Rabu, 08 Oktober 2008

Buah Berpacaran Oleh : Abang Eddy Adriansyah

Istilah ‘pacaran’ dapat didefinisikan sebagai interaksi intensif antara pria dan wanita yang didasari komitmen perasaan suka atau mencintai, tanpa perlu disahkan lewat satu momentum pernikahan. Seperti lazimnya sebuah interaksi, kegiatan tersebut meninggalkan suatu dampak.

Merunut banyak konsep lain yang bertentangan dengan syari’at Allah 'Azza Wa Jalla - yang melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an maupun utusan-Nya Muhammad SAW telah mengingatkan akan bahaya berduaan antara lawan jenis yang bukan muhrim di tempat yang sepi, serta peringatan untuk kita agar tidak mendekati zina-, maka aktivitas tersebut, ujung-ujungnya seringkali berbuah kesengsaraan terhadap pribadi-pribadi yang terlibat. Beragam fakta telah menjelaskan betapa aktivitas ‘Pacaran’ mengandung kemudharatan yang besar.

Di berbagai media massa atau barangkali juga di sekitar lingkungan tempat kita tinggal maupun bekerja, kita sering menyimak peristiwa-peristiwa tragis yang disebabkan oleh hubungan bebas antara dua insan lain jenis yang memadu kasihnya di luar koridor syari’at. Maraknya aborsi, pembuangan bayi ataupun kisah seorang gadis yang bunuh diri akibat dinodai lalu ditinggal pergi, merupakan fakta dan realita yang bisa memaparkan betapa buruknya dampak interaksi intensif pria-wanita di luar pengesahan lembaga pernikahan. Anehnya, para remaja seolah-olah menganggap kegiatan tabu tersebut sebagai hal lumrah dan sesuatu yang wajar diecap dalam pergaulan masa-masa pubertas, meski jelas-jelas fakta menunjukkan bahwa hal tersebut bisa mengandaskan masa depan mereka. Banyak remaja justru merasa minder dan terhina seandainya ia tidak pernah melewati fase berpacaran, terutama saat mereka masih duduk di bangku sekolah bahkan ketika tengah belajar di perguruan tinggi. Mereka malah berusaha keras dengan mengorbankan waktu belajar, tenaga, bahkan uang yang masih berupa suplai dari kedua orang tua, hanya untuk menarik perhatian seseorang yang dikiranya pantas dijadikan kekasih.

Budaya berpacaran di kalangan remaja, berkembang atas pengaruh dari berbagai kultur watak yang mudah merasuk dan cenderung diadopsi begitu saja oleh kaum remaja. Kultur wadak tersebut dikemas secara menarik dalam film-film bertemakan percintaan, lagu-lagu cinta yang berlirik pujian, pengharapan atau keputus-asaan karena buaian cinta seorang kekasih. Film telah mengilhami bagaimana hubungan kedua insan berlainan jenis dijalin melalui ruang-ruang falsafi yang indah. Tidak cukup dengan pendekatan filosofis saja, film-film populer dengan tema percintaan menyuguhkan pula adegan kontak fisik, mulai dari ‘hanya’ saling menggenggam tangan, berpelukan, berciuman sampai kontak fisik layaknya suami-istri. Visualisasi dari film-film tersebut telah menghadirkan lukisan indah di benak para remaja, serta membangkitkan hasrat naluri yang mereka punyai. Tetapi, karena belum cukup secara umur dan materi, akhirnya mereka yang terpengaruh, lebih suka memenuhi kebutuhan psikis dan biologisnya dengan cara berpacaran. Padahal, sarana tersebut tidak lain hanyalah sebuah wadah tipuan setan, yang selalu tampak wajar dan juga seringkali teramat manis dipandang.

Sepantasnya manusia percaya bahwa pilihan Allah swt pasti merupakan pilihan yang terbaik. Jika merasa diri belum cukup mampu untuk menikah, tak perlu menyalurkan hasrat naluriahnya ke dalam sebuah jalinan aktivitas berpacaran. Karena jodoh di tangan Allah, seseorang yang kita pacari, bisa jadi bukanlah jodoh kita yang sejati meskipun kita sama-sama berjanji untuk menikah di suatu hari nanti. Banyak pasangan yang berpacaran sampai bertahun-tahun akhirnya malah berpisah, tidak saling menikah. Bayangkan jika kita termasuk orang yang ditakdirkan mengalaminya. Betapa meruginya kita, jika perhatian, harta, bahkan mungkin penyerahan secara fisik telah kita lakukan, namun semuanya seakan tak berarti ketika ‘si dia’ pergi begitu saja. Sudah barang tentu, suami atau istri yang ditakdirkan menjadi jodoh kita tak akan bisa menempati posisi person yang istimewa. Bahkan pada beberapa kasus, perasaan cemburu dan perasaan tidak istimewa tersebut, seringkali efektif meretakkan keharmonisan sebuah keluarga. Sehingga cita-cita rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, yang merupakan perwujudan dari ‘surga dunia’, tak akan pernah kita rasakan sempurna.

Karena buah pahit dari berpacaran secara faktual dan realita membawa kesengsaraan di masa sekarang dan masa kehidupan yang akan datang, maka seharusnyalah kaum pemuda-pemudi Islam tidak melakukan interaksi intensif yang disebut ‘pacaran’ tadi. Lebih baik kegiatan mereka dialihkan pada berbagai aktivitas merawat fisik, memperindah hati, menekunkan ikhtiar, selagi belum ditakdirkan Allah swt mendapatkan jodoh. Dengan usaha yang optimal dan istiqomah secara moril dan materil, maka Allah pasti memberikan pasangan yang terbaik, yaitu seseorang yang dapat menjalin kasih dan tempat kita mempersembahkan keutuhan diri, karena itulah janji yang termaktub dalam firman-Nya. Kemesraan akan hadir dengan segala keindahannya, karena dua orang yang taat menjaga kesucian, akan sama-sama merasa istimewa dihadapan pasangannya. Itulah makna hakiki dari hubungan cinta antara seorang lelaki dan seorang wanita yang diberkahi oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Yang telah Ia jadikan pula sebagai salah satu jalan utama untuk mencapai ridha dan cinta-Nya.


Tidak ada komentar:

Wassalaamu'alaikum