk diluluhkan. Hati mereka masih tegar kokoh dengan segala keinginannya yang hampir menenggelamkan harapan-harapanku, juga harapan kakak-kakakku. Ah, papa dan mama memang egois, diary. Betul-betul egois. Aku jadi iri dengan beberapa orang tua sohibku. Mereka kok kayaknya bijaksana banget dengan keinginan-keinginan anaknya. Keinginan yang wajar tentunya. Ah, semoga papa dan mamaku demikian pula. Aku berharap semoga papa dan mama menyadari kekeliruannya selama ini. Aku tetap menghormati mereka, meski tak semua keinginannya aku penuhi, terutama keinginan-keinginan tak wajarnya. Seperti mempersulit aku untuk menikah dengan Mas Rahadi.

Diary, kalau memang papa dan mama sayang sama aku, tentu sudah sejak lama ia memberikan harapan terhadap keinginan-keinginanku. Papa dan mama memang egois, diary. Kayak mereka nggak pernah muda aja, ya?

Diary, aku capek mengikuti kemauan mereka yang aneh-aneh dan tak masuk akal. Tapi suatu saat aku harus mampu membuat mereka berpikir, bahwa sebenarnya akupun bisa berbuat banyak untuk urusan ini. Kenapa aku cenderung nrimo akhir-akhir ini, itu karena aku ingin menunjukkan sikap hormatku pada mereka. Namun, kelihatannya sikap lemahku itu hanya membuat papa dan mama merasa ada di atas angin. Merasa menemukan jurus-jurus ampuh untuk memojokkanku. Hingga aku diharapkan tak bisa mengelak lagi dan harus ikut dengan kemauan papa dan mama.

Diary, hari ini aku ulang tahun. Tepat di usiaku yang ke dua puluh dua. Aku bahagia. Tentu saja, karena ini adalah hari bersejarah bagiku. Aku tetap menyalakan sebuah harapan dalam hatiku. Harapan yang senantiasa menjadi obsesiku. Tak ada ucapan atau bingkisan dari papa dan mama. Aku tahu mereka sangat kecewa dengan keputusanku selama ini dalam memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ya, calon, karena papa pernah mengatakan setuju dengan pilihanku, meski dengan syarat. Tiga tahun, baru boleh menikah. Berat memang. Namun aku dan Mas Rahadi tetap berharap waktu itu tak begitu lama. Setahun adalah waku normal yang kuinginkan. Semoga papa dan mama mau mengerti keinginanku. Keinginan yang menurutku adalah wajar, bila kejadian terdahulu yang menimpa kakak-kakak perempuanku tak ingin terulang. Meski aku nggak ingin itu terjadi padaku. Tapi mungkin dalam bentuk lain.

Ya, kalau memang papa dan mama sayang sama Nuri, diary. Mereka pasti sudah menyambut kehadiran Mas Rahadi sebagai menantunya. Ya, mungkinkah itu terjadi? Setidaknya itulah harapanku, diary. Kira-kira menurutmu, diary, papa dan mama akan meluluskan keinginanku nggak? Kalau nggak, aku sangat kecewa sama mereka. Dan aku tetap menderita atas sikapnya yang sok menyayangi aku. Ya, kadangkala sebagai anak, aku harus menerima perlakuan yang tak wajar. Papa dan mama selalu berlindung di balik alasan "demi kebahagiaan kamu”. Seolah kalimat itu dijadikan tameng untuk menentramkan pikiranku. Yang sebenarnya justru membuatku semakin gelisah dan menderita.

Diary, Mas Rahadi hari ini datang menemuiku dan mengucapkan selamat ulang tahun dalam bentuk lain. Aku merasakan ini adalah ekpresi kasih sayang Mas Rahadi padaku. Tentu aku bahagia. Karena belum pernah ada seorang lelaki yang memberikan ucapan itu sebelumnya di hari bahagiaku.

Diary, aku cukupkan sampai sini dulu ya. Yang jelas harapanku tetap besar untuk menjadi pendamping hidup Mas Rahadi. Siapa tahu catatan ini nanti bisa dibaca sama papa dan mama. Moga-moga juga mereka mau ngerti penderitaan dan keinginan-keinginanku. Semoga, ya diary?


TAMMAT


Buat seseorang, semoga tetap tabah dan sabar.
Firman Allah Swt.: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (TQS al-Baqarah [2]: 153)


Tidak ada komentar:

Wassalaamu'alaikum