Dalam ajaran kerohanian Islam, hati diibaratkan cermin. Sebagai cermin, hati adalah alat untuk mengenali diri sendiri. Seperti halnya cermin, hati ada dua macam: ada yang bersih dan terang serta ada pula yang kotor dan gelap. Menurut Imam Ghazali, kualitas hati, bersih atau kotor, terang atau gelap, sangat bergantung dan ditentukan oleh perilaku manusia itu sendiri.
Dikatakan, jika ia cinta agama dan suka berbuat kebajikan, maka hatinya bersih dan terang. Semakin ia suka berbuat kebaikan, hatinya semakin terang dan bertambah terang, bahkan berkilau-kilau (yatala'la'). Dalam keadaan demikian, hati dapat menangkap dengan baik sinyal-sinyal ketuhanan (Tajalliyyat al-Ilahiyyah) dan dapat mencapai ma'rifah dengan sempurna.
Sebaliknya, bila ia suka berbuat dosa dan keburukan, maka hatinya buram dan gelap. Dosa-dosa itu ibarat kepulan asap yang menghitam dan menutupi hati. Setiap kali orang berbuat dosa, maka timbul noktah hitam di hatinya. Semakin sering ia berbuat dosa, maka semakin banyak pula noktah hitam sampai akhirnya menutupi seluruh hatinya. Dalam keadaan demikian hati menjadi hitam pekat dan gelap.
Inilah kegelapan hati lantaran dosa-dosa yang dalam Alquran dinamakan rin. Firman Allah SWT, ''Sekali-kali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.'' (Al-Muthaffifin: 14). Apa yang dimaksud dengan rin dalam ayat di atas tak lain adalah dosa-dosa. Jadi, rin adalah dosa-dosa yang dilakukan secara terus-menerus sehingga membuat hati menjadi gelap dan mati.
Menurut pakar tafsir al-Razi, penutup hati ada tiga tingkatan. Pertama, rin, yaitu dosa-dosa seperti disebutkan di atas. Kedua, thab-'i, yaitu watak yang terjadi karena rin. Jelasnya, kalau dosa-dosa terus dilakukan, maka hal itu menjadi kebiasaan dan akan berkembang menjadi watak. Dan inilah yang dinamakan thab-'i. Ketiga, iqfal, yaitu hati menjadi terkunci mati. Ini berarti, thab-'i lebih berat dari rin, dan iqfal lebih berat lagi dari thab-'i.
Pada tingkat yang terakhir ini, hati tidak saja gelap, tetapi benar-benar tertutup rapat. Dalam keadaan demikian, hati tidak dapat menerima kebenaran dan petunjuk Allah. Bahkan, ia benci dan alergi dengan agama dan nasihat. Inilah makna firman Allah, ''Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.'' (Al-Baqarah: 6).
Sebagai cermin diri, hati perlu dibersihkan dari dosa-dosa dengan tobat. Tobat membuat hati menjadi bersih dan terang kembali, meskipun tidak seterang hati orang yang selalu menjaga diri dari dosa-dosa dan maksiat. Selanjutnya, hati perlu banyak berdzikir dan mengingat Allah. Bagi kaum sufi, dzikir adalah pintu ma'rifah, sedangkan ma'rifah adalah pintu kebahagiaan. Semoga kita masih punya waktu untuk becermin dan membersihkan cermin kita, sehingga kita bisa mengenali dengan baik kerut-kerut dan borok-borok yang ada di ''wajah'' kita. Wallahu a'lam.
Selasa, 14 Oktober 2008
Cermin Diri Publikasi : 11 Juni 2005 Oleh : A Ilyas Ismail
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar