Selasa, 07 Oktober 2008

Perkawinan Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc, MA

Kita melihat di kehidupan alam semesta ini pasti mempunyai pasangan. Ada jantan, ada betina. Ada gelap, ada terang. Ada hidup dan ada mati. Bahkan sesuatu yang dulu belum kita ketahui ternyata berpasangan. Contohnya di dalam atom, ternyata ada electron yang berpasangan dengan proton. Yang tidak memiliki pasangan hanyalah Allah swt.

Manusia pun diberi pasangan oleh Allah. Karena itu, berpasangan adalah sunnah kehidupan. Karena itu, Allah menganjurkan bagi yang mampu untuk nikah dan kawin.

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…” (QS.24:32).

Namun apabila kita tidak mampu, kita dianjurkan oleh Allah untuk menunda perkawinan.

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. 24:33).

Judul diatas Perkawinan adalah yang dimaksud sebenarnya adalah berpasang-pasangan karena diambil dari kata Zawaj yang artinya berpasang-pasangan.

Mengapa manusia harus kawin?

Pada dasarnya manusia tidak senang dengan kesendirian, dia membutuhkan teman untuk mencurahkan isi hatinya, dengan ngobrol, bercanda dan menumpahkan cintanya pada orang yang disayanginya.

Perkawinan atau berpasang-pasangannya alam termasuk binatang berbeda dengan perkawinan antar manusia. Hal itu dikarenakan jika binatang kawin maka anak hasil perkawinannya bisa langsung mandiri, sedangkan manusia tidak. Karena itulah maka syarat-syarat untuk perkawinan dituntun oleh agama agar dapat diikuti oleh manusia sehingga fungsi-fungsi kehidupan manusia dapat berjalan dengan baik.

Syarat-syarat perkawinan adalah :

Allah menetapkan siapa yang boleh dikawini dan siapa juga yang tidak boleh dikawini.

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS.4:22)

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 4:23).

“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” (QS. 4:24).

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. 2:221)

Jangan pula kita melamar seorang wanita yang sedang dilamar oleh orang lain, begitu pesan Nabi.

1. Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan
2. Ada Wali
3. Ada Saksi 2 orang cukup
4. Ada Mahar atau mas kawin.

Nah jika syarat-syarat diatas memenuhi maka nikah sudah menjadi sah. Kita kadang terlalu mensakralkan berlebihan terhadap perkawinan pada tempat yang salah, sehingga perkawinan harus ada pesta dan aturan-aturan yang menjelimet. Tapi agama pun tidak melarang jika harus diadakan itu (aturan-aturan tambahan dari adat setempat dan sebagainya) jika sanggup, tapi jika tidak mampu maka syarat-syarat tadi sudah halal jika ijab qabul terlaksana, tidak perlu ada bacaan-bacaan Quran dan sebagainya, cukup ijab qabul, dah selesai. Kemudian agar dapat tercatat di kenegaraan kita, kita ikuti aturan pemerintah tersebut yaitu mencatat perkawinan kita di KUA untuk pendataan.

“Kebaikan itu hendaknya jangan ditunda-tunda, tapi disegerakan”. Jadi jika memang sudah sanggup diantara kedua pasangan untuk menikah maka disegerakan, jangan menunggu kaya dulu.

Tujuan perkawinan bukan hanya untuk kebutuhan seks semata, tapi tujuan perkawinan yang sesungguhnya adalah sakinah (ketenangan) untuk kita manusia.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari diri kamu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS.30:21)

Kita lihat ayat diatas. Allah mengatakan Dia telah menciptakan untukmu isteri-isteri dari diri kamu. Apa maknanya? Maknanya adalah pasangan kita sesungguhnya adalah diri kita. Maukah kita merugikan diri Anda sendiri dalam arti merugikan pasangan Anda? Maukah Anda menyakiti diri sendiri artinya menyakiti pasangan Anda yang merupakan diri Anda sendiri? Pasangan kita adalah diri kita. Apabila kita menginginkan sesuatu maka sebelum kita mengucapkan, suami/isteri kita sudah dapat menebaknya dengan tepat apa yang kita inginkan, karena dia adalah diri kita. Begitu juga sebaliknya karena kita juga adalah dirinya. Semakin terjadi persesuaian suami-isteri, akan semakin bahagia mereka.

Untuk itu, dalam memilih pasangan, perlu ada kesetaraan, baik kesetaraan dalam beragama, kesetaraan dalam konsep hidup, pandangan hidup, kesetaraan dalam berfikir, kesetaraan dalam kedudukan. Nabipun menganjurkan “Lihatlah wanita itu sebelum kamu nikahi”. Nabi mengatakan seperti itu dengan maksud untuk melanggengkan perkawinan yang akan terjadi.

Berkaitan dengan kesetaraan dalam pandangan hidup dan kesetaraan dalam agama, maka tidak dianjurkan kawin antar agama. Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda ini, dilatarbelakangi oleh keinginan menciptakan “sakinah” dalam keluarga yang merupakan tujuan perkawinan. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan isteri. Jangankah perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman dan kegagalan perkawinan.

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman.” (QS. 2:221).

Kecuali seorang laki-laki muslim diperbolehkan untuk menikahi wanita terhormat dari ahlul kitab (nasrani), wanita terhormat bukan wanita sembarang dari ahlul kitab. Dan tidak berlaku jika wanita-wanita mu’min menikah dengan laki-laki ahlul kitab (nasrani), haram hukumnya.

“(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita muhsonat di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS.5:5).

