Selasa, 07 Oktober 2008

Gelora Cinta Seorang Gadis

Seusai memberi salam hatiku tak tertahan lagi. kemudian aku bangkit, meninggalkan antara shaf. Aku melangkah tergesa, segera meninggalkan musholla yang dingin dan damai, tak seperti hatiku yang bergelora panas. Suara zikir yang mengganggu naluriku semakin sayup kedengaran. Air mataku tumpah deras. Kututup bibir, tertahan-tahan sendu yang bisa saja menarik perhatian. Langkahku terus mantap menuju kamar. Aku sandarkan punggung di kursi. Aku menangis sepuas hati. Untung saja teman-teman sekamar tidak ada, jika tidak banyak pula persoalannya. kerudung putihku basah dengan air mata. Aku benar-benar bagai di siksa walau tiada kelihatan segaris pun luka. Entah berapa lama, tangisku mulai reda. Ku ucap istighfar berulangkali, di bibir dan di hati. Segera ku kesat wajah berbekas air mata. Ku pandang jam dinding menunjukkan angka delapan. Kubaca istighfar dan ta’awudz silih erganti. Ya Allah, ampunkanlah hamba-Mu yang dhaif dan hina ini kerana terlalu mengikut hati dan
perasaan. Hati ku terus memohon keampunan atas keterlanjuran yang pasti tipu daya syaitan. Aku lepaskan kerudung dari badan. kemudian menuju kamar mandi untuk berwudhu. Aku perlu memperbaharui sholat maghrib yang tidak sempurna khusyuk angkara debaran dada yang mengganggu. Entah sejak kali pertama. Ada keanehan mengalir dalam diri bila berhadapan dengannya. Wajah redupnya menarik pandangan dan lembut tutur katanya mempesona pendengaran. Pikiran jadi kacau. Jiwa dirantai sejuta perasaan.Memandangnya walau sekilas bagai satu mukjizat. Suara, perwatakan bahkan langkah yang diatur membuat tiap pancaindera terpaku. Diriku terus-menerus diburu gambaran wajahnya. Hati tak berhenti mengingat namanya.
Subhanallah, apakah yang melanda diriku?
Apakah ini namanya cinta?
Bagaimana caranya untuk ku menanganinya?
Ya Allah, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini, berikanlah petunjuk dan hidayah-Mu. Aku tak pernah mengenal cinta selain cinta Ilahi. Bisikan Umi sejak dalam rahim. Ajaran Abi dari usia satu hari. Tiba-tiba perasaan ini hadir menggugah cinta didikan Abi dan Umi. Salahkah perasaan ini?
Aku dibelenggu pertanyaan. Terus dalam keraguan. Perlukah cinta ini dipertahankan?
Apakah itu bermakna aku berpaling dari cinta-Nya, mengkhianat dan berdusta?
‘Perasaan cinta itu memang fitrah, fitrah manusia yang telah ditentukan Allah s.w.t. seperti firman Allah dalam Surah Asy-Syams, ayat 8 hingga 10, yang bermaksud ‘maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu jalan kefasikan dan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya’. Jelas di sini fitrah yang ditetapkan Allah dalam diri manusia yang terbagi kepada dua jalan yang perlu dipilih, kefasikan atau ketakwaan,’
Suara Ustaz Rizal bergema di ingatan. Ustaz muda itu memang sentiasa menarik pendengaran pelajar dengan intonasi suara yang berbeda dan kiasan bahasa yang unik dalam setiap sesi kuliah maghrib yang kelolaannya. Ceramah yang hampir setahun berlalu disaat aku masih di sekolah sebelum masuk dunia kampus yang penuh pancaroba, seakan-seakan memberiku peringatan. Adakah perasaan ini cinta yang fitrah ada pada setiap remaja yang menginjak dewasa?
Apakah ia jalan ketakwaan? Atau jalan kefasikan?
Mungkinkah keuntungan yang akan ku capai atau kerugian yang bakal ku tanggung?
Persoalan demi soalan menguji hati dan jiwaku. ‘Sesungguhnya kekuatan dalam melawan fitrah ke arah kefasikan menunjukkan kekuatan iman seseorang mukmin. Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda bahwa ‘Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah’. Maka jadilah mukmin yang kuat untuk memperoleh cinta dan kasih-sayang Allah yang Maha Agung,’
suara Ustaz Rizal terus merangsang pemikiranku. Kuatkah aku melawan perasaan?
Membunuh rasa cinta yang semakin mekar berbunga?
Apakah aku lemah andai ku biar ia subur menghuni hati?
Kurangkah cintaTuhanku yang selama ini indah ku kecapi?
Mampukah aku kehilangan cinta hakiki Ilahi demi cinta ini?
Aku diantara dua cinta, dan aku menjadi buntu sama sekali. Memang, aku sangat gemar dengan cerita sufi. Tapi bukan niatku meniru Rabiah Al-Adawiyah. Sungguh aku takjub dengan cinta Siti Zulaikha, dirinya tidak terdetik dihatinya menagih cinta seorang pun jejaka. Namun, sesungguhnya aku mengagumi Siti Maryam, begitu sabar dan tabah walaupun dirinya diuji fitnah yang belum pernah di rasakan oleh gadis mana pun sepanjang zaman dan tempat. Namun, istimewanya dia, dia gadis suci yang wara’ yang yakin dengan janji-janji Tuhannya.
Barangkali ini ujian Tuhan menduga iman hamba-Nya.
Bukankah di dalam Alquran, Allah ada berfirman ‘Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan Kami telah beriman sementara mereka tidak diuji?’( Al-Ankabut ayat 2 ).
Bukankah ujian yang ditimpa Tuhan adalah petunjuk cinta-Nya kepada hamba?
Bukankah setiap kali ditimpa bencana, hamba yang beriman akan meminta dan memohon bantuan-Nya? Bukankah Allah suka mendengar suara rayuan dan rintihan itu?
Allahuakbar, jika benar ini ujian-Mu, berikanlah kekuatan agar aku teguh di atas jalanMu.
Aku tak mungkin menjadi Siti Maryam kerana aku sendiri gagal mempertahankan kesucian hati. Hatiku ternoda dengan kemaksiatan bila terkenang pada sesuatu yang tidak halal bagiku. Hatiku tidak khusyu’ dalam mendamba cinta-Nya kerana dalam waktu yang sama mengharap cinta makhluk-Nya. Ya Allah, kau redakanlah gelora perasaan ini kerana sepertinya aku seakan lemas dalam pukulan ombak ganasnya.
Pernahkah mendengar kisah pemuda yang kelaparan lalu makan apel yang terhanyut di bawa air sungai yang mengalir? Lalu pemuda jujur itu menjejak pemilik buah apel untuk meminta maaf di atas dosa memakan apel tanpa izin, dan dirinya akan menyanggupi apa saja demi menebus kesalahannya itu. Pemilik apel lantas meminta pemuda itu bekerja di ladang apelnya untuk beberapa tahun. Pemuda itu lantas setuju dan bekerja dengan rajin dan amanah. Setelah sampai waktuya, pemilik apel memberikan satu lagi syarat sebelum menghalalkan buah apel yang telah dimakan pemuda itu. Kata pemilik epal ‘Aku mahu engkau menikahi anak perempuanku yang buta matanya, tuli pendengarannya, bisu mulutnya dan cacat anggotanya,’ Pemuda itu tentu saja tergamam dengan permintaan pemilik apeltadi. Tapi kerana sifat jujur dan amanahnya, dia setuju untuk melaksanakan pernikahan itu asal saja apel yang telah dimakannya dulu dihalalkan dan di beri kemaafan pemilik apel. Tentu saja bukan sikap amanah pemuda itu menarik hatiku saat ini kerana sesungguhnya aku cemburu pada anak pemilik apel itu. Bukan karena memiliki calon suami yang soleh dan beriman tapi kerana anak perempuan pemilik apel itu tidak buta, tuli, bisu mahupun cacat bahkan dia gadis sempurna yang sungguh jelita. Cantik luar dan dalam. Pemilik apel tertarik kepada pribadi mulia si pemuda, kemudian dirinya mau menjadikannya suami untuk anak gadisnya yang matanya tak pernah menatap lelaki selain ayahnya, telinganya tak pernah mendengar sesuatu yang dusta, mulutnya tak pernah mengeluarkanbicara yang sia-sia dan anggota tubuhnya tak pernah melakukan maksiat. Aku cemburu dengan kesucian gadis itu. Gadis yang ku kira wajar menjadi idola bagi setiap pencinta kesucian.
Air mataku menitis buat kesekian kali. Terlalu jauh aku dari gadis itu. Terlalu beda aku dibandingkan gadis itu.
Ya Allah, walaupun cuma satu perseratus atau kurang dari itu, kurniakanlah aku kesucian seperti gadis itu.
Ya Allah, aku sedar ya Allah betapa kotornya aku, maka bantulah aku membersihkan diri.
Aku mencari setiap peluang dan ruang membawa aku jauh dari perasaan itu.
Aku
tidak lagi hadir solat berjemaah di musolla demi menghindar dari mendengar kesyahduan
bacaannya mengimami solat-solat fardhu.
hal ini membuat teman-temanku bertanya.
Aku cuma tersenyum, tidak sanggup rasanya mengakui hakikat sebenarnya. Sekadar
menunjukkan hadis Nabi s.a.w. yang berbunyi ‘Sesungguhnya shalat seseorang
wanita itu lebih baik di kamarnya daripada shalat di masjid kaumnya, dan shalat di masjid kaumnya adalah lebih baik dari sholat di masjid berjemaah’. Malah akhirnya aku bertekad untuk tidak lagi menginap di tempat ku menginap semata-mata menjaga pancaindera dari terus mendepaninya.
Walaubagaimanapun dia masih menghiasi hari-hari ku di fakulti. Ada beberapa tugas yang memerlukan kami berkomunikasi. Aku cuba menjadikannya seminimal mungkin. Aku berupaya menjauhkan diri. Tingkahku kadang-kala seperti membenci. Aku tak mahu melukakan hati sesiapa tapi murka Allah lebih perlu ku jaga. Perasaan itu adakala memudar. Tapi kadang-kadang begitu mencengkam sanubari. Aku tegar mendekati Tuhan. Malam-malam ku hiasi dengan pujuk rayu, memohon tanpa henti diberi kekuatan melawan perasaan. Aku makin rajin hanyut dalam kalamullah, Al-Furqan benar-benar penawar hati yang mustajab. Dalam keasyikan menghayati keindahandalam pembacaan, aku jadi leka seketika dari zikir tentangnya. Dzikir yang aku sendiri tak mahu mengungkapnya tapi hadir tanpa rela.
Bila waktu perasaan itu benar-benar menduga, adakala aku mengharap amat dia memulakan langkah pertama. Aku berharap dia juga punya perasaan sepertiku. Aku harap ada hubungan menjalin perasaan itu. Aku harap cinta itu mekar dan saling berpadu. Malahan adakala kutitip dalam doa di kala dinihari. Ada ketika, bila dia melintas di depan mata aku berharap dia berhenti, menatap wajahku dan mengungkap kalimah keramat yang sangat ku rindu. Aku berharap di menggenggam tanganku dan bawa aku melestarikan cinta berdua. Tapi itu cuma harapan. Dia tidak pernah menatapku walau sekilas. Aku juga tak mau begitu. Aku cuma mengharap kerana perasaan itu begitu mendesak. Namun tangisku akan panjang setelah itu. Rasa kesal mendalam kerana cinta Tuhan yang patut ku damba, bekhalwat dengan-Nya yang wajar ku impi, menggapai kasih-Nya yang mesti ku rindu. Betapa hitam hatiku hingga tidak mengenal apa yang utama.
Ya Allah, aku mohon padaMU agar kiranya Engkau hapuskan ingatanku padanya, tak sanggup aku menanggung noda hitam yang begitu memberat di kalbu. Kadang-kala aku resah kenapa dia tidak meluahkan perasaan padaku.
Ketinggian peribadinya yang menjerat perasaanku.
Andai dia salah arah, pasti perasaan ini kian memudar dan akhirnya hilang. Mengapa dia begitu sempurna sebagai manusia?
Ya Allah, benar-benar ciptaan-Mu ini merupakan ujian bagiku, oleh itu aku mohon kekuatan dari-Mu. Lebih empat tahun aku mengekang perasaan. Segalanya telah kulakukan demi
mengekalkan kesucian dalam jiwa. Tinggal saja aku tak sanggup menukar jurusan yang
ku pilih kerana minat mendalam yang tak mungkin ku singkir.
Aku berpegang pada janji Allah. Dalam Surah An-Nur, ayat 26; bermaksud ‘wanita-wanita yang keji diperuntukkan untuk lelaki yang keji. Dan lelaki yang keji diperuntukkan untuk wanita yang keji pula, dan wanita yang baik diperuntukkan bagi lelaki yang baik, dan lelaki yang baik diperuntukkan bagi wanita yang baik pula’. Aku yakin aku akan menemui pemilik tulang rusuk yang darinya aku dicipta. Aku pasti telah tertulis di luh mahfuz namanya. Bukan aku menyerah takdir tapi aku benar-benar yakin kepada-Nya.
Cuma sabda Nabi s.a.w. ‘Apabila seseorang hamba telah berkeluarga, bererti dia telah menyempurnakan separuh daripada agamanya. Maka takutlah kepada Allah terhadap separuh yang lain’. Begitu juga sabda baginda ‘Perkahwinan itu sunnahku. Siapapun yang menolak sunnahku, maka dia bukan dari kalanganku’. Aku mau menyempurnakan agama serta mengikut sunnah Rasulullah s.a.w. Perasaan itu ada pasang-surutnya. Namun tak pernah mati. Aku juga makin mengerti akan makna kehadiran perasaan itu. Perasaan itu sama sekali bagai anugerah kurniaan Ilahi. Ujian yang membawa keteguhan hati dan iman. Tiap kali aku kuat melawan godaan perasaan, semakin mantap keyakinan dan keimananku pada Ilahi.
Sesungguhnya Allah tak pernah menjanjikan jalan yang mudah bagi orang-orang yang beriman tapi Allah berjanji akan sentiasa di sisi menemani perjuangan hamba-hamba-Nya
yang yakin dengan janji-janji-Nya. Masa berlalu cepat. Aku telah meninggalkan perkarangan taman ilmu yang telah banyak menjadi saksi perjuanganku menjaga kesucian hati. Aku tahu aku telah melangkah di dunia luar yang lebih banyak duri merintang.
Ya Allah, tetapkanlah langkahku atas jalan-Mu. “Sesungguhnya aku sudah lama tertawan padamu. Sesungguhnya sudah sekian waktu cintaku bersemi buatmu. Sesungguhnya namamu telah terpahat kukuh dan bertakhta di hati. Tapi demi kesucian hubungan yang ingin aku lestarikan, aku pendam perasaan itu jauh di lubuk hati, aku simpan rapi tanpa sebarang noda. Sesungguhnya memang tekadku menyunting mu sebagai suri hidupku dalam ikatan yang suci. Demi cinta yang ku pelihara kesucian buat sekian lama, demi Tuhan yang menganugerahkan cinta ini, sudikah engkau menerima ku sebagai suami mu?
Lelaki yang harta dan maruahnya adalah amanahmu serta lelaki yang padanya terletak maruah dan syurga mu,” Air mata ku menitis, tak mampu lagi berkolam di tubir mata. Wajah redupnya kutatap. Suara lembutnya menusuk sukma. Sinar matanya membuah syahdu. Dia
mengukir senyuman mempesona jiwa raga. Perlahan jari-jemarinya menyentuh wajahku, menyapu air mata mengalir di pipi. Aku tunduk, menahan getar dalam kalbu. Aku bersyukur dia tak pernah meluahkan isi hatinya. Aku bersyukur aku tegar menahan arus perasaan. Aku takjub karena kekuasaan Allah di luar batas kemampuan insan. Aku takjub karena kesabaran menempuh ujian dibalas nikmat yang sungguh mengasyikkan. Aku bersyukur dan takjub bahawa aku kini isteri yang sah kepada lelaki yang sekian lama ku menaruh cinta. Aku bersyukur memiliki cintanya tanpa menggadai cinta Ilahi. Aku takjub dengan keajaiban cinta. Aku akhirnya bisa merai cinta setelah sekian lama.
Wisuda adalah hari yang dinanti-nanti setiap insan yang bergelar mahasisiwa. Sejak melangkah ke menara gading, aku tak pernah berhenti membayangkan ketika di Wisuda yang gilang-gemilang yang bakal aku hadiri sebagai seorang mahasiswi. Hari itu pasti mengukir sejarah manis dalam diari setiap insan yang melaluinya. Siapa sangka pada hari itu aku menerima lafaz keramat yang selama ini ku nanti. “Saya...saya.....sudikah kamu menjadi isteri saya?” aku disunting dalam barisan beratur menunggu giliran untuk naik ke pentas. Wajahku merona merah, jantungku yang dari tadi berdegup kencang kerana terpaksa berada di hadapannya dalam barisan itu semakin dipalu-palu rasanya. Aku diam. Hilang punca untuk berbicara. “Saya anggap diam tanda setuju. Insya-Allah, dalam minggu depan ibu bapa saya
akan bertandang ke rumah kamu. kamu tak perlu risau, saya sudah mempunyai pekerjaan
dan pendapatan yang tetap,” lancar bicaranya. Lidah ku kelu sama sekali. Tentu sekali
tidak menyangka ada sejarah lain yang bakal terukir dalam memoriku hari ini selain
sebagai hari dimana aku di wisuda. Aku tak tahu apa perasaanku saat ini. Segala bercampur-baur tidak menentu. Aku bimbang hilang konsentrasi sedang aku bakal naik ke pentas dalam beberapa minit lagi. Aku mengosongkan hati kecuali bergumam di ruang fikiran, ‘janji Allah itu pasti’.

4 komentar:

1ndr4 mengatakan...

subhanalloh....
andaikan Istriku seperti itu...
hanya Menggadaikan Cintanya Karena Alloh....
MASYAALLOH.... :)

Meru mengatakan...

Subhanallah, subhanallah, berlinang air mata aku membacanya..
Sesungguhnya aku cemburu dengan kukuhnya cinta kakak kepada Allah..

Anonim mengatakan...

Subhanallah, subhanallah, berlinang air mata aku membacanya..
Sesungguhnya aku cemburu dengan kukuhnya cinta kakak kepada Allah..

Anonim mengatakan...

Maha Suci Allah atas segala nikmatNya dan segala ketetapanNya atas hambaNya ...

Wassalaamu'alaikum