Jumat, 10 Oktober 2008

Nasi Tempe Oleh : Sri Lestari

Aku tidak tahu bagaimana mesti menolak ketika ibu memasukkan sebungkus nasi dengan lauk kering tempe kedalam tasku. Diselipkan begitu saja diantara pakaian, beberapa majalah serta buku yang sengaja kubawa sebagai teman di perjalanan.

Ibu tak pernah berubah. Dari aku kecil sampai kini berusia seperempat abad, masih saja khawatir kalau aku akan kelaparan di jalan. Padahal sepanjang rute perjalanan Trenggalek- Jakarta aku bisa membeli makan dimana saja dengan gampang. Toh, pihak bis menyediakan jatah makan malam serta snack dan beberapa kali pula bis yang kutumpangi akan berhenti untuk istirahat.

“Ibu tak suka kamu dijejali dengan makanan-makanan bis yang asal jadi dan tak higienis. Lebih baik makan nasi tempe daripada makanan instant yang bikin otak kamu ndak encer mikir. Bikin ide-idemu terpasung dan omongan yang keluar dari mulut serba praktis.”

Duh Ibu, selalu saja begitu. Omongan bernada morilnya muncul. Aku memang gemar makan nasi tempe sejak balita. Namun ingin praktis saja. Masa sudah jadi wanita karir dengan gaji yang lumayan, masih juga bawa-bawa bekal nasi tempe dibungkus daun. Tengsin juga.

“Kalau tak kamu makan di bis, makanlah sesampai di Jakarta. Dijamin tak akan basi. Nasinya tanak betul dan kering tempenya tak pakai santan. Daripada kamu sibuk mencari sarapan dan waktumu tak mencukupi. Bukankah hidup di Jakarta harus pandai membagi waktu? Pagi untuk beribadah dan bekerja, siang untuk berbagi rasa dengan teman-teman, dan malam untuk beristirahat. Gunakan tiga waktu itu seoptimal mungkin, Nduk. Jangan terjebak rutinitas melelahkan dan melupakan tujuan hidupmu sesungguhnya.”

Aku mengiyakan nasehat ibu sambil menyantap makan siangku dengan lauk tempe bacem. Ibu beberapa kali menyuruhku untuk menambah porsi makan, namun aku menolak dengan halus. Kulirik, ibu memasukkan beberapa potong tempe bacem kedalam kantong plastik dan kembali mencari sela-sela kosong dalam tasku. Aku hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum kecut.

Ibu mengantarkan aku sampai terminal Tulungagung. Sebelum berangkat beliau berpesan.

“Meski di kota besar, hiduplah seperti tempe. Sederhana, bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan bermanfaat. Jangan mematok tarif terlalu tinggi, kamu akan hancur. Jadilah tempe yang bisa diolah menjadi apa saja dengan banyak rasa. Karena manusia yang kamu hadapi bukan hanya satu, melainkan jutaan dan bermacam pula.”

“Terimakasih Bu, aku akan menjadi yang terbaik dan bermanfaat untuk orang lain. Insya Allah.”

Kucium tangan lembutnya dan kupeluk kasih sayangnya. Saat bis mulai dinyalakan mesinnya, kubisikkan sesuatu, “ Ibu, rute kasihmu lebih panjang melebihi rute perjalananku Trenggalek-Jakarta bahkan rute seluruh kehidupanku.”

Seiring bis yang berjalan meninggalkan terminal Tulungagung, aku melihat bongkahan kaca dimata ibu menetes perlahan.

Tidak ada komentar:

Wassalaamu'alaikum