Muhsonat dalam ayat tersebut adalah wanita terhormat, bukan wanita sembarang dari ahli kitab.

Mengapa demikian aturannya? Karena Allah menghendaki perkawinan kita langgeng, tidak hanya di dunia ini saja tapi sampai akhirat.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari diri kamu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah.” (QS.30:21).

Coba kita perhatikan lagi arti ayat diatas. Mawaddah itu bukan berarti hanya cinta. Cinta mengenal arti ‘putus’, tapi mawaddah tidak mengenal arti putus. Cinta bisa putus, tapi mawaddah tidak. Apa sebenarnya arti Mawaddah?

Mawaddah mempunyai arti dasar yang berarti kosong. Kosong hati kita dari memori kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh pasangan kita. Suami/isteri harus sadar kalau suami/isteri bisa melakukan kesalahan yang lebih besar dari pasangannya, karena itu kosongkanlah hati dari memori kesalahan pasangan Anda.

Karena itu, selama ada mawaddah di hati berdua, tidak ada kata cerai. Allah menutup serapat-rapatnya celah untuk terjadinya perceraian, karena Allah tidak menghendaki hal itu. Seharusnya tidak ada lagi celah untuk melegitimasi adanya perceraian yang diperbolehkan.

Kata Nabi, perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzha), tidak ada ikatan kuat antar manusia sekuat perkawinan atau berpasangan.

Kalaupun tidak ada mawaddah lagi, maka perlu ditanya apakah masih ada rasa rahmah (kasih sayang) pada isteri/suaminya. Kalaupun rasa rahmah juga tidak ada lagi, bagaimana dengan amanah? masih adakah amanah di hati tiap-tiap pasangan tersebut.

Amanah termasuk didalamnya adalah anak-anak, tapi juga termasuk aib dari masing-masing pasangan. Seorang isteri rela untuk menunjukkan perhiasannya kepada suaminya itu adalah sebuah amanah.

Begitulah ketika ada seseorang yang akan menceraikan istrinya, maka Umar bin Khattab bertanya kepadanya, apakah dia sudah tidak mempunyai rasa mawaddah kepadanya? Dijawab dengan tidak oleh orang tersebut. Lalu Umar bertanya kembali, apakah dia memang sudah tidak rahmah (sayang) lagi kepada isterinya? Dijawab dengan tidak kembali oleh orang tersebut. Lalu Umarpun kembali bertanya? Bagaimana dengan amanah yang sudah dia berikan kepadamu dan kamupun memberikan amanah kepadanya?

Di sini sangat menekankan Allah sangat tidak menyukai kepada perceraian, segala celah alasan untuk terjadinya perceraian ditutup rapat.

“bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(QS.4:19).

Sabda Nabi pula kurang lebih demikian : “Bertakwalah kepada Allah terhadap perempuan-perempuan, yang ditanganmu terdapat keputusan untuk menceraikan mereka. Kamu kawinkan mereka dengan kalimat-kalimat Allah dan menjadi halal hubungan kamu dengan mereka atas kalimat-kalimat Allah”.

Apa kalimat Allah itu? Kalimat Allah itu hanya digunakan dalam Al-Quran hanya untuk dua hal, Nikah dan Zawaj (Perkawinan, tapi arti yang lebih dekat adalah berpasang-pasangan). Kalimat Allah adalah kalimat-kalimat yang mengandung kejujuran dan adil.

Allah mengatakan bahwa Dia tidak akan mengubah kalimat-kalimatNya. Nah seharusnya manusia yang menikah dan berpasang-pasangan jika menikah itu atas kalimat-kalimat Allah tentunya mereka tidak akan mengubah-ubah. Perceraian adalah mengubah-ubah kalimat Allah. Tidak bisa diubah kalau pernikahan dan perkawinan itu terjadi dengan kalimat-kalimat Allah.

“Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.” (QS.10:64).

Berpasangan itu harus ada bedanya, misal sepatu kanan harus berbeda dengan sepatu kiri agar bisa digunakan. Tajam dan kuatnya jarum harus diimbangi dengan lemahnya kain agar dapat digunakan dan dibuat menjadi baju. Seandainya jarum yang tajam dan kuat tidak diimbangi dengan kain yang lemah tapi dengan kain yang keras seperti tembok, maka kita tidak bisa membuat baju. Begitu juga dengan kehidupan manusia, antara suami dan isteri, kalau dua-duanya ingin mempunyai peran menjadi bapak maka perkawinan tidak akan langgeng.

Apakah lemahnya kain menandakan rendahnya derajat kain ? Tidak. Itu merupakan fenomena kesetaraan, karena kuatnya jarum jika dia sendirian, tidak ada kain maka tidak akan ada baju yang jadi. Karena itu, manusia yang sendirian maka banyak sesuatu yang belum optimal atau dapat terwujud.

Subhanallah, Allah telah menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan, banyak hikmah yang dapat kita renungkan.

Kawin atau berpasang-pasangan sesungguhnya adalah kita menyatukan jiwa, pikiran, perasaan dan jasmani kepada pasangan kita. Kita satukan semua yang ada dalam diri kita dengan pasangan kita tersebut.

NB :
Tidak mengapa dalam memilih pasangan, perempuan yang mengidolakan ayahnya mencari calon yang mempunyai karakter seperti bapaknya, begitu juga sebaliknya, laki-laki yang mengidolakan ibunya mencari calon yang mirip dengan karakter ibunya.


Metro TV, 22 Agustus 2004, 14.00 – 15.00 WIB
Publikasi: 23/08/2004

Tidak ada komentar:

Wassalaamu'alaikum